🥰Delapan Belas

82 15 0
                                    

Seketika, Ali menoleh saat layar ponsel menyala. Notifikasi pesan obrolan dari Ajeng muncul pada smartphone yang bertengger di meja.

Dia meraihnya dan menjeda percakapan sejenak dengan lelaki sipit pemilik toko penyedia kebutuhan percetakan. "Saya pamit mau menjawab pesan dari istri, ya, Ko? Takut penting, soalnya dia sendirian di Masjid Martajasah."

"Loh, sama istrinya, Mas? Kok nggak diajak ke sini?" Lelaki paruh baya berkulit putih itu membulatkan mata.

"Dia memang minta ditinggal di sana. Katanya mau mengaji. Toh, saya kan di sini nggak lama." Ali membuka kunci layar dan aplikasi percakapan. Dua kerutan sejajar pada glabela, seketika muncul di wajah Ali.

[Mas, aku nggak jadi ngaji sekarang. Sekalian nungguin kamu. Aku mau makan dulu di warung nasi deket parkiran sama seorang teman.]

Teman? Bagaimana mungkin Ajeng tiba-tiba memiliki teman di sini?

"Sebentar, ya?" Ali berisyarat dengan tangan yang terangkat. "Saya mau telpon istri saya dulu." Dia beranjak dari sofa.

Pemilik toko penyedia bahan percetakan itu mengangguk. Lalu, berisyarat dengan tangan, mempersilakan Ali.

Seketika, Ali menekan tombol dial pada ponsel sembari melangkah keluar ruang tamu, menuju teras rumah lelaki sipit dan berkulit putih itu. Hanya perlu menunggu hingga tiga kali nada tunggu, barulah panggilan terhubung.

Ajeng berucap salam dan segera saja Ali menjawabnya. " ... kamu mau makan sama siapa? Teman siapa?"

"Oh, ini teman baru kenal. Orang Lumajang. Kita obrolin di sini saja kalau kamu udah kelar urusannya. Aku cuma mau makan, kok. Udah, ya, ini orangnya duduk di sebelahku. Aku kirim foto bentar lagi. Assalamualaikum."

Belum juga Ali menjawab, telepon sudah terputus, membuat lelaki yang kini merasa heran itu mendengkus dan kembali mengernyit.

Tapi, segera setelahnya, pesan obrolan kembali mendarat pada ponsel, disertai gambar sang istri yang berswafoto dengan seorang perempuan berkerudung cokelat lusuh.

[Aku ketemu perempuan pingsan tadi. Kayaknya dia belum makan, jadi aku ajak makan. Dia bilang, orang dia Lumajang. Mau kuajak ke rumah rencananya, tapi aku belum ngomong sama dia. Dia cuma minta tolong untuk menghubungi keluarganya. Kita ngomong lebih jelasnya nanti aja, ya? Biar dia makan dulu.]

Ali mengembuskan napas lega. Ternyata hanya orang asing yang baru bertemu. Dan tak mengherankan jika terkadang bertemu orang asing di tempat-tempat seperti Makam Syaikhona ini.

Ali segera membalas pesan dan memberi izin pada istrinya.

[Hati-hati. Dia orang asing.]

Ali segera mengantongi kembali ponsel setelah mematikan layarnya. Tapi, HP kembali berdengung, menandakan pesan chat yang mendarat.

[Ah, kayak lupa aja kalau aku dulu juga cuma orang asing.]

Ali mengulum senyum. Pesan balasan Ajeng memang benar. Mereka bertemu sebagai dua orang asing yang tak saling mengenal. Tapi, takdir membuat mereka akhirnya menjadi sepasang suami istri.

Sejenak, ingatan kala itu kembali hadir. Siang itu, setelah membeli air mineral dari toko kelontong di pinggir jalan, Ali cepat-cepat kembali ke mobil. Sengaja, dia tak mengunci kendaraan, karena memang hanya turun sebentar saja.

Selanjutnya, Ali mengendarai long sedan putihnya seperti biasa. Ingatan tentang perjodohan yang dipaksakan, tak henti berkelebat di kepala. Tak ada jalan lain kecuali kabur. Harga diri sebagai lelaki, seolah-olah dibabat habis. Apa kata dunia nanti?

Ali memutar kendaraan di bundaran Waru, masuk tol agar bisa cepat sampai di Probolinggo, segera menemui Gus Zaid. Semua berjalan lancar, hingga tiba-tiba bunyi ponsel yang terdengar asing, membuat Ali sontak menoleh ke kursi penumpang belakang. Seorang wanita berusaha beranjak dari lantai mobil. Sepertinya, sejak tadi dia meringkuk di sana.

"K-kamu siapa?" Ali menyalangkan mata, menatap perempuan itu.

"Anu ... a-aku bisa jelasin." Perempuan itu kini sudah duduk pada lantai mobil.

Segera saja, Ali berbalik dan segera memutar kemudi, meminggirkan kendaraan. Dia memutar tubuh, tapi masih tetap di kursinya. Sementara perempuan itu sudah duduk di kursi penumpang belakang.

"Hei! Aku nanya. Kamu itu siapa?" Nada suara Ali meninggi. Dahinya juga mengernyit dalam.

"A-anu, a-aku tadi dikejar-kejar preman. Soalnya, aku ... aku ... belum bisa bayar utang mendiang Bapak." Perempuan ini terbata dan mimik wajahnya tampak menyedihkan.

"Ah, itu bukan urusanku!" Tak boleh terpedaya. Bagaimana pun juga, perempuan ini adalah orang asing.

Ali membuka pintu mobil, lalu segera menuju pintu belakang dan membukanya. Seketika menarik perempuan ini dengan cukup kasar. Tentu saja, cengkeraman kuat pada lengan membuatnya meringis dan mengaduh.

Bunyi lalu-lalang kendaraan cukup ramai. Siang masih terasa panas, meskipun tengah hari sudah lewat.

"Ayo, jelaskan! Kamu itu siapa?" Ali bersedekap, menatap perempuan di hadapannya.

"J-jadi gini. A-aku tadi lagi jalan di sekitar kontrakan, ya?" Kalimat perempuan ini terjeda beberapa saat. Dia memutar bola mata ke kanan atas sembari menggigit bibir bawah. "Mmm ... terus anu, papasan sama preman-preman itu. Mereka itu mmm ... suruhan rentenir. Dulu, kan, anu ... Bapak punya utang, gitu. Apa kamu nggak kasihan lihat perempuan dikejar-kejar preman? Aku bukannya nggak mau bayar. Aku ... aku ... cuma belum ada duit." Mimik wajah perempuan ini seperti kucing ketakutan.

"Lalu, kamu kenapa masuk mobilku?" Kedua mata Ali menyipit.

"Aku nggak sengaja. Aku nggak tahu lagi mau bersembunyi di mana. Kalau aku dibiarin di tengah jalan tol begini, aku nggak tahu bakal ke mana. Tapi, kalau aku diantar ke Surabaya lagi, aku takut ketemu preman-preman itu." Perempuan ini menunduk dan sedikit mendongak, menatap dengan ekspresi takut-takut.

Memang dia adalah orang asing. Tapi, membiarkannya di tengah jalan tol begini juga bukan keputusan tepat. Paling tidak, dia harus segera diantar sampai ke luar dari jalan tol.

Ali mempersilakan perempuan yang mengenalkan diri sebagai Ajeng itu untuk ikut serta. Dan ... percakapan panjang pun terjadi.

Helaan napas dalam bersamaan dengan kesadaran Ali yang kembali ke masa kini. Kebohongan Ajeng kala itu, sama sekali tak jadi masalah. Karena setelahnya, Ajeng perlahan berkata jujur. Alasan dikejar rentenir yang mengada-ada, akhirnya terbongkar juga. Ajeng adalah pembohong yang sangat buruk.

Ajeng lari dan bersembunyi karena ketakutan. Dia menyangka pelanggannya tewas karena mengkonsumsi viagra. Ketakutan yang ternyata membebaskannya dari delapan tahun mimpi buruk yang telah terjadi.

Ketakutan adalah sebuah tekanan besar. Sesuatu yang mampu mendorong manusia melakukan hal yang sebelumnya seolah-olah tak mungkin.

Ali membalas pesan chat dengan stiker kucing tertawa. Lantas, mengantongi ponsel dan kembali masuk ruang tamu.

Percakapan tentang pemesanan barang, kembali dilanjutkan. Cukup banyak yang dipesan untuk kebutuhan percetakan. Beberapa roll kertas flexing, pun kertas stiker, tinta, dan segala keperluan lainnya.

Tapi kali ini, Ali membuat percakapan sesingkat mungkin. Dia segera pamit setelahnya untuk segera menemui Ajeng kembali di Makam Syaikhona Kholil.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang