🥰Satu

226 23 9
                                    

Ajeng memasukkan satu per satu pakaian ke dalam tas travel besar sembari berulang kali menghela napas dalam, sangat dalam. Lalu, menghembuskannya dengan keras. Seperti ada batu yang bersarang di dada. 

Bagaimana mungkin bisa pulang ke Madura bersama Ali? Bagaimana mungkin suami yang telah menikahi setengah tahun ini adalah putra seorang Kiai Madura. 

Tidak! Selama dua puluh lima tahun kehidupan, Ajeng selalu berusaha menghindari Pulau Garam. Si Mbah berulang kali berpesan tentang hal ini, kan? Meskipun … alasan yang melatarinya masih belum jelas. Tapi, apa pun itu, pasti demi kebaikan Ajeng.

Ingatan tentang kejadian semalam kembali berkelebat di kepala. Bagaimana Ali mengatakan fakta  tentang keluarganya. Di kamar rumah kontrakan mungil yang enam bulan terakhir ditempati bersama. Ali tiba-tiba masuk kamar saat Ajeng sibuk membaca buku tentang kesehatan ibu hamil. Wajahnya tampak tak seperti biasa. Seolah ada sebersit ragu yang berusaha disembunyikan. Seketika, lelaki yang selama ini bak malaikat penyelamat itu, menghampiri Ajeng setelah menutup pintu rapat. 

"Tamunya sudah pulang?" Ajeng menutup buku dan meletakkannya pada bantal.

"Iya." Ali mengembuskan napas sedikit keras, duduk pada bibir ranjang di sebelah Ajeng. Dia tak menatap istrinya. Pandangannya malah fokus ke bawah. Seolah-olah menghindar.

"Ada apa, Mas?"  Menegakkan punggung dan mencondongkan tubuh ke depan, Ajeng berusaha bersikap santai. Kaki masih berselonjor di ranjang dan berbalut selimut bulu biru muda.

Ada apa dengan Ali? Sikapnya sangat aneh.

"Aku … mau ngomong sesuatu. Kuharap kamu nggak marah." Nada suara Ali terdengar berbeda.

Tidak. Ini pasti ada yang tidak beres. Ah, tiba-tiba perut menjadi kaku. Tapi, tak akan ada masalah. Tentu saja.

"A-ada apa? Apa ada masalah? Masalah kerjaan? Atau, masalah apa?" Ajeng mengubah posisi, bersila sembari menegakkan badan. Posisi lebih nyaman untuk perut yang sejenak lalu kaku.

"Nggak, ini bukan masalah kerjaan. Ini masalah keluargaku." Lagi. Ali menghela napas dalam.

"K-keluarga?" Bodoh. Tentu saja Ali punya keluarga. Bukankah dia sudah mengatakan kalau kabur dari rumah? Bahkan, sejak awal pertemuan. Atau … apakah ini tentang perjodohan yang dihindari Ali? Apakah … kedua orangtuanya menemukan Ali dan memaksa untuk tetap melanjutkan perjodohan?

Tidak. Ajeng dan Ali menikah secara resmi di KUA. Pernikahan sah secara agama dan negara. Ajeng bukan istri simpanan, terlepas dari masa lalu sebagai wanita panggilan. 

"Abahku sakit. Tamu tadi adalah utusan dari Madura yang memang mencariku. Dia mencari ke rumah Gus Zaid sore tadi. Mau nggak mau, kita harus ke Madura. Dan … aku ingin sekalian mengenalkanmu sebagai istriku. Aku nggak mau ada hal-hal nggak diinginkan terjadi jika aku pulang sendirian. Sesuai janjiku sebelum kita menikah, aku nggak akan membiarkanmu sendirian." Ali meraih tangan istrinya, mendaratkannya di pangkuan. Lalu, menggenggamnya cukup erat. Tatapannya cukup dalam, seolah tak ingin Ajeng bersedih.

Syukurlah. Ali tak pulang sendirian. Tapi, rahasia apa lagi yang tersembunyi sampai mimik wajahnya seperti itu? Dan … Madura ….

"Lalu, masalahnya apa?" Kedua ujung alis Ajeng turun. Sebelah tangan membenahi beberapa helai rambut ikalnya di telinga bagian kanan.

"Ehm … ini tentang latar belakang keluargaku. Sebenarnya, aku adalah putra seorang Kiai di Bangkalan." Ali menatap Ajeng lekat-lekat.

"K-kiai … B-bangkalan? T-tapi, ini Bangkalan, kan? Bukan Sampang?" Ajeng membulatkan mata. Nada suaranya terdengar serak.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang