🥰Sembilan Belas

80 14 0
                                    

Satu gelas teh hangat bertengger di nakas kamar bagian belakang. Ajeng menyiapkannya untuk Naina. Setelahnya, dia keluar kamar membawa nampan berisi dua gelas teh ke ruang depan. Ali duduk pada kursi ruang depan sembari mencatat sesuatu pada buku kecil.

"Ngeteh, ya, Mas? Sebelum ngisi ngaji. Masih belum Ashar, kan." Ajeng mendekati sang suami dan meletakkan teh pada meja.

Ali menoleh dan mengangguk pelan. Dia meletakkan alat tulis dan menutup buku. "Perempuan tadi ke mana?"

"Kusuruh mandi dan istirahat. Biar pulih." Ajeng duduk di samping suaminya sembari menghela napas panjang. "Dia dua hari ini cuma minum saja. Itu pun dari air kran."

"Keluarganya kapan mau menjemput?" Ali menghidu aroma teh yang masih beruap, lalu meyesapnya perlahan.

"Katanya, sih, besok mau berangkat pagi dari Lumajang. Tapi, pakai Bus. Kalau kita jemput di tol Suramadu gimana? Katanya, sih, cuma kakak lelakinya." Ajeng mengangkat Alis dan menyentakkan dagu.

"Insyaallah. Kita lihat besok."

"Kasihan dia, Mas. Dia sempat cerita sedikit tadi pas makan. Katanya, dia kabur dari rumah kakak madunya. Sebenarnya, dia cuma mau menenangkan diri. Tapi, dia nggak tahu cara kembali ke rumah kakak madunya itu. Lupa nama desanya. Ke sini, kan, cuma berkunjung." Embusan napas panjang kembali keluar dari pernapasan.

"Kakak madu? Dia istri kedua, donk? Kabur dari suami?" Ali mengernyit dan berdecak. Lantas mendengkus kasar.

"Kok, reaksi Mas kayak gitu? Emang kalau istri kedua kenapa? Emang kalau kabur dari suami kenapa? Kita nggak tahu, kan, apa yang dia alami? Yang penting kita nolong dan dia balik ke keluarganya. Bagaimana Mas bisa menilai dengan seenaknya begitu, sih? Padahal, dulu Mas bisa nggak menghakimi aku." Ajeng mengernyit dengan nada suara meninggi. "Oh ... aku lupa. Mas juga sama. Dulu, Mas sempat mikir yang bukan-bukan, kan, tentang aku? Ternyata tetep aja." Dia mendengkus kasar.

"Loh, kok, kamu malah marah? Perempuan yang kabur dari suaminya itu maksiat. Dan sekarang kita menampung perempuan itu di sini." Nada suara Ali tak kalah tinggi.

"Istri nggak akan serta-merta kabur, Mas. Apalagi, kabur tanpa persiapan apa-apa. Di kampung orang pula. Bisa-bisa, dia bertemu penjahat atau mati konyol. Toh, dia nggak niat kabur sama lelaki lain. Dia cuma ingin pulang ke rumah orangtuanya. Kita nggak tahu ada masalah apa. Yang jelas, bukan masalah ringan baginya." Ajeng bersedekap dan lagi-lagi mendengkus.

"Tapi, tetap aja itu maksiat." Ali mengernyit dan memiringkan kepala.

"Tahu. Itu maksiat dia, bukan urusanku. Yang jadi urusanku adalah menyelamatkan nyawanya dan mengembalikan dia ke keluarganya. Nanti juga bakal ketemu suaminya lagi, kan? Salah? Apa karena dia kabur, terus dibiarin begitu aja? Bukankah malah dia makin nggak jelas?" Ajeng menyentakkan dagu dan menatap lelaki yang membuatnya kesal dengan tajam.

Ali mendengkus. Lantas meraih gelas dan meminum teh yang sudah menghangat perlahan.

"Sudah, sudah. Ini bukan masalah antara kamu dan aku. Jadi, kenapa kita harus bertengkar?" Ali meletakkan gelas pada meja dan menepuk lutut ajeng pelan.

"Aku juga nggak mau bertengkar, kok." Nada suara Ajeng sudah normal. Dia masih mengernyit, tapi tatapannya sudah melembut. "Aku cuma nggak suka kalau ada orang seenaknya menilai orang lain. Setiap manusia itu sakit dengan lukanya masing-masing. Bahkan, meski orang lain menganggap remeh hal itu." Ajeng menunduk, memainkan jari-jari di pangkuan. Terlalu banyak orang menghakimi pendosa. Tak maukah sedikit saja berempati?

Ali mengembuskan napas panjang dan membelai punggung perempuan yang sebenarnya sangat dia kasihi. "Maafin aku kalau hal ini membuka luka lama. Aku ..."

Ajeng menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Mas. Aku cuma bisa sangat emosi kalau urusan beginian."

Ali tak sepenuhnya salah. Pun Naina bukannya tak bersalah dalam hal ini. Dia bersalah karena kabur dari keluarganya. Tapi, itu semua adalah urusan rumah tangga Naina yang tak elok jika terlalu dicampuri.

***

Setelah jemaah Maghrib dan pembacaan dzikir usai dilaksanakan, Ajeng cepat-cepat beranjak dari mushola dan kembali ke rumah. Sejenak, Mbuk Zainab mengernyit dan memandang dari sudut mata kepada Ajeng. Tapi, tak ada waktu untuk memikirkan hal tak penting semacam itu kali ini. Naina lebih penting.

Naina baru membuka mukenah ketika Ajeng berdiri di depan ambang pintu kamar. "Maaf, ya, Mbak. Aku harus jemaah di musalla kalau Maghrib. Nanti pas Isya', kita salat bersama di sini. Aku naruh mukenah dulu, ya?"

Naina mengangguk dan Ajeng berlalu ke kamar untuk meletakkan mukenah dan memasang niqab. Meskipun di dalam rumah, Ajeng selalu memakai niqab yang dibuka dan diletakkan di atas kepala. Hal ini untuk mempermudah jika nanti ada kepentingan tiba-tiba.

Ajeng keluar kamar dan segera menuju dapur untuk mengambil dua botol minuman ringan dan kudapan. Lantas kembali ke ruang tengah. Naina sudah menunggu di sofa.

"Ini diminum. Sekadarnya." Ajeng meletakkan minuman dan sepiring bolu pada meja. Lantas duduk di sebelah Naina.

Perempuan muda itu meraih botol dan meminum isinya beberapa teguk. "Terima kasih banyak, loh, Neng, sudah mau menolong saya." Naina memanggil dengan sebutan Neng sejak tadi sore, ketika tahu kalau rumah Ajeng ada di kompleks pesantren.

"Sudah ... ini memang sudah seharusnya menjadi kewajiban saya. Sebagai manusia kita wajib. untuk tolong menolong." Ajeng menepuk pelan pundak Naina.

"Kalau nggak ada njenengan, entah saya harus bagaimana. Saya tahu kalau perbuatan saya keliru. Tapi, saya tak tahan lagi ..." Naina terisak.

Kalimat demi kalimat keluar dari bibir Naina. Tentang masa lalu kelamnya, sesuatu yang membuatnya merasa kotor tak berharga dan yang membuatnya terjebak dalam pernikahan yang menyiksa. Menjadi istri kedua tanpa kejelasan status. Padahal, pernikahannya terjadi atas inisiatif dan restu istri pertama. Dan beberapa hari lalu adalah puncaknya. Saudara-saudara sang kakak madu yang menyindir, bahkan ada yang menghinanya secara langsung sebagai perempuan perebut suami orang. Pun masalah nafkah dan segala hal yang menekan batin.

Ajeng mengernyit dengan kedua ujung alis yang turun. Cerita Naina sungguh tak kalah menyakitkan. Mungkin Naina memang tak harus melayani banyak lelaki hidung belang. Tapi, segala tekanan tak bisa dianggap mudah.

"Mbak ... urusan dosa dan kotor, saya pun tak kalah kotor. Saya—" Kalimat Ajeng terputus. Pesan Ali kembali terngiang di telinga. Tak boleh menceritakan aib yang telah lalu kepada orang lain. "Ehm ... percaya atau tidak, saya juga punya aib yang sangat berat. Pun tak kalah kotor. Tapi, saya nggak mungkin menceritakannya dengan jelas. Tapi, percayalah, Allah itu Maha Baik. Maha pengampun."

"Tapi, Neng—"

"Mbak ... dulu saat saya terpuruk dan merasa tak berharga, Allah mengatur sebuah kejadian yang membuat saya bisa bebas dari aib masa lalu. Lalu, saya bertemu Mas Ali. Lelaki baik yang menerima saya dengan segala kekurangan yang saya miliki." Kalimat Ajeng terjeda beberapa saat. Dia menatap Naina lekat-lekat.

"Mbak masih sangat muda. Mbak juga cantik dan berilmu. Mbak tadi bilang kalau alumni pesantren, kan? Saya saja dulu mengajinya nggak lancar. Tapi, takdir membawa saya ke sini. Saya terus berbenah. Saya berani memutuskan kalau harapan itu pasti terwujud. Jujur saja, Mbak. Delapan tahun saya terkungkung dalam dosa dan penderitaan. Nyatanya, saya bisa terbebas dan seperti kali ini." Ajeng meraih tangan Naina di pangkuan dan menepuknya pelan.

Naina pasti berpikir bahwa kehidupan sebagai menantu Kiai adalah hal yang menyenangkan dan terhormat. Biarlah dia berpikir demikian. Semoga menjadi penyemangat dan membuatnya berani memutuskan jalan yang harus dipilih.

"Terima kasih, ya, Neng. Insyaallah saya akan berusaha memperjuangkan kehidupan saya." Mata Naina berkaca-kaca.

"Bismillah … jangan putus asa. Ada Allah, Mbak." Seulas senyum tipis hadir pada bibir.

Seketika Naina terisak dan menjatuhkan kepala pada pangkuan. Ajeng membelai pelan punggung kepala perempuan malang ini. Ya Allah … berilah petunjuk dan kekuatan pada perempuan baik ini?

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang