✐ 16.

134 32 23
                                    

────────────────────────

Ada yang ingat ini nggak... 😔

────────────────────────













Selesai mengusak surai kelamnya, Taehyung beranjak dari kasur, keluar dari kamar Jungkook penuh keheningan. Tanpa basa-basi, pemuda tampan tersebut mengambil baju kotornya di kantong kresek dan ponsel yang masih dibiarkan di atas meja ruang tengah. Berusaha memijakkan langkah kaki setenang mungkin, tak mau terdengar seperti orang yang terburu-buru keluar dari rumah kawannya.




Masa bodo terhadap tas gitarnya. Ia kehilangan minat untuk membawa barang-barang berat. Kapan-kapan saja ketika Ia mau. Menutup pagar tersebut, kemudian berjalan memakai sepatu converse-nya yang dipakai asal—membiarkan bagian tumit diinjak serta terbuka kena udara. Ia turut meninggalkan motor pun gitarnya di sana.




Entah bagaimana ekspresinya sekarang. Seperti orang patah hati, kah, atau orang yang tampak baik-baik saja ... Ia tak tahu. Di bawah lampu jalan warna kuning, Taehyung sibuk menatap aspal. Memutar ulang ke belakang, pada saat Ia mendapatkan usiran halus dari Jungkook.




Bahkan tidak percaya bila baru saja didepak olehnya. Jungkook tidak pernah seperti ini, sebelumnya. Mengusir pun tetap akan membiarkannya masuk ke dalam rumahnya kembali—sebatas menjahili dirinya. Tetapi di malam hari ini, Ia membiarkan dirinya berbalik ke rumah disertai kesedihan, pula sakit hati kian menderu hati.




Apa ... sebegini tragis orang-orang yang menaruh hati kepada sahabat dekatnya sendiri persis di artikel yang tadi dibacanya? Apa maksud dari arti ‘jadian’, ‘pacaran’, bahkan ‘menikah’. Bukankah itu semua omong kosong belaka? Mengapa dirinya harus merasakan yang terpahit dalam hubungan persahabatan ini?




Padahal Ia seharusnya bisa mencintai seseorang di luar sana, selain sahabatnya. Lantas, mengapa panah sang Dewa Cupid malah tersasar kala dirinya menatap Jungkook penuh sarat akan kasih?




Rasanya payah sekali jika Taehyung harus berhenti di sini. Terlebih-lebih, dia belum memulai apapun. Ini masih sehari setelah pernyataan Jungkook mencintai sang Kakak. Tetapi lubuk hati telah dibelah sebanyak dua kali.




Namun perasaan galau sangat mendominasinya detik ini juga. Belum bisa berpikir jernih selain sibuk memunguti kepingan hatinya yang sempat jatuh tadi. Kali ini Taehyung akan menjahitnya sendiri di dalam kamarnya. Dirinya harus bisa lebih mandiri mulai sekarang, tidak mau apa-apa mengandalkan orang lain—misalnya, Kak Namjoon.




“Baru pulang kamu?” Taehyung terkesiap sesudah berbalik menutup pagar, dia menengadahkan kepalanya ke depan di mana suara rendah tersebut berasal. Dari teras rumah. Menangkap matanya yang melirik sejurus.




Taehyung langsung mengerjapkan matanya, Ia mengulas senyum tipis. Mendekati pria paruh baya tersebut, lalu mencium punggung tangannya. “Dalem, Pa. Tadi Caka habis mampir sebentar ke rumah Adel,” Ia menjeda sesaat, “Papa pulang jam berapa? Tumben banget agak cepat.”




“Loh, dudu e bersukur Papamu iki wangsul awal. Piye kamu?” (Bukannya bersukur Papamu ini balik awal. Gimana kamu?).




Tutur Papa sebelum menyesap teh hangat yang dibuatkan oleh Mama. Taehyung langsung gelagapan, Papanya sudah memakai bahasa Jawa yang mana bisa mengartikan bahwa dirinya sedikit tersinggung. “Ya Allah, bukan gitu, Pa,” menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal, “maksud Caka, tuh, Papa lagi gak ada lembur? Biasanya jam sebelasan,”




Duyên︱vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang