12

18.9K 1.9K 70
                                    

"Dia yang maksa masuk ke rumah, Mas!" Icha berteriak ketika Arsyad menasehatinya. Laki-laki itu terpaksa pulang keesokan harinya begitu mendengar kabar dari bi Sum keadaan gadis itu.

"Mas ngomong baik-baik, kenapa kamu marah?"

"Mas enggak lihat gimana gilanya wanita itu. Mengerikan!" belum lagi kata-katanya. "Dia juga bilang aku murahan. Enggak jadi sama Ben, kakaknya pun aku embat. Emang Mas tahan digituin?"

"Kan kita yang lebih tahu."

"Maunya Mas apa sih! Aku diam gitu?! Dia nginjek harga diriku aku diem aja? Leherku sampai mau patah apa harus nangis saja?!" Icha emosi.

Arsyad diam, Icha sedang marah. 

"Ide Mas nikahin aku! Kenapa aku harus terima saat dituduh jalang!?"

Arsyad meminta maaf. Masalahnya sekarang adalah Feli sudah mengajukan tuntutan untuk Icha.

"Kalau tahu begini Mas, mending aku enggak terima saat Mas gantiin Ben hari itu! Aku enggak mau menikah! Udah dikhianatin sekarang mau disakitin lagi?!" 

Di dapur, bi Sum menangis. Kalimat yang dilontarkan Icha mengiris hatinya.

"Apa karena kalian orang kaya? Sesuka hati melakukan apa yang menyenangkan hati?!" Icha mengusap air matanya.

Arsyad menarik tangan Icha ketika gadis itu ingin beranjak dari sana.

"Mau ke mana?"

"Pulang!" Icha menghempaskan tangan Arsyad. "Tempatku bukan di sini." kemudian Icha masuk ke kamarnya. Lebih baik pergi dari sini. 

"Kita bisa cari jalan keluar, Cha."

Icha tahu diri, siapa dia harus minta bantuan dari Arsyad. "Kalau polisi datang kasih aja alamat paman." Icha memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

"Kamu istriku, kemanapun kamu pergi harus atas izinku." luar biasa ketenangan Arsyad menghadapi Icha.

"Aku juga harus nurut kalau Mas memasukkanku ke penjara?" Icha semakin terisak. Kalau tahu begini, tidak akan dia jatuh cinta pada Ben, tidak akan ada hubungan baru ini.

"Siapa yang memasukkanmu ke sana?"

Pakaian sudah masuk semua. "Bantuin tutup." kali ini ia meminta bantuan. Kendalanya saat menutup koper karena asal memasukkan baju, jadi akan sulit.

Menunduk sedikit, Arsyad mengambil satu persatu pakaian Icha dan menyusun kembali dalam lemari. 

"Apa-apaan sih Mas?" Icha kesal. "Tenang saja, aku enggak kabur. Aku pulang ke rumah paman, polisi bisa menjemputku ke sana."

"Kamu tidak akan ke mana-mana." setelah selesai dengan pakaian, kini tangannya memegang pakaian dalam Icha. "Ini diletakkan di mana?"

"Di bawah." 

Arsyad menurut. Ia menyusun bra dan cd ke tempat yang ditunjukkan oleh Icha. "CVTV, aku sudah memeriksanya." Arsyad menatap Icha. "Kamu yang pertama kali menamparnya setelah dia memfitnahmu. Dan dalam undang-undang tetap kamu yang akan disalahkan karena bermain fisik."

Icha tidak terima. "Mulut dia ketuk pakai palu hakim kalau sampai aku yang dipenjara!"

Tidak perlu menawarkan, karena Arsyad tahu kalau Icha tidak akan mau berdamai apalagi meminta maaf. "Aku akan mengurusnya."

"Tidak perlu!" Icha menangis lagi. Hatinya sedang sakit. Kenyataan demi kenyataan seolah sedang mengejek ketulusannya. "Aku tidak ingin berhutang budi pada kalian." 

"Aku masih suamimu kan?"

"Ben juga pernah menjadi pacarku, dia juga menuduhku membunuh. Siapa yang bisa kupercayai Mas?"

Arsyad mengerti. Kata dan sikap Icha menjelaskan jika gadis itu tidak memiliki sandaran pasti dalam hidupnya. 

"Aku hanya punya paman dan bibi. Segalak-galaknya mereka hatinya tulus."

"Dia pacar. Aku suami. Laki-laki yang sudah bersumpah di hadapan Tuhan untuk menjagamu."

Icha tersentuh. Namun ia menggeleng. "Kalian sedarah."

"Jangan pukul sama rata, Cha." masih tenang ketika Arsyad meminta wanita itu melihat dari perspektif luas. "Karakter dan prinsip orang berbeda." 

Icha tahu, tapi kepercayaannya pada sosok laki-laki mulai pudar.

"Sekarang, aku akan menyelesaikan masalah ini. Tetap di sampingku." Arsyad menggenggam tangan Icha. "Tuhan ingin kamu jadi istriku, padahal kita tidak saling mengenal, dan aku tidak pernah menyesal telah mengakadmu."

Icha sesenggukan. Ia belum mengenal baik laki-laki yang sejauh ini memang bersikap baik kepadanya.

"Jangan sampai keluar lagi kata menyesal. Percayalah, setiap keinginan kita biasanya bukan yang terbaik untuk kita." 

Apakah ini berhubungan dengan Ben? Icha berpikir sendiri. Dia menginginkan Ben, tapi Tuhan memberikannya Arsyad.

"Maaf."

Arsyad mengangguk. "Aku juga minta maaf sehingga kamu merasa terpojok."

"Boleh peluk?" tanya Icha polos. 

Arsyad mengangguk. Tangannya mendekap tubuh Icha yang bergetar karena menangis. Setelah hari ini Arsyad akan membuat perhitungan dengan Ben. Adiknya itu harus diberi pelajaran. 

Acara peluk itu diakhiri dengan sebuah kecupan di kepala Icha. Sedikitnya hati laki-laki itu mulai berperan yang berawal dari perhatian untuk keamanan dan kenyamanan sang istri. Tentang cinta, tidak dipaksakan. Rasa itu akan hadir tanpa perlu dikawal.

"Harus minyak ini?" tanya Arsyad. Bi Sum mengangguk. "Efeknya lebih cepat," jawab bi Sum dan menjelaskan khasiat minyak kelapa.

"Tapi ini bau," kata Arsyad.

"Kan sudah aku bilang, biar bi Sum saja." karena minyak kelapa kampung tetap akan meninggalkan aroma khas walaupun sudah dicampur dengan bunga.

Di teras belakang, Icha duduk di lantai menyandarkan kepalanya di atas paha Arsyad yang duduk di atas bangku. Laki-laki itu bersikeras memijat leher Icha yang masih pegal karena ulah Feli. Posisi yang cukup nyaman menurut Icha, namun akan membuat mata iri menatap pemandangan itu. Jika tidak diperhatikan dengan benar, maka yang terlihat adalah mereka sedang bermesraan. 

"Agak kiri Mas." Icha menahan sakit, tapi tidak mengeluh. Dengan lembut Arsyad memijat tengkuk gadis itu.

"Dilarang nangis. Lihat aku," kata Arsyad ketika merasa air mata Icha mengalir di pahanya. 

Icha menggigit bibirnya, menahan tangis. Ketika mendongakkan wajah, ia melihat Arsyad menatap datar kepadanya. "Tidak ada alasan menangis lagi. Kamu sudah punya tujuan masa depan sekarang."

Icha memeluk perut suaminya. "Mas beneran suamiku?"

"Benar."

Dihalalkan Calon Kakak Ipar (Cerita Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang