6

19.3K 1.9K 139
                                    

"Bagaimana kuliahmu?"

"Kurang baik."

"Sudah dapat teman?"

"Rata-rata punya pacar."

Kening Arsyad mengkerut. "Jadi kamu tidak punya teman?"

Icha mengganti siaran televisi. "Enggak seru aja. Pas kumpul yang dibahas doinya. Aku mau bahas apa? Laki orang?"

Jalan pikir Arsyad tak sama dengan Icha. Icha belum move on, begitulah istilah zaman sekarang.

Aneh saja segede Icha sulit adaptasi, terserah teman-temannya punya pacar. "Harusnya kamu lebih bangga, punya suami."

"Enggak lucu, Mas. Jangan bercanda."

Arsyad serius, siapa yang bercanda? "Kalau ingin ditemani, hubungi saya."

"Eum." ketika Arsyad melangkah ke kamarnya, Icha memperhatikan laki-laki itu. Kalau ia bawa Arsyad ke kampus kira-kira gimana reaksi teman barunya? Om kamu, Cha? Begitu?

Anda terlalu bapak-bapak Mas!

Menarik nafas Icha kembali menonton televisi. Tiga hari menjadi mahasiswa baru di salah satu kampus di Jakarta, Icha sudah memiliki teman. Tapi ya itu, mereka pada punya pacar, Icha enggak punya.

"Nanti malam mama ke sini." Arsyad keluar lagi, masih dengan pakaian yang sama tapi tidak Serapi tadi. Lengan kemejanya sudah digulung dan kancing bagian atas telah dibuka.

"Nginap?"

Arsyad mengangguk.

"Harus ada drama tidur satu kamar?" tanya Icha lagi.

"Terserah kamu." karena Arsyad tidak memaksa. "Saya bisa menjelaskan pada orang tua saya."

Tenang dan datar. Beda banget sama Ben. Ben itu kalau bicara ada nada semangatnya, rautnya ramah dan sering tersenyum. Pokoknya enak dilihat.

"Mas mau bilang apa nanti? Icha cintanya sama Ben Ma makanya tidur juga maunya sama Ben. Gitu?"

Apa? Kenapa bisa Icha berpikir seperti itu? "Boleh juga."

"Aku enggak sejahat itu, Mas. Malah Ben yang jahat. Ninggalin aku." Icha mulai menangis. "Kurang baik apa aku? Di pegang tangan aku marahin, biar aku dan dia sama-sama pantas saat disentuh nanti. Aku mau baik, begitu juga dia. Tapi apa yang dia lakuin? Menghamili mantannya?" menggunakan bantal, Icha mengusap hidungnya. "Untuk apa dia merancang mimpi jika di sana dia juga tengah bermimpi dengan wanita lain?!"

Sepertinya butuh waktu lama untuk Icha melupakan Ben. Ruang hatinya telah begitu tinggi mengagungkan nama Ben.

"Air mata dibuang untuk cowok seperti itu?"

"Cowok itu juga adik Mas!"

Arsyad kicep. Benar juga sih.

"Kalau tahu nikahnya sama Mas mending dulu aku pacarannya sama Mas, bukan sama Ben!"

"Itulah takdir." dua kata itu terucap begitu saja. "Sebelumnya kita tidak saling kenal, dan hari ini status kita sah," kata Arsyad dengan bijak.

"Tapi Mas bukan tipeku!" kali ini tangisan Icha lebih kencang, sedang Arsyad tertegun dengan kejujuran gadis itu. Syukurnya, Arsyad tidak baper. Keadaan juga cara Icha berpikir masih dibawah rata-rata.

Keluar dari kamar bukan untuk membuat Icha menangis, tapi Arsyad tidak mungkin juga meninggalkan gadis itu.

"Aku bukan anjing Mas! Kalau memang istri ya dipeluk! Bukan dipuk-puk kepalanya!"

Isak tangis itu penuh kejengkelan. Icha marah sama Ben karena kelakuannya, juga pada Arsyad yang tidak bisa menjaga suasana hatinya.

"Fungsi laki-laki menurun. Kami wanita merasa dirugikan." kemudian wanita itu menangis lagi. "Harusnya Tuhan membasmi semua laki-laki di dunia ini jika tidak bisa menjaga perasaan perempuan."

Arsyad masih berdiri di belakang Sofa, tepatnya di belakang Icha. Memeluk, apakah tidak apa-apa? Arsyad belum pernah memasukkan emosi menghadapi wanita, jika ini pengecualiannya, apakah bisa ke depan perasannya datar tak beriak?

"Ben baik, tapi pengkhianat. Ben manis tapi bermuka dua."

Mengitari sofa, Arsyad berdiri di depan Icha. "Kamu mau dipeluk kan?"

Icha sesenggukan. Hatinya sakit setiap memikirkan kelakuan Ben, karena kenangan manis yang pernah dilalui membuat wanita itu sulit melupakannya.

Memeluk pinggang Arsyad, wanita itu tidak henti menangis. Tangan Arsyad terulur mengusap kepala Icha.

"Nanti mama kaget lihat mata sembabmu."

Icha tak peduli.

"Dikirain mama saya ngapa-ngapain kamu."

"Aku bakal bilang Ben penyebabnya."

Tanpa memaksa, dengan bijak Arsyad meminta. "Bolehkah mulai saat ini tidak ada lagi nama Ben yang terucap?" bukan soal hati. "Ikhlas itu bentuk menguatkan karakter diri. Kamu tidak tahu apa yang akan kamu lalui jika jadi menikah dengannya. Tuhan mengirimkan saya bisa jadi untuk mencegah luka hati yang lebih besar."

Mendongak Icha mengatakan satu hal. "Tumben Mas mau bicara panjang lebar."

Apa?

Dihalalkan Calon Kakak Ipar (Cerita Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang