✐ 02.

440 74 6
                                    

Saat ini, Taehyung berada di depan pintu kediaman Jungkook. Hendaknya akan mengetuk pintu juga memberi salam bagi sang penghuni rumah, lamun Jungkook sudah membukanya lebih dahulu dengan wajah datar biasa memandang Taehyung.




Eh, Kecilku. Udah selesai siap-siapnya?” Jungkook menggerlingkan matanya malas. “Belum, nih. Masih tidur.” Matanya sedikit membelalak saat mengucapkan kata tidur. Ya, memang siapa yang tidak sebal saat diberi pertanyaan retorik? Pemuda manis itu menjadi salah satunya.




Taehyung terkikih, kemudian meminta Jungkook agar tidak menghalangi jalannya untuk masuk ke dalam. Ia mengerti sopan santun, juga untuk menjaga tali silahturahmi antar kedua belah pihak yang berbeda. “Cil, Bunda mana?” tanyanya saat hampir tidak bisa menemukan entitas yang dimaksud.




Menoleh ke arah sahabatnya, “Di dap—itu,” sosok yang dicari-carinya keluar dari dapur disertai senyum keibuan yang selalu disegani Taehyung. Bunda Jungkook—sembari membawa mangkok nasi, berjalan ke arah meja makan guna diletakan. Setelah itu mendekati Taehyung yang sudah beliau anggap sebagai anaknya sendiri.




“Taehyung udah sarapan, Nak?”




“Udah, Bunda. Sekarang mau jemput si Kecil. Sebelumnya pengen salim Bunda dulu,” Bunda Jungkook menatap anaknya yang menunggu di ujung pintu dan anak dari temannya bergantian. Menyadari bagaimana pertumbuhan keduanya semakin membesar kian hari kehari, hatinya menghangat juga terharu sebab itu. Dulu masih mengemong salah satu diantara mereka secara bergantian, sekarang sudah beranjak menjadi remaja saja. Sampai Ia tidak sadar jika setahun lagi keduanya akan lulus sekolah.




Wah, waktu berjalan begitu cepat.




“Yaudah. Kalian hati-hati, ya. Jangan nakal-nakal di sekolah.” Taehyung mengambil tangan Bunda Jungkook dan menciumnya. Mengiyakan perkataan beliau. Kemudian, berjalan keluar serata sebelah tangannya mengalung di leher Jungkook yang terkejut. Taehyung ini—aduh. Senang sekali bersikap spontan.




“Kamu jadi bawa motorku, Lay?” Taehyung mengangguk. Semalam, saat mereka melakukan perbincangan dalam sesi video call mereka, Taehyung berencana mengantar Jungkook memakai motor pemuda itu. Sebenarnya sekalian ingin mengambil motornya di bengkel Pak Herman, sebab koplingnya yang longgar dan perlu diganti. “Wow, aku dapat izin?”




Mendengus sedikit keras, mengambil helmnya yang diletakkan di atas bangku panjang di teras. Jungkook melempar kunci motor tersebut ke arah Taehyung yang segera sigap ditangkap. Tersenyum penuh kemenangan, membawa kakinya mendekati Jungkook. Dan tahu, apa selanjutnya yang pemuda selengean itu lakukan?




Menciumi pipinya.




Dan Jantung si Kecil hampir bertukar tempat dengan lambungnya.




Bohong, jika Jungkook terang-terangan bilang bahwa dirinya tidak tersipu. Bohong, jika Jungkook tidak ingin melempari pemuda tersebut dengan helm yang sedang digendongnya. Bohong besar—bila Ia mengatakan bahwa Ia tidak merasakan desiran aneh mengalir di venanya.




Taehyung bersamaan tingkahnya, mampu menjadikan Jungkook terbawa suasana yang selalu ditepis sekeras mungkin. Walau kadang tidak mampu mengendalikan emosinya.




Dan entah sejak kapan motornya sudah berada di luar pagar. “Kecil, ayo cepat! Kok, malah ngelamun? Nanti telat, loh,” mendengar seruan sahabatnya, Jungkook segera memakai helm, lalu menutup pintu pagar. Melompat kecil untuk naik ke jok belakang kendaraan mesin beroda dua itu.




Duyên︱vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang