11

18.8K 1.8K 47
                                    

Sikap Icha tidak berubah meski sering menangis setelah kehadiran Ben yang menyatakan jika masa lalu mereka benar-benar telah selesai. Ia masih menjadi sosok peramah di rumah itu, dari ibu mertuanya ia mendapat gelar nyonya Arsyad.

Hari ini ia tidak ke kampus, menghabiskan waktu dengan olahan masakan bersama bi Sum. Niatnya untuk belajar masak tidak main-main. Icha ingin menjadi menantu idaman. Berpendidikan tanpa meninggalkan kodrat sebagai wanita.

"Kamu masak lagi?"

"Coba Mas cicip." Icha mendekatkan piring sayur lodeh.

"Enak." Arsyad tidak pernah makan sayur nangka. "Kamu mewarisi resep bi Sum dengan sempurna."

Icha tersenyum. Ini masakan ketiganya selama dua hari. "Karena besok kuliah, jadinya lusa bi Sum bakal ngajarin aku bikin sup paling enak.

Apapun tujuan Icha melakukan ini, harapan Arsyad hanya satu Icha bisa melupakan masa lalunya.

"Ngomong-ngomong Mas kenapa pulang siang ini?"

"Nanti malam aku terbang ke Swiss. Ada urusan mendadak." Arsyad menjelaskan jika keberangkatannya dikarenakan urusan pekerjaan.

Icha mengerti.

"Tidak apa kan tinggal sama bi Sum?"

Satu minggu, tidak begitu lama. Icha bisa mengisi waktu luangnya dengan belajar memasak setelah pulang kuliah. "Enggak apa-apa. Bawakan aku oleh-oleh."

Arsyad mengangguk. "Katakan saja apa, akan kubelikan."

Icha mengangguk. "Aku akan mengingatkan Mas nanti."

Obrolan siang itu berlanjut di kamar. Icha membantu Arsyad memasukkan perlengkapan dalam koper.

"Mau pergi ke Bali?"

Bukan ide yang bagus walaupun bisa izin ke kampus. "Bareng Mas saja nanti."

"Mama pasti senang kalau kamu mau main ke sana."

Icha tahu. "Setelah final kita ke sana," kata Icha.

Karena masih ada waktu beberapa jam lagi, Arsyad menanyakan apakah Icha ingin sesuatu? Ke mall mungkin.

"Aku pengen makan bakso yang dekat gardu." 

"Oke. Kita pergi sekarang?"

Icha mengangguk penuh semangat. "Motoran bisa Mas?"

"Berani?"

Lagi Icha mengangguk. Cuaca tidak begitu terik ditambah angin siang menjelang sore begini pasti segar.

"Bibik dibungkus ya Non."

Icha mengacungkan jempolnya kemudian memeluk pinggang Arsyad bersiap berangkat. Obrolan mereka berjalan sewajarnya tanpa menyinggung perihal malam kedatangan Ben, juga tentang ciuman itu. Icha sedang belajar menerima Arsyad melupakan Ben yang telah menjadi masa depan orang lain. Sedangkan Arsyad, sebagai laki-laki dewasa ia menunggu sambari mendampingi sang istri. 

Hubungan yang perlahan mengikat logika keduanya untuk memahami jika ikatan mereka telah direstui takdir, dan menunggu hati suami istri itu terlibat dalam rasa yang sama.

******

Seseorang datang ke rumah Arsyad sore ini. Seketika, Icha kembali merasakan sakit yang memang belum benar-benar hilang. Seseorang itu adalah Feli, wanita yang dipilih Ben.

Dari mana Feli tahu alamat rumah itu tidak perlu diketahui Icha, hanya tujuan wanita  tengah berbadan dua itu yang menimbulkan rasa ingin tahu.

"Ben di sini kan?"

Sudah lama Icha tidak bertemu dengan wanita itu. Mendengar namanya saat hari akad sudah membuat Icha marah, hari ini wanita itu berani datang ke sini tidak takutkah ia dicincang oleh Icha?

"Kamu salah alamat."

"Kamu pikir aku tidak tahu?" kepala Feli mulai bergerak sembari berjinjit agar bisa melihat ke dalam rumah.

"Datang jauh-jauh buat cari suamimu? Maaf ya, aku enggak ada urusan lagi sama Ben!" Icha bersiap masuk, namun tangannya ditarik oleh Feli. Wanita yang memiliki mata sipit itu tidak percaya. "Aku akan memeriksanya."

"Enggak tahu sopan santun ya kamu! Dibilangin enggak ada ya enggak ada, gendang telingamu rusak?!" Icha tahu, emosinya akan meledak kalau masih berdiri di sini.

"Awas aku mau periksa!" menolak Icha Feli masuk ke dalam rumah. Ia berteriak memanggil Ben.

"Enggak ada kan?" Icha siap mengusirnya.

"Kamu menyuruhnya diam? Katakan di mana Ben!?"

"Pergi sebelum aku panggilin satpam!" Icha tidak main-main.

"Jadi wanita itu jangan murahan! Kalau cowok enggak mau berarti dia emang enggak selera sama kamu!"

Plak!!

Feli memegang pipinya yang perih karena tamparan Icha.

"Perlu cermin besar biar kamu tahu siapa yang sebenarnya murahan?" Icha marah, Feli berhasil memancing emosinya. "Saking gatal kamu rela dijamah tanpa ikatan, mana nurani wanitamu? Kamu yang takut dan menggoda Ben sampai kamu hamil?" tawa Icha mengerikan. 

Dengan senyum sinis Feli membalas ucapan Icha. "Enggak dapat adik, abangnya juga enggak apa-apa. Emang enggak ada harga diri kamu!"

Kini tangan Icha berhasil ditahan Feli. "Kamu pikir Ben cinta sama kamu? Ini udah kedua kali dikibulin masih enggak sadar?!"

Icha tidak peduli pada perasaan itu lagi, menepis kasar tangannya terlepas dari pegangan Feli, namun tak sempurna selamat karena Feli menjambak rambutnya hingga leher Icha kesakitan. "Katakan di mana Ben? Di mana kamu sembunyikan suamiku?"

"Mungkin saja dia sudah mati." suara Icha tertahan karena rasa sakitnya.

"Kamu yang akan mati, cepat katakan!" Feli tidak percaya karena signal GPS mengatakan Ben ada di sekitar rumah Arsyad.

Icha menyesal kenapa tidak sejak tadi ia memanggil satpam? Kulit kepalanya terasa sakit. Kulit kepala seolah sedang dikuliti, dan Icha tidak bisa melihat Feli. Icha menangis kesakitan.

Icha berusaha menendang ke belakang di mana  Feli berada. Tepat, kaki jenjang Icha mengenai perut Feli dan wanita itu tersungkur ke belakang dan merasa nyeri di dada. Feli jatuh setelah ditendang.

Mengambil gunting bunga di atas meja, Icha mengancam Feli dan tepat di saat itu bi Sum masuk ke rumah dan menjatuhkan belanjaannya karena melihat darah. 

"Pergi dari sini!" Icha berteriak. Keadaannya tidak baik-baik saja, Icha kesakitan karena tindakan Feli benar-benar diluar kendali. Wanita itu hampir saja mematahkan lehernya. Bi Sum berlari ke arahnya dan memeluk Icha.

"Kamu mau membunuh anakku?" 

Pisau masih di tangan Icha kala seorang lelaki masuk dengan wajah tegang dan penuh amarah menatapnya. Dia adalah Ben, laki-laki yang detik ini akan dibenci oleh Icha selamanya.

Dihalalkan Calon Kakak Ipar (Cerita Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang