🥰Dua Puluh Tujuh

77 18 0
                                    

Mata berbulu lentik itu mengerjap beberapa kali dengan pandangan kosong ke depan. Di balik niqab hitam, Ajeng tak henti menggigit bibir bawahnya. Tangannya pun tak henti memilin-milin kasar ujung hijab syar'i abu-abunya. Cemas dan takut menggelayut di tepian hati. Tidak. Tak mungkin Lora Zul adalah lelaki jahat itu. Semirip apa pun, jelas keduanya berbeda. Iya, tentu saja berbeda.

Sesekali, tubuh Ajeng bergoyang-goyang ketika ban mobil melalui jalanan tak rata. Meski pendingin udara sudah dinyalakan, tapi keringat tetap menetes di pelipis, membasahi beberapa bagian niqab dan hijabnya. Semakin lama, jarak rumah Neng Hanifah semakin dekat saja. Dan tiap meternya, menambah sesak di dada.

Suara batuk Ali seketika membuat Ajeng tersentak dan menoleh. Menelan ludah dan membulatkan bola mata. Jangan gugup, jangan gugup. Bersikaplah biasa agar Ali tak curiga.

"Tumben diam saja? Kamu sakit?" Ali tampak berusaha fokus. Hanya sedikit melirik dari sudut mata. Lantas berdeham sekali.

"Ng-nggak, kok. A-anu aku cuma inget kalau dua bulan lagi, peringatan hari meninggalnya Bapak. Akhir Syawal." Bohong. Tapi, saat mengatakannya, seketika hadir rindu di hati kepada keduanya. Yang mana … kepergian mereka seolah menjadi awal mula kehidupan penuh kecemasan setelahnya. "Selama ini, cuma pas mau nikah itu saja, kan, kita yang ke Pandaan. Aku … pingin nyekar ke makam Bapak dan Ibu." Ajeng seketika menunduk. Matanya berkaca-kaca. Suaranya lirih dan bergetar.

Ali memelankan laju mobil dan memutar kemudi. Berbelok dan masuk halaman rumah Neng Hanifah. Lantas, meraih telapak tangan sang istri yang masih memainkan ujung hijabnya, lalu menggenggamnya erat setelah mengosongkan gigi. "Kita ke sana bulan depan, yuk? Atau … kamu mau ke sana dalam waktu dekat? Aku bisa atur waktu."

Ajeng menggeleng pelan. Sebelah tangan yang bebas menyeka air mata. Lalu, mendongak dan menatap sang suami. "Nggak, Mas. Kita ke sana pas tanggal meninggalnya bapak saja. Lagipula, Faqih masih sering rewel. Kita tunggu dia baikan."

"Senyamannya kamu saja." Ali melepas genggamannya dan menepuk pelan pipi berbalut niqab itu. Lantas, mematikan mesin. "Oh, ya, satu hal lagi," Ali kembali menoleh. "Jangan dengerin apa pun yang membuatmu tak nyaman. Abaikan semua." Ali mengangkat kedua alis.

"M-maksudnya? Aku nggak—" Kalimat Ajeng terpaksa terputus. Ali cepat-cepat membuka pintu dan keluar. Bahkan, seolah-olah tak mau mendengarkan, apalagi menjawab.

Ajeng hanya mengembuskan napas panjang, berusaha menghalau sesak. Omongan tak nyaman? Apa yang Ali pikirkan sebenarnya? Memang akhir-akhir ini Ajeng tampak murung. Tapi … ini bukan tentang omongan siapa pun.

Pintu mobil terbuka dan Ajeng turun seraya menyampirkan totebag di bahu. Dia berusaha abai dengan semua pertanyaan di benak.

Ali mengantar Ajeng sampai teras depan rumah Neng Hanifah. Dan entah tahu dari mana, tiba-tiba pintu depan terbuka. Lora Zul keluar dan menyapanya.

Lagi. Ingatan akan kejadian demi kejadian buruk itu kembali hadir. Tidak, berusahalah tenang! Jangan sampai bersikap aneh! Tapi, Ajeng tak mampu. Bayangan mengerikan itu memaksanya masuk ke pusaran waktu yang selalu ingin dilupakannya. Kejadian yang diharap mampu dihapus atau dilompati. Kejadian terkutuk itu.

Ajeng menyalangkan mata menatap lelaki tinggi besar itu. Dia memang lebih tua. Beberapa bagian rambutnya memutih. Tapi, wajahnya persis sama. Dan sialnya, mata lelaki itu berserobok dengan Ajeng. Dia menatap dengan tatapan serupa. Seolah-olah dia mampu mengenali wajah di balik niqab itu. Tapi, cepat-cepat lelaki itu berpaling dan kembali berusaha beramah-tamah dengan Ali. Sangat kentara dia sempat terkejut.

Dada berdegup kencang, napas memburu. Tapi, semua harus bisa dikendalikan. Dunia seolah berputar-putar. Tapi, Ajeng berusaha untuk tak limbung. Tak boleh, orang-orang tak boleh berpikir macam-macam. 

Beberapa waktu setelahnya, Neng Hanifah muncul, mempersilakan Ajeng untuk masuk. Lalu, Ali segera pamit.

Keadaan belajar di hari pertama sungguh sangat tak nyaman. Ajeng tak mampu fokus. Berbagai pikiran dan ingatan buruk berkelebat di kepala. Dua jam yang menyiksa. Tapi, untung saja, semua bisa dilalui.

"Oh, ya, Neng. Sampean asli Grati, ya?" Neng Hanifah menutup buku modul dan meletakkannya di ujung meja.

"Iya, Neng. Kenapa?" Ajeng yang sedang memasukkan bukunya ke totebag, menghentikan kegiatan sesaat, menatap perempuan manis di hadapannya penuh tanya. Bukankah kemarin Neng Hanifah sudah menanyakannya?

"Oh … nggak apa-apa. Saya ada teman di sana. Teman pondok dulu." Neng Hanifah menyeringai. Benar-benar mencurigakan.

Ajeng menyipitkan mata beberapa saat, lalu kembali meneruskan kegiatan. Mengapa orang-orang sangat ingin memastikan di mana dia berasal? 

"Sejak kecil di sana, Neng? Nggak pernah tinggal di tempat lain?" Lagi, pertanyaan aneh. 

Pertama kali yang menanyakan adalah Nyai Romlah. Beliau bertanya dengan gerak-gerik dan nada suara yang aneh. Kini, malah Neng Hanifah melakukan hal sama. Ada apa sebenarnya?

"Oh, i-itu. Ng-nggak, kok. Saya ini dari kecil tinggal di sana. Ehm … anu, lebih tepatnya sejak umur dua tahunan. Dulunya, kata Mbah kami tinggal di Pandaan. Itu saja. Setelah itu, saya dirawat bapak angkat saya." Ajeng menutup resleting dan meletakkannya pada kursi di sebelahnya. Lalu, meraih ponsel yang sejak tadi diletakkan pada meja. "Saya mau menghubungi suami saya dulu, ya, Neng?" Ajeng mengusap layar dan segera menghubungi Ali.

Ya, Allah … ada apa sebenarnya? Apakah ini ada hubungan dengan pesan Ali tadi? Pun sikap Lora Zul yang aneh. Semua semakin menyiksa rasanya. 

Untung saja, ketika dihubungi, Ali sedang dalam perjalanan. Hingga, hanya sekitar lima menit, dia sudah datang. Dan acara pamit pun tak terlalu lama. Sebab, Ali beralasan ada kepentingan setelahnya.

Tapi, lagi-lagi mata Lora Zul seolah menatap Ajeng penuh tanya, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi. Ya Allah … semoga dia bukan lelaki jahat itu.

***

Ajeng seketika terduduk saat melihat pesan obrolan yang mendarat pada ponsel. Pesan dari nomor tak dikenal. Pesan yang … mengancam.

[Pelacur sepertimu jangan bermimpi untuk membodohi kami. Sepandai-pandainya kau menyimpan bangkai, cepat atau lambat semua akan terkuak. Manusia hina sepertimu sebaiknya segera pergi dari sini. Semua telah tahu siapa kamu sebenarnya. Jadi, sebelum kau malu dan membuat anakmu dijuluki sebagai anak pelacur, sebaiknya, segera angkat kaki dari desa kami.]

Siapa pengirim pesan ini? Bagaimana dia bisa tahu? Apakah semua orang di desa ini telah tahu? Apakah ini ada hubungannya dengan pesan Ali tadi?

Oh, pantas saja ketika Faqih ditinggal tadi, Homsiyah malah kembali dari ndalem tengah. Katanya, Ummi sedang sangat sibuk dan tak bisa diganggu. Padahal, kemarin lusa, Ummi masih bermain-main dengan Faqih. Sangat lengket.

Ajeng seketika menggigit bibir bawah. Dia menjatuhkan pandangan pada bayi lelaki yang nyenyak di sampingnya. Keadaan yang temaram dengan bantuan lampu tidur, masih bisa membuat Ajeng melihat dengan jelas dada putranya yang naik turun, pertanda embusan napas yang teratur. Apakah masa lalu itu akan kembali menjadi batu sandungan? Bahkan ketika seorang pendosa sedang meniti jalan taubat pun, dunia masih terus menolak. Kapan semua akan berakhir?

Ali harus tahu tentang ancaman ini. Kemungkinan juga dia telah tahu tapi bungkam. Mengapa Ali tega? Pantas saja Neng Hanifah dan Nyai Romlah berulang kali menanyakan tentang tinggal di tempat selain Grati.

Mengapa jalan taubat begitu sulit? Bukankah semua itu bukan sengaja?

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang