3

24.4K 2K 36
                                    

"Sudah ada yang mengurus makan malammu, kan?"

Arsyad memijat keningnya. Arsyad jarang pulang ke Malang. Rumah induk orang tuanya hanya ditempati Arsyad sementara kedua orang tuanya menetap di Bandung. Setiap pulang ke Malang, Arsyad menginap di hotel. Pernah pulang, dan tidak singgah ke rumah induk. Karena Arsyad tidak ingin diganggu.

"Aku tidak lapar."

"Pulanglah kalau begitu." Jill menyambungkan telepon dengan suaminya yang sedang berada di Singapura.

"Kamu sudah muallaf. Kurangi minum."

Jill mengacungkan jempolnya.

Meninggalkan Jill yang sedang menunggu taksi, Arsyad melajukan mobilnya. Ke mana dia akan pulang? Rumah induk atau rumah wanita yang telah dinikahinya tadi pagi?

Dan Arsyad memutuskan pulang ke rumah Ica. Laki-laki itu akan melihat situasinya, baru membuat keputusan.

Tiba di sana, Arsyad disambut paman Ica. Hangat perlakuan paman Ica menyentuh hati Arsyad. 

"Saya minta maaf atas kelakuan Ben."

Amir berdeham. Bukan hanya Ica, ia juga sakit hati mengingat laki-laki bejat itu. "Saya harap Ica bahagia denganmu."

Arsyad tidak menjanjikan apapun. "Saya berusaha."

"Istirahatlah. Hari ini pasti melelahkan."

Arsyad bangun ketika paman Icha akan masuk ke kamar. Dia sendiri tidak perlu diantar karena sudah tahu di mana letak kamar Icha.

Yang membingungkan adalah, haruskah ia ke kamar gadis itu? Apa yang akan dikatakannya nanti?

Melumpuhkan semua pikiran yang tak ada jawab, Arsyad mengetuk pintu kamar tersebut.

Tiga kali mengetuk, namun tidak ada jawab dari dalam, laki-laki itu mendorong pintu kamar Icha.

Ponsel di tangan dan telinga terpasang earphone, mahasiswi yang tengah menempuh pendidikan jurusan ekonomi itu dilanda galau.

Kekasih pujaan hati pergi di hari pernikahannya menikahi wanita lain. Apakah ada yang lebih sakit selain kenyataan ini?

"Sudah jam sepuluh, kamu tidak tidur?"

Karena Icha tidak fokus ke ponsel, dengan mudah Arsyad menekan tombol of dari belakang pada aplikasi musik yang sedang didengar Icha.

"Kalau mengantuk tidurlah. Aku tidak menganggu."

Arsyad terkejut melihat wajah Icha. Penampilan gadis itu sangatlah kacau. 

"Kamu menangis seharian ini?" Arsyad tidak percaya. Jika dulu ia melihat Jill yang bucinnya kelewatan terhadap kekasih yang kini telah menjadi suami, kini laki-laki itu melihatnya kembali. Kali ini kekasih sang adik yang telah dipersunting olehnya.

Begitu dahsyatnya jika patah hati. Kenapa tidak berpikir logis, bahwa dia yang pergi berarti memang bukan miliknya. Simple kan? Kenapa harus merasa sakit hati hingga menjadikan diri seperti ini? Patah hati adalah kata lain dari bodoh, begitu menurut Arsyad.

"Jangan pedulikan aku. Anggap aku tidak nampak."

Bagaimana bisa? "Ben menghubungimu?"

"Jika iya, setidaknya aku tidak segila ini." menggunakan kain di atas pangkuannya, gadis itu membuang ingus. "Aku sedang berpikir, apa yang akan kulakukan jika bertemu dengannya"

"Usahakan dulu nomor teleponnya yang aktif."

"Jangan menantangku," tegur Icha tanpa melihat Arsyad. Semua lagu yang diputar Icha mendukung suasana hatinya saat ini. Air mata dalam isak tangis yang diredam, kembali tertuang.

Arsyad tidak mengenal Icha. Tahu adiknya berpacaran, namun tidak pernah Arsyad menyinggung sekedar basa-basi tentang cewek tersebut serta kisah kasih mereka.

Kejadian hari ini murni sebagai pertolongan agar nama baik orang tua tidak tercoreng.

Dalam perjalanan, laki-laki itu sudah berpikir akan dibawa ke mana hubungan yang telah disahkan pagi tadi.

"Kita akan pulang besok. Tidurlah." 

Menarik ingus dengan nafas panjang, Icha kembali menangis. Kesalahan apa yang dilakukannya hingga jalan hidupnya teruk seperti ini?

Dihalalkan Calon Kakak Ipar (Cerita Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang