✐ 14.

176 31 2
                                    

Pemuda manis tersebut ... ya ampun, Ia benar-benar melakukannya saat jalanan berangsur sepi. Sampai dia sendiripun kewalahan menegur dari depan agar lebih santai. Namun, tepukan antusias di bahu berkali-kali didapatnya.




Jungkook bahagia, kendati bukan karena dirinya. Dan Taehyung tidak bisa menghentikan yang sekiranya membuat si pemuda manis memancarkan binar bulan nan elok, pula senyuman merekah cantik tersebut. Sebetulnya, Ia ingin menyombongkan diri bahwa bisa membuat Jungkook sebahagia ini, tetapi—Ia tidak pernah mendapatkan sahabat manisnya sebegitu indah tenggelam dalam kesenangan.




Ia belum pernah berhasil. Tak apa. Taehyung bukan tipe seorang yang pesimis dan mudah menyerah. Satu waktu nanti, dia sendiri yang akan mendatangkan matahari beserta sang benang raja kepada orang yang berhasil mengukir nama di hatinya.




Beberapa menit yang lalu, mereka telah sampai di depan rumah Jungkook. Taehyung yang meminta untuk masuk ke dalam rumahnya. Selagi kebetulan kedua orang tua si Kecil belum sampai, Ia juga berhenti untuk singgah untuk beberapa sejenak.




Awalnya, si pemuda manis itu bingung, mengapa sang sahabat tidak pulang langsung? Tetapi kala mendapat cubitan di pipi, dan perihal martabak yang dibeli—entah sebagai alibi atau apa, Ia tunak terhadap omongannya.




Taehyung meletakkan tas gitar yang digendongnya sejak tadi di ujung ruang tengah rumah tersebut. Merenggangkan tubuhnya yang terasa sedikit pegal, mendudukan diri pada sofa ruang tamu seperti beberapa tempo hari. Hendak merogoh ponselnya, namun terdengar lantunan pita suara sahabatnya yang baru saja masuk sembari menutup pintu, lalu berjalan ke arah meja depan tv. Menaruh goodie bag serta martabak yang Ia ambil alih untuk ditenteng sewaktu di atas motor.




“Alay, kalau mau makanin martabaknya, duluan aja.” Ia berdeham, “mau mandi, ya?”




Jungkook terkikih, mengangguk nyaris tak terlihat. “Kan, kamu tahu sendiri kebiasaanku,” kemudian lelaki tersebut melenggang pergi ke lantai atas untuk memasuki kamarnya. Isi kepala Taehyung tak luput dari bermacam kejahilan, meski masih sedikit berantakan perihal yang tadi—Ia menyahut, “lama aku habisin, ya!”




Langkah Jungkook melambat di seperempat anak tangga di bagian atas, wajahnya langsung menekuk masam walau Ia tahu Taehyung tak dapat melihatnya. “Ih, apaan?! Nggak jelas, ah. Pulang aja sana kamu!” yes, berhasil. Taehyung bersorak penuh kepuasan dalam hati, sebab kembali mendengar suara amukan sahabat kecilnya.




Tidak tahu, tetapi Ia senang menjadikannya mengomel-omel seperti bocah tk yang tak terima dijahili. Jungkook dengan suara rengekan adalah hal yang menyenangkan. Dan topik tak akan mati bila ocehan Jungkook telah melayang begitu saja, tetapi kali ini Ia biarkan bertahan sementara. Jungkooknya harus melakukan kegiatannya yang agak tertunda.




Ah, maaf. Maksud Taehyung—Kecilnya. Jungkook belum menjadi kekasihnya, tetapi nama Kecil, hanya Taehyung yang boleh dan bisa menyebutkannya pada pemuda manis tersebut.




Si pemuda tampan terkekeh, “Gak, Sayang. Buruan mandinya!” sesudah mendengar lontaran dari Taehyung, Jungkook mendengus pelan. Memang, tahu betul, bahwa Taehyung hanya menaikkan suasana saja. Lamun pernah sahabatnya itu—sewaktu dirinya memesan suatu makanan di malam hari, kejadiannya hampir sama apa yang tengah berlangsung sekarang.




Entah Taehyung yang terlalu lapar atau bagaimana, saat dirinya balik turun ke ruang tengah, segera bertanya pada sang sahabat tentang pesanannya, namun malah menemukan makanannya sisa satu untuk disantap. Mana mungkin si Kecil tidak begitu jengkel? Bahkan batang hidung Taehyung sudah tak terlihat sehabis Ia mengusirnya keluar rumah dan membiarkannya pulang.




Duyên︱vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang