"Ansell!" Panggil Jesse setelah Ansell sampai dirumah.
"Kenapa, pa?"
"Sekolah baru saja memberi tau, bahwa kemarin kamu bertengkar dengan teman kamu?"
Ansell sudah tidak heran, cepat atau lambat kedua orang tuanya akan tau.
"Padahal kamu sudah melakukan wawancara yang melelahkan dan menguras tenaga, tapi kamu menyia-nyiakan semuanya hanya demi seorang gadis," jelas Jesse. "Papa cukup kecewa dengan sikap kamu Ansell," lanjutnya lalu pergi.
Lidya yang sejak tadi diam menatap kejadian itu pun beranjak.
"Ansell, itu benar? Siapa gadis itu?" Tanya Lidya lembut. "Pacar kamu?"
"Iya, ma," jawab Ansell jujur.
"Mama paham," jawab Lidya sambil menganggukan kepalanya. "Ceritain ke mama, gimana awal kejadian kemarin sampai kamu memukul temanmu."
Ansell memandang Lidya dengan penuh bertanya-tanya. Apa mungkin ia harus menceritakan semua hal kepada sang mama?
Lidya mengajak Ansell duduk di kursi teras sambil membawa segelas teh hangat. Ansell mulai menceritakan semuanya kepada sang mama. Lidya mendengarkan dengan saksama. Tak lupa, ia juga memberi saran. Jujur, Lidya juga merasa sedikit kecewa, tapi ketika melihat Ansell sudah jujur dihadapannya, Lidya jadi memahami putranya.
"Yaudah, gapapa. Masih banyak kesempatan yang bisa kamu ambil. Kamu ingin kuliah di luar negeri kan?"
"Iya."
"Sekali, dua kali, tiga kali gagal itu tidak apa-apa. Berarti jatah gagal kamu berkurang dan sebentar lagi kamu akan menikmati kesuksesan," ucap Lidya lalu beranjak pergi. "Mama bakal ngomong sama papa kamu dulu."
Ansell tetap diam di teras, memikirkan perkataan ibunya tadi. Menghela nafas gusar, lalu kembali meminum secangkir teh hangat.
***
Sudah beberapa hari lamanya sejak kejadian hari itu. Ansell berharap pihak kampus tidak akan mencabut beasiswanya.
Tok .. tok .. tok
"Permisi. Jadi bagaimana pak?"
"Duduk dulu," titahnya. "Saya agak sedih mengatakan ini. Pihak kampus sudah mempertimbangkan, tetapi beasiswa kamu tetap akan dicabut. Ini pemberitahuan resmi dari mereka," ucap Kepala Sekolah sambil menyerahkan selembar surat keputusan yang baru saja di print nya.
Ansell menerima surat keputusan itu dengan ragu, lalu membaca isinya. Disana tertulis bahwa tawaran beasiswa itu akan dicabut karena ia melanggar salah satu ketentuan yang diberikan.
"Saya harap kamu tetap semangat kedepannya. Jangan sampai hal ini memengaruhi semuanya, kamu boleh sedih tapi jangan biarkan kesedihan itu berlangsung lama."
Ansell menghela nafas lalu mengangguk. Dia membawa selembar dokumen tadi lalu beranjak keluar. Kepala Sekolah memandang Ansell dengan tatapan sendu.
"Eh, si Ansell," bisik Devon kepada Lia dan Sheryl.
Sheryl langsung menoleh dan berlari menuju Ansell yang akan memasuki kelas.
"Gimana??" Tanya Sheryl, tapi tak sengaja melihat selembar kertas yang dipegang Ansell. "Itu .. apa?"
"Surat keputusan," jawab Ansell lalu menyerahkan surat itu kepada Sheryl.
Sheryl menatap Ansell sejenak, lalu secara perlahan ia mulai mengambil surat itu. Ia membaca isi surat itu dengan seksama. Bahunya meluruh lemah dan pandangannya redup.
"Beasiswa gue dicabut."
"Sekarang lo mau apa? Gue harus bicara sama Kepala Sekolah dan pihak kampus sekarang!" Ucap Sheryl tak terima, ia berniat pergi, tetapi Ansell menarik pergelangan tangan Sheryl, membuat Sheryl menabrak dada Ansell.
"Yang gue perluin cuma ini."
Seakan tak peduli dengan pandangan siswa lain yang berlalu lalang, Ansell memeluk Sheryl dengan erat. Sheryl membiarkan pria itu mengeluarkan segala kepedihannya. Sesekali ia menepuk pelan punggung nya berusaha memberikan semangat.
"Sher-" panggil Devon yang terpotong karena melihat Sheryl dan Ansell berpelukan. Lia yang baru saja keluar lebih terkejut. "Neobychnyy!"
"Mereka udah gak backstreet lagi?" Tanya Lia bingung.
"Kayanya sih gitu, siap-siap aja berita ini bakal kesebar satu sekolah," ucap Devon.
Gerald yang baru saja ingin memasuki kelas bingung melihat anak-anak yang selalu menatap depan kelasnya. Memangnya ada apa?
"Kenapa sih?"
"Noh, temen lo!" Tunjuk Lia.
"Wow .."
"Speechless kan lo? Apalagi gue!" Ucap Devon.
Beberapa siswa mulai berbisik, tentang apa yang mereka lihat.
"Mereka pacaran?"
"Gue gak salah lihat kan? Ansell meluk Sheryl?"
"Sejak kapan mereka deket?"
"Hangus sudah impian gue buat jadi pacar Ansell!"
Begitulah sekiranya beberapa siswa membicarakan mereka berdua. Ada yang kurang menyetujui mereka berdua untuk bersama tetapi ada juga yang menyetujui hubungan mereka.
"Sell," lirih Sheryl setelah Ansell melepas pelukannya. Sheryl memandang sekeliling dan mendapati hampir seluruh murid berbicara tentang mereka.
"Thanks, udah kasih yang gue perluin dan biarin mereka tau, bahwa lo punya gue," bisik Ansell.
Seketika pipi Sheryl lagi dan lagi merona. Ia salah tingkat sekarang. Senyumnya sudah tidak dapat Sheryl tahan lagi. Hatinya menghangat setelah mendengar hal itu.
"Ayo," ajak Ansell sembari mengenggam tangan Sheryl, memasuki kelas.
***
"Gimana beasiswa lo? Tapi kayanya sesuai kejadian yang gue lihat tadi pagi, pasti beasiswa lo gak dicabut kan?" Tebak Gerald.
"Beasiswa gue dicabut."
"Ha?!" Teriak Devon dan Gerald bersamaan. "Serius?! Bisa-bisanya lo bucin setelah beasiswa lo dicabut!"
Ansell tersenyum tipis, sangat tipis!
"Sheryl itu kayak energi positif yang gue perluin, setelah mama. Lagipula ini bukan pertama kalinya gue gagal dapat beasiswa," jelas Ansell.
"Sabar!" Ucap Devon sambil menepuk bahu Ansell. "Yang terbaik bakal datang, saat waktunya sudah tepat."
GIMANA PART HARI INI? JANGAN LUPA VOTE AND COMMENTS YAA 🤗 SUPAYA AKU BISA CEPAT UPLOAD!
Follow Instagram :
@Marysay_CS
@Literasimary_
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION [END]
Ngẫu nhiênFOLLOW SEBELUM MEMBACA 💕 Mengisahkan tentang seorang gadis yang bernama Kirana Sheryl Sifabella atau biasa dipanggil Sheryl. Ia baru saja pindah ke suatu sekolah yaitu SMA Dharma Luhur. Sheryl sebagai seorang gadis yang aktif dan pintar langsung me...