✐ 03.

301 60 1
                                    

“Yang, maaf, ya? Nanti jadi bawa motor sendiri,” Jungkook menggeleng, menatap Taehyung dari spion motornya. “Nggak papa, ish. Aku bisa naik motor sendiri, ‘kan.”




“Ya, maksudku, kamunya jadi repot. Padahal tinggal dibonceng, aku jamin antar selamat sampai tujuan tanpa lecet sekalipun,” nah, ‘kan. Sudah mulai kekhawatiran Taehyung yang berlebihan terhadapnya kambuh. Tidak bohong, Jungkook senang diperhatikan dan dipedulikan sebegini baiknya oleh orang terdekatnya. Contohnya seperti Taehyung, pemuda yang menyandang status sebagai sahabatnya itu begitu menjaganya, sangat.




Terkadang kepeduliannya membuat Ia jengkel, karena terlalu berlebihan. Dia bukan bocah ingusan yang belum mengerti apa-apa lagi. Lagipula, Ia hanya berbeda setahun dari sang sahabat. Umurnya sudah menginjak tujuh belas, Ia bisa menjaga dirinya sendiri sebagaimana anak muda pada umumnya. “Berisik, deh. Aku nggak masalah ngelakuin sendiri. Aku udah gede, udah punya sim, punya ktp, udah bisa jaga diri.” ujarnya dengan nada yang terdengar kesal.




Taehyung bisa melihat kernyitan dikening Jungkook yang menatap jalanan depan. Menghembuskan napas berat disaat menarik rem motornya tepat di belakang mobil yang tengah berhenti. “Ngerti, Sayang,” tangannya bergerak menyentuh jemari Jungkook yang mengerat diperutnya, mengelusnya halus guna meredakan amarah setidaknya sedikit. “Aku paham banget. Aku cuma ... gak mau repotin kamu. Kamu tangkap maksudku, ‘kan, Cil?”




“Ya, iyaaaa. Aku paham. Kamunya yang jangan terlalu protektif ke aku. Aku bisa sendiri.” Mendengus kesal. Memangnya dirinya anak tk yang apa-apa harus dipergampang?




Baiklah. Taehyung memilih untuk mengalah daripada membuat Kecilnya mengamuk kembali. Sudah cukup saat tertangkap tadi Ia diamuki dengan seribu perkataan yang keluar dari mulut sahabatnya, dan juga disuruh memijati kakinya di dalam kelas beralibi pegal. Tidak tahu mengapa dia tidak memukul dirinya menggunakan tongkat yang apa gunanya dibawa-bawa kalau begitu, namun Ia sangat bersukur akan hal itu.




Mobil di depan berjalan kembali, Taehyung mulai mengegas motornya perlahan melewati celah-celah kosong di antara kendaraan beroda empat tersebut. Sempatnya berteriak agar Jungkook menutupi hidung serta mulutnya, karena ada asap solar keluar dari knalpot truk pengangkut barang. Hampir tiga puluh menit mereka melalui seluruh transportasi yang. Entah mengapa sore kali ini lebih panjang daripada kemarin.




Sampai mereka berakhir di Bengkel Kang Deni. Ini pertama kalinya Taehyung membawa motornya bukan ke bengkel resmi, tetapi melihat Kang Deni yang dapat dipercaya—juga tarif harga yang dipasang jauh lebih ekomomis, berakhir Ia mencoba membenarkannya di tempat beliau.




Selesai terparkir, Ia- sembari menenteng helmnya, beserta Jungkook ikut masuk ke dalam bengkel tersebut. “Assalamualaikum, Kang Deni!” seru Taehyung. Memanggil orang yang tak kunjung menampilkan wujudnya.




Waalaikumsalam. Eh, kamu atuh. Nya, sok manga, masuk aja!” keduanya mengikuti instruksi Kang Deni. Dilihat ada beberapa motor yang masih dalam progres dibedah, mengakui kehebatan Kang Deni yang bisa menangani banyak kendaraan beroda dua itu. Kendatipun, Ia hanya bekerja bersama kedua temannya. Jikalau rekannya itu tidak masuk, ya, mau tidak mau mengerjakannya sendiri seperti saat ini.




“Kang, motor saya udah benar, ‘kan? Janjinya waktu itu seminggu, loh.” Kang Deni mengelap dahi, mengatur napasnya yang tersengal. “Sip, Taehyung. Tinggal lap mesinnya sami motorna dulu sebentar,”




Duyên︱vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang