🥰Dua Puluh Enam

75 15 0
                                    

"Jangan sampai Ummi tahu, Mas. Aku takut. Apalagi, udah malam begini Faqih masih rewel." Kedua ujung alis Ajeng turun seraya menatap Ali penuh permohonan. Lantas, dia kembali mengelap sisa-sisa muntahan putih pada leher dan baju bagian atas bayinya.

Ali mengembuskan napas panjang. "Kamu jangan mikir macam-macam dulu. Mending cepat bersihin tubuh dan baju Faqih. Aku ambilin air panas dulu untuk menyeka tubuhnya biar nggak lengket." Dia melangkah keluar kamar menuju dapur. Ali tak menghidupkan lampu dapur agar tak ada yang curiga. Penerangan hanya didapat dari cahaya lampu ruang tengah. Lantas, mengambil sebaskom besar air panas dari dispenser yang sudah dicampur dengan air dingin. Kemudian, cepat-cepat kembali ke kamar putranya.

Pada malam selarut ini, suasana sangat hening. Kalau tak segera ditenangkan, tangisan Faqih pasti akan terdengar ke mana-mana dan menimbulkan kecurigaan Ummi. Pasti beliau akan segera datang dan ikut begadang lagi.

Ajeng membuka satu per satu kancing pakaian putranya. Lantas, menyeka tubuh mungil bayi itu dengan handuk yang sudah dicelup air hangat tadi. "Perutnya kembung lagi." Dia mengernyit. Wajahnya tampak cemas. Perempuan yang sebenarnya tampak sangat letih itu berusaha fokus dan cepat mengganti pakaian sang putra. Tak lupa pula, mengolesi perut dan beberapa bagian tubuh bayinya dengan minyak telon.

Ali duduk di bibir ranjang di sebelah istrinya. Dia memungut pakaian Faqih yang sudah kotor, lantas beranjak dan memasukkannya pada keranjang khusus pada sudut ruangan, di dekat pintu. 

Saat Ali berbalik, Ajeng telah selesai mengganti pakaian sang putra. Did duduk menjuntai di ranjang, bersiap memberikan ASI kepada bayinya. "Padahal … aku nggak ngapa-ngapain. Nggak makan hal-hal aneh. Tapi, kenapa masih kembung juga?" Dengkusan kecil keluar dari pernapasan.

Ali duduk di sebelah sang istri, membantunya membenahi posisi Faqih. "Bisa saja cuma masuk angin biasa, kan?" Tangan Ali mendarat pada pundak sang istri dan mengusap-usapnya pelan. "Kamu tenangkan pikiran. Kalau kamu stress, malah akan memperburuk keadaan. Beberapa hari ini kamu kayaknya nggak tenang. Aku ngeliatin kamu sering murung dan ngelamun. Kenapa?"

Ajeng yang sejenak lalu menunduk, fokus kepada sang putra, sontak mendongak dan menoleh pada suaminya. "Ng-nggak, kok. Siapa yang nggak tenang? Kamu mengada-ada aja." Sebelah sudut bibir perempuan yang tampak sangat kelelahan itu terangkat. Lantas, kembali mengalihkan pandangan. Seolah-olah berpura-pura fokus pada sang putra. 

"Ya, sudah kalau nggak ada apa-apa. Aku cuma nggak mau kamu banyak pikiran. Seorang ibu itu harus menjaga dirinya. Bukan cuma buat diri sendiri, ada Faqih yang masih bergantung sama kamu. Ingat itu." Lagi, Ali membelai pelan lengan bagian atas istrinya. Nada suaranya pun sangat lembut. "Kalau kamu punya beban pikiran, baiknya ceritain sama aku. Berbagi. Jangan dipendam sendiri." Kini tangan lelaki yang sangat menyayangi istrinya itu membelai pelan pucuk kepala sang putra.

Pasti ada sesuatu yang menjadi beban pikiran Ajeng. Tapi apa? Apakah ada sesuatu yang tak dia ceritakan? Mbuk Zainab, kah? Atau … apakah Ummi kembali menekannya? Ah, tapi bukankah kemarin Ummi malah membantu begadang semalaman ketika Faqih kembung? Apakah mungkin … Ajeng mendengar gosip itu?

Ajeng tak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan dan kembali mendengkus pelan.

"Beneran, nggak ada apa-apa?" Ali kini merapikan anak rambut yang keluar dari karet rambut istrinya. Membenahinya ke belakang telinga. "Aku harap, kamu nggak menyembunyikan apa pun dariku. Aku nggak mau kamu banyak pikiran."

Lagi, Ajeng mendongak dan menyalangkan mata beberapa saat. Lantas, kembali menunduk dan mengembuskan napas panjang. "Nggak ada apa-apa. Beneran, deh. Mungkin cuma efek aku yang masuk angin karena acara haflah beberapa hari lalu. "Ajeng mendongak dan menyeringai. "Atau … cuma gugup aja, karena  besok mau mulai belajar sama Neng Hanifah. Apalagi … dua bulanan lagi Abah menyuruhku untuk mulai mengajar di TPQ. Mungkin, cuma terlalu senang aja." Ajeng berusaha tersenyum lebar. Senyum yang sangat kentara kalau dipaksakan.

Tiba-tiba, Tangan Ali merangkul bahu sang istri dan menariknya agar mendekat. Lalu, satu kecupan di kening bersamaan dengan belaian lembut di bahu. "Kamu harus ingat kalau ada aku. Kamu nggak sendirian. Apa kamu pikir aku akan mengingkari janjiku?"

Faqih sudah cukup tenang dan mulai terlelap. Ajeng menggeleng pelan dan menjatuhkan kepala pada pundak sandaran hidupnya. "Terima kasih selalu memberikan rasa aman padaku, Mas."

Entah apa yang sebenarnya dikhawatirkan Ajeng. Apakah hanya karena gugup dan terlalu senang malah membuatnya jadi murung? Jelas tak mungkin.  Kalau efek.masuk angin, itu jelas mengada-ada. Acara haflatul imtihan sudah dilaksanakan lima hari lalu. 

Ali tak bisa untuk tak memikirkan keadaan istri dan anaknya. Kejadian Faqih mengalami kembung dan muntah sudah terjadi beberapa hari. Menurut Ummi, kemungkinan ASI Ajeng bermasalah. Karena, Faqih mengalami kembung dan muntah tanpa ada gejala lain seperti panas. 

Ali memercayai ucapan Ummi. Tentu saja. Karena, dia sendiri tak tahu menahu perihal bayi. Pun istrinya baru kali ini menjadi ibu. Jadi, Ummi jelas lebih berpengalaman.

***

Tak seperti biasa. Wajah Abah tampak cemas, alih-alih marah. Keadaan semacam ini, menunjukkan ada hal serius yang terjadi. Abah marah adalah hal yang sangat biasa. Tapi, Abah cemas adalah hal yang sangat jarang terjadi.

Beliau duduk pada kursi ruang keluarga. Suasana cukup sepi, karena sudah tak ada kegiatan para santri lagi. Detakan jarum jam terdengar begitu jelas. Sementara itu, Ummi sedang keluar bersama Kak Ammar untuk suatu kepentingan.

Berulang kali, Abah menghela napas dalam dan memejam. Lantas, berdeham. "Cong … apa kamu tak mendengar selentingan tak nyaman?"

Apa? Selentingan tak nyaman? Apakah ini berhubungan dengan desas-desus itu?

"M-maksud Abah bagaimana?" Suara Ali terdengar bergetar. Semoga gosip itu belum sampai kepada Abah.

"Aku ingin bertanya sekali lagi dan minta kejujuranmu. Di mana sebenarnya kau mengenal istrimu?" Abah menjatuhkan pandangan tepat pada wajah Ali, menatap sang putra lekat-lekat.

"Bukankah sudah abdinah ceritakan dengan jelas, Ba. Pun Pak Sukoco menceritakan hal yang sama." Semua harus bisa ditutupi. Tak boleh melakukan kekeliruan sedikit pun.

Abah mengembuskan napas panjang. "Entahlah, cerita mertuamu itu terasa begitu jelas. Sama dengan ceritamu. Tapi … gosip ini tak bisa dibendung. Istri Bashir melihat sendiri wajah istrimu. Dia sangat yakin kalau istrimu itu adalah perempuan nakal tetangganya dulu."

"Tak mungkin, Ba. Jelas-jelas istri abdinah bekerja di rumah tetangga Gus Zaid. Probolinggo. Bukankah rumah Bashir di Surabaya?" Ali mengernyit. Nada suaranya sedikit meninggi, penuh penekanan.

"Ya, mungkin saja istri Bashir yang salah. Tapi … dia tetap bersikukuh akan hal ini. Karena nyatanya, tetangganya itu menghilang hampir bersamaan dengan kepergianmu. Bahkan, kemarin Umimu sempat marah-marah. Untung saja Abah berhasil menenangkan dan meyakinkannya. Kau tahu sendiri bagaimana dia. Yang jelas, dia pasti akan mencari tahu kebenarannya." Abah mengembuskan napas panjang.

"Lalu … abdinah harus bagaimana?" Suara Ali sangat lirih.

"Untuk saat ini, Abah memutuskan sejenak menunda rencana menyuruh istrimu mengajar. Demi kebaikan pesantren. Kita tunggu hingga ada kejelasan atau penyelesaian tentang masalah ini." Nada suara Abah penuh penekanan. Meskipun, terdengar lirih dan lembut. Abah benar-benar cemas.

"E-enggi." Ali menunduk. Pasrah. Nada suaranya pun begitu lirih.

Tak ada yang bisa dilakukan untuk saat ini kecuali diam dan memikirkan jalan keluar terbaik. Jika Ajeng mendengar ini, jelas dia akan sangat tertekan. Apalagi, keadaannya juga tak baik-baik saja. Ini bisa berpengaruh buruk kepada Faqih. Padahal, dia sangat senang dengan tutah Abah perihal mengajar pun sangat bersemangat belajar pada Neng Hanifah.

Entahlah. Bagaimana cara menyampaikan hal ini padanya?

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang