BAB 22 - Like a dream!

422 27 25
                                    

Jantung Sheryl berdetak tidak karuan saat ini. Ia berusaha menahan senyumannya. Apa ini benar-benar bukan mimpi?

Ansell sudah berjanji jika ini adalah pertama dan terakhir kalinya ia mengucapkan kata-kata keramat itu. Mau ditaruh dimana harga dirinya saat ini?

"Sher," panggil Sabrina yang baru saja keluar dari ruang Kepala Sekolah.

"Gimana ma?" Tanya Sheryl penuh harap.

"Maaf ya, Sher kayanya kita gabisa pindah, soalnya kamu baru beberapa bulan masuk. Jadi kita pindah setelah kamu lulus aja ya?" Jelas Sabrina.

"Oke ma!" Jawab Sheryl senang.

Sabrina pun segera pulang meninggalkan Sheryl dan Ansell. Keheningan pun terjadi membuat rasa canggung.

"Gue gajadi pergi kok, kayanya doa gue terkabul," ucap Sheryl senang.

"Doa?"

"Ya! Sejak mama gue ngomong soal pindah, gue langsung doa ke Tuhan supaya gajadi pindah."

Ansell pun hanya tersenyum mendengarnya. Ia pun mengacak-acak rambut Sheryl sambil sedikit membungkukkan badan, karena badan Ansell yang jauh lebih tinggi.

"Ayo balik," ajak Ansell yang diangguki oleh Sherly.

Mereka berdua pun berbalik menuju kelas dan berjalan berdampingan.

"Sher! Gue bakal kangen sama lo!" Teriak Lia yang kemudian langsung memeluknya.

"Tapi gue gabakal kangen sama lo."

"Ih kok gitu?!"

"Soalnya gue gajadi pindah."

"Beneran?!"

"Hmm!"

Lia pun langsung memeluk Sheryl dengan erat. Ia sangat bahagia! Ansell yang melihat hal itu pun hanya tersenyum kecil lalu kembali ke tempat duduknya.

"Lo kemana tadi?" Tanya Gerald.

"Ke toilet bentar."

"Ohh."

"Lo kebelet banget ya? Sampe lari kaya gitu? Udah diujung apa gimana?" Tanya Devon

"Hmm."

Guru pun memasuki kelas dan mulai mengajar.

Sejak tadi Sheryl tak henti-hentinya mencuri pandang ke Ansell. Ia hanya tersenyum kala mengingat perkataan Ansell tadi.

Ansell pun yang merasa diperhatikan lantas menoleh. Benar saja Sheryl memperhatikannya sejak tadi.

"Udah kagumnya?" Bisik Ansell. Sheryl pun mengangguk lucu. "Sekarang fokus ke depan dulu ya?" Ajak Ansell sambil tersenyum.

Tentu Ansell tak ingin nilainya atau nilai Sheryl menurun hanya karena hal ini. Ia tetap harus bisa menyeimbangkan antara kehidupan belajarnya dan kehidupan cintanya kelak.

"Temen lo kenapa bro? Sejak tadi kayanya seneng gitu," tanya Devon.

"Kesurupan kali ya?" Tebak Gerald asal.

Jujur saat ini hati Ansell bahagia, bahkan ia tidak bisa menahan senyumnya sedari tadi.

"Woi, Sher! Lo kenapa sih? Perasaan seneng banget sejak tadi?" Tanya Lia.

"G-gue seneng karena gajadi pindah!" Alibi Sheryl.

"Ohh gue juga lebih seneng tau!"

Saat ini mereka berada di kantin sekolah. Setelah bel istirahat berbunyi, Lia segera mengajak Sheryl ke kantin tadi.

"Ke ruang musik? Gue lama gak kesana," ajak Ansell.

"Oke ayo!" Jawab Devon.

"Gue juga," sahut Gerald.

Mereka pun segera berjalan menuju ruang musik yang jaraknya kini tidak terlalu jauh dari kelasnya. Sudah lama mereka tidak memasuki ruangan itu.

Saat dalam perjalanan, Gerald pun merasa sesuatu bergetar dalam kantongnya. Ia pun mengambil ponselnya yang sudah ada pesan masuk dari Pelatihnya.

Pelatih
Segera ke tempat latihan, saya sudah mengirim surat ijin ke sekolah.

"Kenapa, Ger?" Tanya Devon.

"Gue harus balik buat latihan," jelas Gerald.

"Oke."

"Gue pergi!"

"Yoi!"

Gerald pun melangkahkan kakinya lebar. Ia bingung sebenarnya latihan untuk apa? Apakah ada lomba sebentar lagi?

***

Sesampainya Gerald di tempat latihan renang disitu sudah ada 2 orang penilai. Gerald tau siapa 2 orang disamping pelatihnya.

"Gerald! Kemari!" Titah pelatih. Gerald pun mengangguk dan segera kesana. "Hari ini akan ada penilaian kecepatan dan kelincahan untuk lomba renang minggu depan, jadi cepat ganti pakaian," bisik pelatih.

"Baik.

Ini terlalu mendadak untuknya, jujur ia tidak siap. Apalagi akhir-akhir ini ia belum latihan sama sekali.

Ia pun menutup lokernya lalu menuju area renang. Penilai pun mulai meniup peluit dan menjalankan stopwatch sedangkan penilai lainnya mengamati.

Posisi dada Gerald menghadap ke permukaan air lalu kedua belah kakinya menendang ke arah luar sementara kedua tangan ia luruskan di depan.

Selama beberapa menit Gerald berada di dalam kolam renang. Peluit pun dibunyikan tanda sudah selesai. Gerald pun segera mengusap wajahnya dengan tangannya lalu melihat penilai yang menggelengkan kepalanya pelan.

Setelah selesai menilai, para penilai kembali lalu Gerald segera menuju pelatihnya yang tampak dipenuhi amarah.

"Kau tidak latihan bukan selama beberapa minggu ini?!" Tanya pelatih dengan marah. "Saya akan memberitahu kedua orang tuamu!" Ucapnya tegas lalu pergi.

Gerald yang sudah kacau pun lantas mengacak-acak rambutnya dengan satu tangan.

GIMANA PART KALI INI? JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENTS 🤗

Follow Instagram :

@Marysay_CS
@Literasimary_

DANDELION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang