🥰Tiga Belas

108 16 0
                                    

Perlahan, Ajeng beringsut dari ranjang periksa sembari membenahi gamis katun tosca dan hijab instannya. Lalu, duduk di depan meja bidan. Semoga tak ada masalah berarti.

"Hanya keluar bercak sekali siang ini, ya, Bu?" Bidan berkacamata itu menulis sesuatu pada buku merah jambu, buku wajib ibu hamil.

"Iya, Bu. Sore barusan sudah nggak keluar lagi." Ajeng menegakkan punggung, sedikit melongok pada catatan Bu Bidan.

"Saya kasih suplemen penguat kandungan dan beberapa vitamin seperti biasa. Jangan lupa manajemen stresnya, ya?" Bu Bidan meletakkan alat tulis, lantas beranjak dan melangkah masuk ruangan sebelah. Hanya anggukan untuk mengiakan saran Bu Bidan.

Beberapa menit kemudian, bidan itu kembali dengan satu plastik berisi beberapa lembar obat. "Ini obatnya. Sehat-sehat, ya, Bu?" Dia tersenyum seraya menyerahkan obat dan buku.

Uluran tangan sebagai tanda pamit setelah menyodorkan uang dan berucap terima kasih, lalu perempuan yang merasa lega dengan hasil pemeriksaannya itu beranjak sembari menyampirkan slingbag, dan keluar ruangan.

Syukurlah, semua baik-baik saja. Mungkin saja hanya efek kelelahan setelah membuat kue semalam.

Ali yang duduk pada bangku semen panjang di depan ruang periksa, seketika berdiri dan menyambut istrinya. "Ayo, sekarang kita jalan-jalan."

Ajeng hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. Suplemen ini harus segera dikonsumsi. Bagaimana pun juga, bercak pada pakaian dalam tadi, tak boleh dianggap enteng.

Mobil melaju perlahan, menyusuri jalanan kampung Sukolilo Barat. Perlahan, Ajeng merogoh bagian dalam pintu dan meraih air mineral yang memang tadi dibawa. Lalu, segera meminum vitamin dan suplemen yang diberikan Bu Bidan.

"Semangat banget." Nada suara Ali terdengar lebih kepada candaan daripada serius bertanya. Dia melirik sembari tetap fokus mengemudi.

Ajeng tersenyum tipis, lalu meletakkan air mineral kembali ke tempat semula. "Aku takut lupa aja nanti. Khawatir kita pulangnya kemaleman, lalu aku ketiduran dan nggak minum vitaminnya."

Ali tak boleh tahu apa yang sudah terjadi tadi. Tak ada seorang pun boleh tahu. Dia pasti akan sangat cemas nantinya. Bahkan, mungkin akan berpikir macam-macam, dan melarang untuk membuat kue. Padahal, ada resep brownies khusus untuk penderita diabetes yang bisa dicoba. Usaha mendapatkan hati Abah.

Langit sore Bangkalan yang tadinya jingga kekuningan, perlahan berubah menjadi kehitaman. Jendela mobil yang terbuka, pasti menahan angin sore yang biasanya terasa cukup kencang. Angin pesisir pantai. Sebenarnya, desa ini sangat khas dan cukup nyaman. Berada di daerah pesisir dengan pemukiman yang cukup padat. Tapi, berbagai kesibukan membuat Ajeng tak memiliki banyak kesempatan untuk menikmati suasana kampung ini, utamanya suasana pesisir pantainya. Rencana Ali untuk berjalan-jalan tertunda sebab banyak hal di luar rencana yang terjadi.

Ajeng membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin, lalu membuka buku merah jambu dan melihat catatan bidan tadi. Ah, syukurlah, catatan Bu Bidan menggunakan bahasa medis. Ali tak akan memahaminya.

***

Setelah melaksanakan salat Maghrib di masjid alun-alun Bangkalan, Ali mengajak istrinya untuk berbelanja di pusat perbelanjaan yang terbesar di kota Bangkalan.

"Kita makan dulu, ya, sebelum belanja? Biar belanjanya nggak kelaperan." Ali menarik tuas rem tangan setelah mengosongkan gigi.

"Aku ngikut aja. Ini kita mau belanja apa, sih? Kayaknya, nggak ada yang perlu kita beli, deh." Ajeng melepas sabuk pengaman dan menyampirkan slingbag pada bahu.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang