🥰Tiga

126 20 2
                                    

Batu besar itu kembali menghimpit dada. Ali bukan hanya terhormat, tapi juga sangat berada. Ajeng mengedar pandangan dari balik kaca mobil. Untuk sepersekian detik, dia menahan napas.

Di sebelah utara, ada tiga rumah besar-besar menghadap pada jalan raya. Dua berdesain modern dan hanya satu yang berdesain lawas. Sangat kontras. Sementara itu, di sebelah kiri masjid terdapat bangunan bertingkat, sepertinya itu adalah gedung sekolah. Terdapat beberapa pemuda bersarung dan berpeci yang tengah berkegiatan.

"Itu rumah Abah dan Ummi." Ali menunjuk pada rumah bercat dominan cokelat dan krem. Rumah paling besar dan mewah. "Rumah lawas itu yang rencananya, akan kutempati setelah menikah dan direnovasi. Dan yang di pojok itu, itu rumah Kak Ammar, kakak lelakiku."

Perlahan, Ajeng menoleh, menatap Ali. Hanya menatap beberapa saat, tak ada kata yang terucap. Ali benar-benar anak orang kaya, bukan hanya terhormat. Sejak dulu, cerita-cerita romansa dari dua dunia berbeda selalu menemui konflik pedih yang tak sebentar. Bahkan, sangat jarang berujung bahagia.

"Sayang … ayo, turun. Kamu kenapa?" Nada suara Ali terdengar lembut. Dia memiringkan kepala dan menatap Ajeng dengan hangat.

Hanya gelengan pelan, lantas perempuan yang merasa sangat cemas itu menghela napas dalam. Dia menyampirkan tali sling bag  sembari mengembuskan napas perlahan. "Iya, ayo!" Senyum tipis tersemat di bibir.

Sebuah tepukan lembut tiba-tiba mendarat di pipi. Ali tersenyum tipis dan menatap hangat. "Satu yang harus kamu ingat-ingat. Kamu nggak sendirian. Ada aku. Jangan terlalu cemas, ya? Semua akan baik-baik saja."

Berusaha meyakinkan diri, Ajeng mengangguk, setelah mematung sesaat karena sikap Ali yang tiba-tiba. Lelaki penyayang itu memang selalu berusaha membuat suasana jadi nyaman, terutama setelah tahu Ajeng hamil.

Ali memang penyayang dan perhatian, tapi tak selembut dan seromantis itu. Hanya sejak sejak kedatangan tamu dari Madura itu saja membuatnya tiba-tiba bersikap lebih protektif dan perhatian. Sepertinya, Dia paham bahwa masuk ke keluarga pesantren, bukanlah hal mudah. Apalagi … mantan perempuan malam.

Setelah satu helaan napas lagi, Ajeng turun dari mobil, lalu segera membuka pintu penumpang belakang. Mengambil dua tas plastik putih ukuran tanggung, sekadar buah tangan khas Probolinggo—aneka olahan mangga dan bawang goreng. Kesemuanya adalah produksi UMKM Gus Zaid—teman yang menolong Ali selama hampir setengah tahun sebelum menikah. Sementara itu, Ali mengambil koper dan tas travel di bagasi.

Tiba-tiba, dua pemuda menghampiri. Yang satu berbadan sedang dan sedikit jangkung. Dia bergegas menghampiri Ali dan membantunya, sedangkan satu lagi, sedikit kurus dan lebih pendek, mendekati Ajeng.

"Yatoreh, Neng. Abdinah yang bawa." Pemuda itu mengulurkan tangan dan sedikit membungkuk. Gesturnya sangat sopan. Jadi seperti … drama televisi tentang keluarga raja dan abdinya.

Keheranan, Ajeng tertegun sesaat. Lantas, menoleh ke arah bagasi. Ah, untunglah Ali segera muncul. "Berikan tas itu padanya. Nggak apa-apa."

"Oh, iya." Ajeng mengangguk dan berbalik ke arah pemuda tadi. Dia memberikan dua tas itu dengan gestur tak kalah sopan. "Matur nuwun, Le."

"Enggi." Pemuda itu menerima tas dan mundur beberapa langkah sembari tetap sedikit menunduk.

Ajeng masih menunggu Ali yang sejenak lalu menutup pintu bagasi. Harus bagaimana setelah ini? Kejadian pertama saja sudah secanggung ini.

"Ayo, kita masuk!" Setelah berpesan kepada dua pemuda tadi, Ali menghampiri istrinya sembari mengulas senyum tipis. Seolah-olah kembali meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja dan berjalan mudah. Semoga.

Keduanya melangkah beriringan menuju rumah paling besar dengan desain modern. Rumah yang tadi ditunjuknya sebagai rumah Abah dan Ummi. Alih-alih menuju pintu depan, Dia malah mengajak Ajeng berjalan melewati pintu masuk pada lorong di sebelah rumah, di antara rumah itu dan rumah berdesain lawas tadi. Lantas, mengetuk pintu samping.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang