🥰Sepuluh

110 17 0
                                    

Ajeng mematut diri di depan cermin rias, membenahi hijab dan memeriksa penampilan. Hmmm ... sempurna. Abaya jetblack cokelat tua yang baru dibeli beberapa hari lalu dipadu pashmina crinkle cokelat susu. Paduan yang pas. Make up tipis adalah hal wajib kali ini, meskipun sudah sangat lama dia hampir tak pernah memakainya lagi. Acara pesta pertama setelah menikah.

Ajeng meraih ponsel pada meja rias dan memeriksa penunjuk waktu. Sudah jam setengah delapan pagi. Lantas, memasukkannya ke handbag kecil cokelat dan melangkah keluar kamar.

Ketika pintu terbuka, Ali yang duduk sembari membaca buku di ruang tengah, sontak menoleh. "Sudah siap?" Ali meletakkan buku dan beranjak. Dia membenahi songkok hitam, lalu melangkah mendekati Ajeng. "Kamu tenang saja. Kali ini, ada Homsiyah. Mbuk Bariroh pun pasti datang. Jadi, nggak akan ada masalah."

Ajeng menghela napas dalam. Lalu, mengulas senyum tipis seraya mengangkat alis. "Tenang saja. Aku ini, kan, nggak cengeng. Kamu tahu sendiri lah ..." Sebuah towelan iseng mendarat pada pipi Ali. Ajeng terkekeh dan berlalu ke arah dapur.

Semua akan baik-baik saja. Kejadian semur tempo hari hanya kesalah pahaman tak perlu dibicarakan dengan Ali. Mungkin saja, Abah masih tak boleh makan semur. Bukankah semur mengandung gula dan minyak yang kurang baik untuk pengidap diabetes? Tentu saja karena hal itu Ummi memberikan semur itu pada kebulen.

Homsiyah sedang memasang pita pada tutup mika kue. Gadis hitam manis itu mendongak dan melangkah mundur dengan gestur yang sangat sopan ketika Ajeng melewati ambang pintu dapur.

"Kamu itu, udah aku bilangin, kan? Kalau lagi di sini dan nggak ada orang lain, nggak perlu terlalu resmi begini. Bikin canggung." Ajeng yang telah berdiri di samping Homsiyah, menepuk lengan gadis manis itu dengan lembut.

Homsiyah hanya mengangguk pelan dan mengiyakan permintaan Ajeng dengan nada suara sangat lirih. Dia maju selangkah mendekati meja dapur.

"Sudah selesai, ya? Ayo, kita berangkat!" Ajeng mengambil nampan mika dari meja, lalu berbalik.

"Neng, biar abdinah saja yang bawa. Nanti kurang elok kalau ketahuan Bu Nyai dan yang lain."

Suara lirih Homsiyah membuat Ajeng menghentikan langkah dan berbalik. "Oh, bener juga. Maaf, ya, aku lupa."

Nampan pun berpindah tangan. Sengaja, dia membuat kue itu semalam, khusus sebagai buah tangan untuk keluarga Ali di Kwanyar. Hadiah perkenalan dari menantu baru.

Ajeng melangkah kembali ke ruang tengah. Sementara itu, Homsiyah keluar melalui pintu belakang.

"Mas, aku berangkat dulu, ya?" Ajeng berdiri di sebelah sang suami yang sejenak tadi kembali sibuk dengan bacaannya.

"Oh, iya." Ali berdiri dan Ajeng mencium punggung tangannya. "Hati-hati."

Senyum tipis kembali terulas di bibir Ajeng. Semua akan baik-baik saja. Ali tak boleh merasa cemas. "Hu'um. Oh, ya, jangan lupa, Mas. Nanti kalau ada santri yang nganter belanjaan, suruh langsung taruh di kulkas, ya? Ikannya juga langsung masukkan freezer."

"Kamu tenang aja! Insyaallah aku nggak lupa." Ali berisyarat dengan tangannya, membentuk bulatan kecil dengan telunjuk dan jempol.

"Di sini, kok, rasanya apa-apa malah ribet, ya, Mas? Mungkin cuma belum kebiasaan aja." Ajeng mengangkat sebelah sudut bibirnya.

"Kok?" Ali mengernyit dan memiringkan kepala.

"Ya, belanja aja dibelanjain. Aku malah jadi bingung." Ajeng menyeringai. "Soalnya, kalau mau masak aku nggak pernah mikir. Lihat yang ada di tukang sayur. Jadi, spontan aja. Kalau sekarang, malah malam-malam udah harus ngerencanain mau belanja apa. Itu pun ... kalau nemu. Kalau nggak ada, ya ... pasrah, deh."

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang