🥰Dua belas

112 15 0
                                    

Pesan obrolan dari Mbuk Bariroh membuat Ali seketika mengernyit. Segera, setelah membaca pesan itu, dia menghubungi istrinya.

Tak butuh menunggu lama, panggilan segera terhubung. Dia mengucap salam, tapi tak menunggu sang istri menjawab. "... kamu udah pulang? Nyampe mana?"

"Iya, udah. Ehm ... sebentar, aku nggak tahu ini daerah mana. Cuma udah setengah jalan kayaknya."

"Oh, syukurlah. Aku tunggu di rumah, ya? Assalamualaikum."

"Waalikumsalam."

Ali mengembuskan napas lega setelah menutup telepon dan meletakkannya pada meja. Lantas, duduk sedikit membungkuk dengan dua siku bertumpu pada lutut. Tatapannya kosong ke meja. Ucapan Ajeng benar, orang-orang akan berpikir bahwa dia adalah kekasih yang kabur bersama Ali. Tak ada yang bisa mengendalikan pikiran orang lain. Tapi, menjodohkan dengan cara memaksa, tak bisa dibenarkan. Dan, keputusan menikahi Ajeng juga bukan keputusan yang dipikirkan satu atau dua hari saja.

Ingatan tentang percakapan pagi hari dengan Gus Zaid kembali hadir. Tahun lalu, pagi setelah Ali tinggal semalam di pesantren Gus Zaid.

Sembari menikmati udara pagi, Ali melintasi halaman. Mengedar pandangan ke sekeliling. Pagi masih basah, suasana masih temaram. Tadarus bakda Subuh baru dimulai. Tapi, udara sangat dingin dan embusan angin sudah sedikit kencang. Awal Juli, angin Gending Probolinggo ternyata memang sekencang ini.

Baru saja kawan baik yang mau membantunya itu mengajak untuk menikmati kopi dan mengobrol pagi. Ali mengiyakan dan segera menjawab ajakan itu seusai melaksanakan dzikir Subuh.

Pintu rumah Gus Zaid sudah terbuka. Dia duduk di ruang tamu. Bajunya masih sama seperti tadi ketika melaksanakan jemaah Subuh, koko krem dan sarung tenun motif kotak hijau. Tapi, sorban hijaunya sudah tak dipakai. Dua cangkir kopi tersaji pada meja di hadapannya. Pun sepiring kudapan, sepertinya ketan.

"Sini, Ra. Kopi dan ketan hangat pagi, sangat pas." Gus Zaid berdiri berisyarat ke arah meja.

"Wah, rezeki pagi." Dengan wajah senang, Ali segera duduk pada kursi kayu paling dekat dengan teman yang telah membantunya.

"Inilah hikmah punya istri. Pagi-pagi ada yang ngopeni. Malam ada yang ngeloni." Suara Gus Zaid terdengar sangat iseng. Dia terkekeh, membuat Ali melakukan hal yang sama.

Masih sedikit menahan tawa, Ali menuang kopi ke lepek dan mengambil sepotong kue dari piring, lalu menggigitnya. Kemarin, Ajeng membuatkan kopi bakda Subuh. Ketika menginap di penginapan karena kemalaman.

Gus Zaid berdeham. "Ra, perempuan teman sampean itu siapa? Kok sampai ikut ke sini? Sampean lari dari perjodohan bareng dia?"

Ali terbatuk. Segera meletakkan kue di pinggir piring dan meraih lepek, lalu menyeruput kopi. Lantas, meletakkannya kembali. "Bukan, Gus. Aku ketemu dia nggak sengaja. Dia nggak punya siapa-siapa. Akhirnya ikut aku."

"Lah, kok, nggak jelas gitu, Ra? Hati-hati dia itu buronan atau orang jahat." Kerutan sejajar pada glabela, muncul. Gus Zaid sedikit tersentak.

"Oh, insyaallah nggak. Kami mau ngurusin identitasnya ke Grati." Ali meraih cangkir dan meletakkannya di lepek. Lalu, mengambil kuenya. Segigit ketan kembali lolos ke mulut.

"Oh, ya, sudah. Sampean ini aneh. Dijodohin sama putri penggede, kok, malah kabur. Emang kenapa? Kurang cantik?" Gus Zaid mendekatkan wajah ke arah Ali, sedikit membungkuk dengan sebelah siku bertumpu pada lutut.

Ali mendengkus pelan dengan senyum sumbing. Masih mengunyah kue. "Salah satunya itu. Sebagai lelaki, aku juga punya mata, kan, Gus. Salah dua, tiga, dan seterusnya itu banyak. Abah nggak ngasih kesempatan nadzor. Bahkan, rencananya langsung diakad. Kalau sampean sendiri, gimana kalau digituin?"

"Waduh ... ajur, Ra. Ajur. Lora Ali nggak dikasih kesempatan memilih." Gus Zaid menegakkan badan dan menepuk lutut. "Lah, terus, kok sampean bisa tahu kalau kurang cantik?"

"Ya, nyari info. Masak diam saja? Sebenarnya, kalau dia cantik pun, aku tetap akan menolak. Lah, itu alasannya jelas politik. Abahnya yang Kiai pejabat itu kan mau maju pemilu nanti, Gus." Gigitan terakhir sudah masuk mulut. "Jelas menyasar kantong suara di daerah Abah." Ali kembali menuang kopi ke lepek. Lantas, mengehela napas dalam sembari memutar bola mata. "Tapi, andai cantik banget, mungkin bisa dipertimbangkan." Ledakan tawa seketika hadir memecah suasana. Bahkan, lelaki berbadan berisi di hadapan Ali itu sampai memegang perutnya sembari tergelak.

"Loh, bukannya Kiai Ahkam sama Kiai Bahar masih ada hubungan kerabat? Masak sampean nggak tahu sama saudara sendiri? Terus ... masak hubungan kerabat kurang kuat untuk saling mendukung?" Gus Zaid mengernyit dan menyipitkan mata.

Ali mencebik seraya mengedikkan bahu dan memiringkan kepala. "Meskipun saudara, belum tentu bisa sering ketemu, Gus. Pun begitu, hampir semua Kiai di Kabupaten Bangkalan itu ada hubungan kerabat. Tapi, itu saja kurang kuat. Kiai Anwar juga ada hubungan kerabat, kan? Dan, keponakannya juga mau maju Pemilu." Dengkusan kecil keluar dari hidung Ali.

"Wah ... repot juga, ya?" Gus Zaid mengangguk beberapa kali. "Tapi, bukannya suara pemilu itu bisa dimanipulasi sama para mafia suara?" Lagi, dia mencondongkan tubuh ke arah kawannya.

"Bisa." Ali bersandar santai dan mengembuskan napas sedikit keras. "Para Bajing pasti akan memainkan arah suara. Tapi, ada orang-orang fanatik yang perlu disasar dengan cara lain. Untuk kekuasaan, apa pun bisa dilakukan. Dan ... entah kenapa, aku sama sekali nggak tertarik sama politik. Meskipun ... percetakanku alan laris ketika musim pemilihan." Keduanya kembali tergelak.

"Cuma gara-gara idealisme, sampean sampai meninggalkan usaha yang sudah berjalan baik. Padahal, sampean merintisnya benar-benar dari nol." Gus Zaid kembali menggeleng dan berdecak.

Ali mengulum senyum dan mengedikkan bahu. "Entah. Anggap saja aku bodoh demi idealisme."

Cukup lama keduanya mengobrol. Hingga, terhentinya lantunan tadarus, membuatnya tersentak dan segera memeriksa ponsel.

"Wah, Gus. Aku tak keluar dulu, ya? Kasihan Ajeng kalau sendirian. Sekalian mau ngajak sarapan." Ali beranjak sembari kembali memasukkan ponsel ke saku

Kawan baiknya itu mengangguk dan ikut beranjak. "Sampean ini kayak remaja lagi jatuh cinta. Kalau cocok, nikahi saja, Ra!" Tawa kembali pecah di antara keduanya.

"Wah, provokator, ini." Ali menepuk pelan lengan kawannya dan segera berlalu.

Ya, ketertarikan kepada Ajeng sudah ada sejak awal. Bahkan, ketika kenyataan tentang siapa dia sebenarnya telah terungkap, ketertarikan itu tak bisa hilang. Mungkin, karena parasnya ... atau hal lain. Sorot matanya, keluguan di balik sikap sok galaknya, dan ... entah apa lagi. Yang jelas, semua berbeda.

Suara langkah kaki dan perempuan yang bercakap-cakap, menyentakkan Ali dari lamunan. Sontak, dia beranjak dari sofa dan melangkah keluar melalui pintu samping.

Di depan pintu teras samping, Ali berdiri dan menunggu. Tersenyum menyambut belahan jiwanya yang berjalan di belakang Ummi. Sejenak lalu, Ummi mengernyit dengan tatapan tajam membidik. Tapi, lebih baik bersikap biasa dan berpura-pura tak tahu. Senyum simpul terulas di bibir calon ibu muda itu, sebagai balasan dari sambutan sang suami.

Ali mundur selangkah dan sedikit menunduk ketika Ummi melewatinya. Pun dengan Ajeng yang menepi di depan teras samping. Menunggu sampai mertuanya masuk Ndalem Tengah.

Setelah perempuan paruh baya itu masuk, Ali melingkarkan tangan pada bahu istrinya seraya mengulas senyum tipis. Sontak Ajeng mengernyit dan berusaha menepisnya. "Malu, Mas. Kelihatan santri, loh." Dia berisyarat pada Homsiyah dan temannya yang masih berdiri sedikit menunduk di belakang mereka. Keduanya mengulum senyum.

Alih-alih melepas tangan, Ali malah mempereratnya. "Biarin. Kamu itu istriku." Ajeng pasti tak enak hati. Sedapat mungkin, dia harus dihibur. "Capek? Salat lalu istirahat, yuk! Nanti sore kita ke Kota buat belanja."

"Hmm?" Ajeng mengernyit seraya mengangkat alis. "Anterin aku ke bidan aja, ya? Udah waktunya kontrol."

"Oke. Tapi tetep kita jalan-jalan setelahnya." Ali melepas dekapannya dan menutup pintu. Sementara istrinya segera berlalu ke kamar.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang