🥰Dua Puluh Satu

82 16 0
                                    

Pagi masih basah. Langit Bangkalan berwarna keabuan. Semburat jingga hanya tampak samar-samar di ufuk timur. Jemaah salat Subuh baru usai dilaksanakan. Terdengar bacaan surat Al Fatihah dari pengeras suara masjid. Pun sayup-sayup bacaan serupa dari musalla perempuan. Khotmil Quran Bil Ghaib yang dilaksanakan oleh para hafidz dan hafidzah. 

Ajeng berdiri di depan lemari, memandang pada pakaian yang tergantung di sana. Pesan Ali kembali terngiang di kepala. "Kenakanlah baju terbaik. Ini acara penting bagi buah hati kita, pun bagi kau sendiri."

Entahlah, Ali sering kali menyarankan penampilan baik jika ada acara keluarga begini. Padahal biasanya tak pernah komplain urusan pakaian dan sejenisnya.

Kini, pembacaan ayat suci sudah sampai pada surat Al Baqarah. Alih-alih mengambil pakaian, Ajeng malah mematung dan menatap kosong ke depan. Telapak tangan kembali mendarat pada perut yang sudah membesar. Apakah pantas mengharapkan buah hati menjadi Ahlul Quran?

Lima bulan di Bangkalan, materi mengaji sudah setengah jalan. Mungkin beberapa bulan setelah melahirkan, syahadah tashih itu bisa dimiliki. Setelahnya, Ali berjanji akan mendatangkan ustadzah untuk belajar tata bahasa Arab dan mendalami beberapa kitab dasar. Tak lagi membaca terjemahan. Katanya, dalam waktu setahun, semua mungkin diselesaikan. Semoga. Sebelum bayi mungil ini berubah menjadi bocah yang cerdas, Ajeng harus berhasil menjadi ibu yang bisa dia banggakan di depan keluarga besar dan kawan-kawannya.

Bunyi handle pintu terbuka, membuat Ajeng menoleh. Ali muncul dari balik pintu. "Belum siap?"

Hanya kedikan bahu dan senyuman tipis untuk menjawab pertanyaan Ali. "Lagi milih baju. Mau pakai yang mana, ya?"

Ali meraih abaya biru tua dengan aksen bordir mandala. "Ini bagus. Kontras sama kulit kamu. Bakal cantik banget."

"Aku, kan pakai niqab, Mas." Ajeng menggeleng pelan.

"Loh, seharian ini kayaknya nggak perlu, deh. Kamu bakal sibuk di pesantren. Kamu bawa aja untuk persiapan, meskipun mungkin nggak kepake." Ali menempelkan abaya pada tubuh istrinya.

"Iya, ding. Aku lupa." Oke deh, aku pakai yang ini.

Ali menepuk pelan pipi sang istri sembari mengedipkan sebelah mata. "Aku ke masjid dulu, ya? Mau ikut nyemak Khotmil Quran."

Ajeng hanya mengangguk dan tersenyum. Memerhatikan punggung suaminya yang menghilang di balik pintu.

Setelah berganti pakaian dan berwudhu, Ajeng keluar rumah melalui pintu samping. Dia tetap memakai niqab, karena terkadang, ada saja kebulen lelaki yang berlalu-lalang. Tak lupa, dia membawa Al Quran kesayangannya, Al Quran pemberian Ali disertai keterangan tajwid di dalamnya.

Setelah melewati pintu pesantren perempuan, Ajeng membuka niqab. Musalla santri putri, tempat tujuannya kali ini. Untuk sampai ke sana, dia harus melewati dapur utama pesantren. 

Suasana dapur sudah begitu sibuk. Tak hanya para kebulen yang biasa memasak, ada beberapa wanita paruh baya dan ibu-ibu muda di sana lain di sana. Sepertinya, mereka para tetangga dan alumni pesantren yang datang membantu.

Beberapa perempuan tampak melongok dari dalam dapur. Sepertinya mereka cukup penasaran kepada Ajeng. Maklum saja, kebanyakan dari mereka baru mendengar tentang Ajeng, setelah dia berniqab.  Bahkan, beberapa keluar untuk menyapa dan menyalami Ajeng. 

Dan karena terlalu banyaknya orang dengan gaya bersalaman yang membuat Ajeng cukup canggung, dia tak mampu memperhatikan satu per satu dari mereka. Ajeng hanya berusaha sopan, ikut menunduk dan tak membiarkan tangannya dicium dengan keterlaluan. Masih belum pantas. Itu yang selalu tertanam dalam benak. Mereka pastilah lebih berilmu, apalah Ajeng dibanding mereka. 

Dan setelah acara ramah tamah itu, Ajeng bergegas menuju musalla putri duduk emok pada karpet yang terhampar di bagian depan, di samping para hafidzah yang tengah melantunkan ayat-ayat Al Quran.

Ajeng hanya sendiri, Ummi dan Mbuk Zainab belum tampak. Sementara itu, tak jauh dari tempatnya, para ustadzah juga duduk sembari menyemak Al Quran.

Ajeng membuka Al Qurannya, lantas menggeser posisi, mendekati tempat para ustadzah. Bertanya tentang ayat berapa yang tengah dilantunkan. Lantas, setelah menemukannya, dia kembali ke tempatnya semula, dan mulai menyemak.

Alhamdulillah … kali ini, tak ada kesulitan berarti dengan bacaan Al Quran. Ajeng hanya butuh membenahi makharijul huruf dan mempelajari tajwid lebih mendalam.

Setelah beberapa waktu, tampak Mbuk Bariroh datang dan segera duduk di sebelah Ajeng. Menanyakan perihal surat dan ayat yang dibaca, lantas ikut menyemak. 

Pembacaan Al Quran bil ghaib kali ini dibagi menjadi dua bagian. Separuh bagian dari juz satu sampai lima belas di masjid oleh para hafidz, sementara setengah bagian lagi sampai juz tiga puluh, oleh para hafidzah di musalla putri. Hal ini karena nanti menjelang Dzuhur akan dilaksanakan acara pembacaan selawat barzanji oleh para santri dan undangan.

Beberapa puluh menit berlalu, mungkin lebih dari satu jam. Tapi, sosok Mbuk Zainab belum juga tampak. Ketika acara empat bulanan kemarin, dia tak hadir. Apakah kali ini juga akan demikian? 

Ajeng sedikit melongok ke arah tempat imam. Mencoba memeriksa penunjuk waktu. Sudah jam setengah delapan pagi. Tak hanya Mbuk Zainab, bahkan Ummi pun belum nampak.

Tiba-tiba, Mbuk Bariroh mendekatkan wajah pada Ajeng. "Mbuk Zainab ke mana?" Suaranya sangat lirih.

Ajeng hanya menggeleng pelan. "Saya kurang tahu. Dia nggak mengabari kalau nggak akan hadir. Mungkin masih di rumahnya."

"Oh …" Mbuk Bariroh hanya mengangguk beberapa kali.

Keduanya kembali menyemak pembacaan Al Quran, hingga kedatangan seorang santri, mengalihkan fokus mereka.

Santri berbaju kurung cokelat itu mendekat dengan cara berlutut hingga duduk di samping Ajeng dan Mbuk Bariroh. "Neng Ajeng sama Neng Bariroh dicari Bu Nyai. Sarapan sudah siap. Juga dititahkan untuk menerima tamu di ndalem tengah." Suara dan gestur yang sangat sopan. 

Keduanya mengangguk, lantas beranjak dan keluar menuju ndalem tengah, seperti yang dititahkan Ummi.

"Mungkin Mbuk Zainab menunggu di rumah Ummi, Dik." Mbuk Bariroh memakai sandal di depan musalla. Lun Ajeng melakukan hal yang sama.

"Sepertinya begitu, sih. Lagipula, acara khotmil bukan acara puncak. Mungkin dia cuma ikut pas pembacaan selawat saja." Ajeng mendekatkan tubuh, berbicara lirih agar suaranya tak berlomba dengan lantunan ayat Al Quran.

"Iya juga. Ayo, kita segera ke rumah Ummi. Aku sudah lapar, nih." Mbuk Bariroh menepuk pelan lengan adik iparnya sembari terkekeh.

Keduanya berjalan beriringan menuju ruang makan ndalem tengah.

Makanan tersaji pada meja meja yang cukup besar. Meja khusus yang dipersiapkan untuk acara ini. Ummi duduk sembari bercakap-cakap dengan beberapa perempuan yang tampak seumuran dengannya. Mereka menoleh ke arah Ajeng ketika dia melewati pintu.

"Nah, ini istrinya Ali." Ummi beranjak, lantas mendekati Ajeng dan membimbingnya untuk beramah-tamah dengan para tamu.

Luar biasa. Baru kali ini Ummi bersikap ramah dan hangat. Bahkan, cenderung manis. 

Ummi memperkenalkan Ajeng kepada tamu-tamu yang hadir. Kebanyakan mereka adalah saudari-saudari dekat. Kerabat yang datang lebih awal.

Setelah ramah-tamah dan basa-basi seperti biasa—untunglah tak ada drama kaget dan keingintahuan berlebih kali ini, Ajeng dan Mbuk Bariroh dititahkan untuk sarapan. Lantas, kembali beramah tamah, mengobrol ringan bersama para kerabat. Yang tentunya, Ajeng lebih banyak diam dan menjawab ketika ditanya saja.

Tapi ternyata, dugaan keduanya salah besar. Bahkan sampai acara usai, Mbuk Zainab tak tampak sama sekali. Sebenarnya, ke mana dia? Kenapa dia harus menghilang ketika ada acara penting begini? Ada masalah apa sebenarnya?


(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang