🥰Delapan

123 20 0
                                    

Seminggu sudah di Bangkalan, dan keadaan Abah sudah semakin membaik. Jarum infus telah lepas dua hari lalu. Beliau pun sudah sering di luar kamar, duduk di ruang tengah sembari berdzikir atau sekadar menonton berita televisi. Waktu yang pas meminta izin untuk bisa ke Grati dan menemui Pak Sukoco.

Pada pagi bakda Dhuha, Ali melangkah perlahan. Berucap salam lirih dan mendekati Abah. 

Hal itu seketika membuat Abah menoleh. "Kamu, Cong?" Suara bariton Abah terdengar serak. Tapi, masih cukup lantang seperti biasa.

"Enggi, Abah." Ali berjalan sedikit menunduk, lalu duduk pada kursi kayu berlapis spons di dekat Abah.

"Ada apa?" Lelaki berjenggot itu duduk santai sembari berdzikir dengan tasbih kokka favoritnya. Bersandar pada kursi kayu yang lebih besar dan berbeda model dari yang lain. Kursi khusus. Beliau membenahi songkok putih dan menariknya sedikit ke belakang.

"Ehm … abdinah mohon izin ke Probolinggo untuk mengambil beberapa barang dan mengurus pekerjaan yang belum selesai. Juga … sekalian pamit sama pemilik kontrakan dan keluarga Gus Zaid." Ali duduk menunduk dengan dua tangan yang terjalin di pangkuan.

"Kamu kebiasaan. Selalu terburu-buru. Tidak usah! Tunggu Abah sembuh! Sekalian saja kita ke sana sama-sama. Pamit sama orang yang sudah menolong, kok, mau sendirian. Abah ini nanti bisa malu. Paling tidak, kami juga harus bertamu ke rumah temanmu itu." Abah mengernyit menatap Ali. Tatapannya tajam membidik.

"T-tapi, Bah. Ini abdinah juga mau urus pekerjaan. Jadi biar nanti pas sekeluarga ke Jawa, tak perlu berlama-lama. Akan sangat melelahkan jika dari Grati lalu lanjut ke Probolinggo, Bah. Lalu, abdinah nanti juga perlu mengurus beberapa surat-surat kendaraan ke Samsat." Ali melirik ke kiri bawah. Bagaimana pun juga, untuk kali ini, harus bisa mendapat izin dari Abah. 

"Begitu?" Abah menyipitkan mata, menatap Ali dari ujung mata.

"Enggi. Ini tanggung jawab abdinah, Bah. Lagipula, ini juga demi memenuhi titah Abah." 

Abah hanya mengangguk-angguk pelan. Memejam beberapa saat. "Tapi … kamu tak boleh lama-lama! Bulan depan, kamu sudah harus mengajar di sini. Minimal ngaji kitab di masjid. Istrimu itu juga. Segera antar untuk tashih dan mendapat syahadah!"

"Insyaallah, Ba."

"Jadi, berapa hari? Kalau kamu tak kembali, aku dan Ummimu tak ridho sama sekali. Ingat, Ali! Kamu mau jadi bapak." Abah menegakkan punggung, menatap Ali tajam dengan nada suara yang meninggi dan lantang.

"Enggi, Bah."

"Aku masih malu sama Kiai Ahkam, kamu malah pulang bawa istri yang tak jelas asal-usulnya." Abah mendengkus kasar. "Pokoknya sekarang, istrimu itu harus bisa menyesuaikan diri. Jangan sampai jadi omongan sana-sini. Taruhannya pesantren ini, Cong." Tatapan Abah bertambah tajam. Tangannya menepuk handle kursi dengan cukup keras. 

Hening beberapa saat. Hanya terdengar riuh samar-samar suara para santri dan napas Abah yang memburu. Rupanya, emosi beliau sempat terpantik. Kesalahan yang tak mampu dihindari. Tapi, semua telah terjadi, kan?

"Kalau begitu … abdinah mohon izin, Abah." Ali menggeser posisinya sedikit maju.

"Tunggu! Aku lupa. Man Mukhlas-mu mau mengadakan acara tingkepan dan pengajian muslimah dua minggu lagi. Istrimu suruh ikut Zainab dan Ummimu ke Tanah Merah. Biar dia kenal saudara-saudara di sana." Abah sudah kembali bersandar dan memejam. Napasnya pun sudah mulai normal.

"E-enggi." Ali menggerakkan bola mata ke segala arah dan menggigit bibir bawah. Apakah Ajeng harus pergi sendiri? Menghadiri acara keluarga? Apakah kabar pernikahan kami sudah diketahui banyak orang?

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang