Voter keberapa nih?
Seojin Hwang itu terbiasa semua serba presisi, sesuai dengan alur, dan apa yang terjadi juga seharusnya sesuai dengan apa yang ia inginkan—Oma selalu mengajarkannya seperti itu. Tidak ada penambahan hari berlibur di Australia sebab Sora menolak dan ingin segera pulang. Seojin tahu Sora Egbert itu sudah menjadi pengecualian, yang awalnya hanya sebuah substansi tambahan dalam hidupnya, sekarang secara perlahan mampu memiliki arusnya sendiri.
Sora benar-benar tidak berbicara padanya sama sekali sampai detik ini.
Menyiapkan kemeja, memilihkan dasi, merapikan tatanan rambutnya yang tergelincir tanpa sengaja. Sora tetap melakukan tugasnya, dengan semestinya, seperti yang Seojin perhatikan setiap hari. Tetapi hanya itu, tidak lebih. Tidak ada senyuman dengan sorot mata penuh harap, tidak ada pembicaraan yang Sora suguhkan untuk direspons. Sedikit banyak, Seojin Hwang ternyata tidak terbiasa dengan Sora yang melihat tanpa senyum ke arahnya.
Seojin melirik jarum Rolex pada pergelangan tangannya. Rompi berwarna biru tua itu memeluk dadanya dengan gagah—seperti biasa. Hari ini sarapannya adalah setangkup roti isi dengan mash potato yang harum bawang putih dan juga aroma cream yang gurih. Satu cangkir teh darjeling hampir menyentuh dasar gelas dan Bibi Song sudah membawakan air putih pada dua gelas tinggi.
"Apa kau akan terus seperti ini, Sora?" tanya Seojin saat Sora sudah mengangkat alat makannya.
Meja makan luas itu tidak berisi suara apa pun selain suara semprotan air dari penyiram otomatis tanaman pada halaman samping. Cahaya dibiarkan masuk melalui lolosan pintu kaca yang Sora buka beberapa saat lalu. Haneul dulu pernah bertanya, "Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu dengan hal ini, Sora? Aku tidak tahu Seojin benar-benar baik dan sayang padamu atau itu sekadar formalitas yang pria itu butuhkan, hanya saja sebagai teman, aku tidak suka melihatmu seperti ini."
Apakah Sora pernah mengatakan jika dia senang dengan posisi menyesakkan seperti ini? Tidak. Tentu saja Sora tidak menyukainya. Tetapi, apa yang bisa dilakukan manusia jika hati sudah terlanjur mendarat pada perasaan yang kelewat besar? Hanya ada dua cara untuk membuat ini lebih baik. Mendapatkan balasan perasaan yang setimpal, atau tersakiti setengah mati.
"Sora Egbert."
Sora perlahan menegakkan punggungnya, jantungnya mendadak berpacu lebih cepat. Seojin ketika memanggil nama lengkapnya, dapat dipastikan jika pribadi itu benar-benar serius. Bahkan tanpa melihat pun, Sora bisa merasakan bulu kuduknya merinding hanya dari suara, dan aura tatapan Seojin yang tegas.
"Pertanyaanku kurang jelas untukmu?" Seojin mendikte. "Apa kau tidak bisa menjawabku? Kau sakit?"
Sora mungkin Sora takut beban ini terlalu berat untuk ditanggung oleh perasaannya. Sora takut jika semakin lama ia menahan dan mengalah demi Seojin, perasaan tulus yang ia miliki perlahan sirna dan berubah menjadi hal yang tidak Sora inginkan. Jujur, Sora tidak ingin membenci Seojin.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Truth Can Lie ✔️
Fiksi Penggemar❝ Sora, kau ada waktu Jum'at minggu depan?❝ Sora Egbert jelas mengingat dua kenangan mengejutkan dalam hidupnya. Pertama ketika Seojin Hwang datang mengetuk pintunya dalam setelan rapih dan mewah. Yang kedua ketika nasibnya berubah cepat bak jentika...