4

21.7K 1.9K 43
                                    

Wejangan tante Moli dan om Amir ditelan Icha bulat-bulat. Rancangan rumah tangga bersama Ben musnah sudah. Impian untuk mahligai lenyap seketika.

Cina? Apakah Arsyad mau membawanya ke sana?

Arsyad pendiam, berbicara jika hanya ada keperluan. Bertanya jika memang dirasa penting.

Rumah mewah lengkap dengan pelayan seolah tak  ada artinya. Malam pertama dihotel, tak terlaksana karena Ben sudah pergi.

"Istirahat dulu. Lusa mulai kuliah."

Icha mengangguk. Berada di rumah besar Arsyad tidak membuat suasana hatinya baik. Gadis itu masih mencari informasi kontak Ben yang bisa dihubunginya melalui teman-teman laki-laki itu.

Bayangan kebersamaan Feli dan Ben memenuhi benaknya.

"Non enggak takut gemuk?"

Icha menggeleng. "Tuhan enggak memberatkan hambanya, Bi. Kalau lapar ya makan. Ngapain ditahan-tahan.

Bi Sum terkekeh. Yang dia tahu wanita zaman sekarang dikit-dikit diet biar enggak gemuk, gitu. Sepertinya hal itu tidak berlaku bagi Icha.

Sekarang jam sembilan, dan Icha sudah sarapan bersama Arsyad tadi pagi. 

"Sesekali bikin Jengkol, Bi."

"Bapak tidak suka, Non."

"Aku yang makan, Bi. Bukan bapak." kalau Arsyad tidak suka, laki-laki itu bisa makan yang lain.

"Baunya nanti?" ragu, tapi bi Sum tidak bisa menahan kalimatnya. "Kalau dekat-dekat pasti kecium nanti."

Icha mengangkat wajah dari piringnya. "Kami enggak tidur sekamar, Bi."

Bi Sum salah tingkah. Tahu sebab pernikahan Arsyad dan Icha, tapi tidak tahu jika mereka tidak tidur sekamar.

"Aman kan Bi?" Icha memastikan.

"Baiklah." bi Sum pamit ke pasar. 

Jengkol disambal yang pedas, pasti bisa sembuhin luka hatinya.

Mengambil ponsel dari saku, Icha mulai kegiatannya. Mengontak teman-teman dan menanyakan kabar Ben. 

Ben meninggalkannya tanpa penjelasan. Bagi Icha, antara dirinya dan Ben belum selesai. Masih banyak hal yang harus dibicarakan.

Malam itu, Icha sengaja menunggu Arsyad pulang. Selama satu minggu berada di rumah laki-laki itu tak pernah sekalipun Icha menyapa. Kebanyakan Arsyad yang bicara walaupun hanya sekedar.

"Mas enggak mau ke China?"

Arsyad yang baru melepaskan sepatunya, menoleh pada Icha. Ini kali pertama gadis itu membukakan pintu untuknya.

"Untuk mencari Ben?"

Icha menggeleng, "Bulan madu."

Arsyad mengernyitkan keningnya. Pantaskah mereka berbulan madu sedang hubungan yang terjalin ini untuk sebuah alasan? Lagipula, keduanya tidak menjalani rumah tangga sebagaimana mestinya.

"Kamu sudah makan?"

"Sudah," jawab Icha. "Mau?" tanya gadis itu lagi.

"Perusahaan sedang sibuk. Saya akan memikirkan nanti."

Icha punya solusi. "Bagaimana kalau Mas mengirimkanku ke sana? Saya bisa bulan madu sendiri." serius wajah Icha memperhatikan Arsyad.

Sendiri bisakah dikatakan bulan madu?

"Saya akan memikirkannya," jawab Arsyad.

"Baiklah. Aku menunggu." Icha tersenyum. "Aku tidur dulu."

Gadis itu menunggunya untuk bertanya hal itu?

Mulai malam itu, Icha mulai merangkai rencana. Icha akan mulai aksinya begitu turun dari pesawat. Angan Icha belum terbentuk sebuah rangkaian, namun mata itu sudah terpejam mengejar mimpi yang tak pernah direstui semesta.

Cinta Icha, mungkin serius. Tapi gadis itu tidak tahu sebaik-baik cinta adalah yang datang dengan keyakinan bukan mengumbar janji yang bukan dari hati.

Di kamar, Arsyad sudah selesai membersihkan diri. Mata dan otaknya masih segar. Yang dipikirkan jelas menemukan titik terang. Sayangnya, bukan tentang bulan madu melainkan pekerjaannya.

Paman lupa meneruskan pesan tukang foto. Kirimkan alamat ya, besok foto kalian dikirim.

Foto pernikahan? 

Dihalalkan Calon Kakak Ipar (Cerita Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang