Bab 8

45 6 5
                                    

Aku berharap banget, rasa yang pengen aku sampein dari cerita ini bisa sampe kekalian. Jadi, kalo misalnya rasanya nyampe, kalian bisa kasi apresiasi dgn vote. Dan kalo nggak, dibaca aja udh. We respect each other guys! May you??

"Katanya, lupa itu manusiawi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang ingat, namun tetap tak mau memenuhi janji?"

8. Janji yang Terlupa

Bandara Soekarno-Hatta

Khamis, Dini hari.

●●●

"Aldio!" Teriakan Shanum bergema ditengah ramainya aktivitas bandara. Tak peduli bahwa kini ia menjadi pusat perhatian orang-orang, gadis itu berlari kencang mencapai pemuda jangkung yang juga menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Pelukan erat Shanum berikan pada pemuda itu. Meski sadar pelukannya tak berbalas, Shanum tak lagi ingin peduli.

Ini usaha terakhirnya. Jika gagal, Shanum berjanji akan secara ihklas melepas Aldio dan semua kenangan mereka.

"Al, kita bisa mulai semuanya lagi. Aku bakal berusaha setia sama hubungan kita. Gak papa kamu jauh, gak papa kita gak ketemu tiap hari. Gak papa, aku beneran gak papa."

"Shanum..." Aldio putus asa. Hampir sebulan tak bertemu, ia pikir Shanum benar-benar setuju mengakhiri semuanya. Beberapa waktu belakangan, Aldio menjalani kesibukannya dengan baik. Ujiannya berakhir sempurna. Dan menyusul Teresa adalah keinginan yang tak lagi bisa ia tahan.

Dia merindukan gadis itu.

"Semuanya udah baik-baik aja sebulan ini, kan? Kenapa lo harus balik lagi?"

Didada Aldio, Shanum menggeleng tegas. "Aku kasi kamu ruang, Al. Aku kasi kamu waktu. Kamu bilang kamu capek, dan aku tau kamu juga lagi sibuk ujian. Aku mau coba ngertiin kamu,"

Aldio menghela napas, "Telat, Sha. Semuanya udah gak guna lagi."

"Enggak!" Shanum menegaskan. Melepas pelukan seraya menatap Aldio penuh keyakinan dengan mata yang basah. "Kita masih punya kesempatan, kita masih punya banyak waktu. Kamu perlu jarak, kan? Iya Al, iya." Shanum menjeda kalimat ketika sesak didadanya semakin terasa. "Kamu boleh pergi. Tapi jangan kayak gini, kamu pergi tanpa ngasi tau aku dulu. Kamu pergi tanpa pamit, aku bener-bener udah bukan siapa-siapa lagi, Al?"

Aldio melirik kemeja dibagian dadanya yang basah oleh airmata Shanum. membuktikan bahwa sekecewa itu Shanum Bella pada tindakan nya.

Tapi kesempatan? Gadis itu masih memberi ia kesempatan.

Aldio menggeleng lemah, "gue udah gak bisa,"

Maaf, Shanum. Dia benar-benar tidak bisa.

Dan raungan tangis Shanum terdengar kian keras.

Sekali lagi helaan napas berat terdengar dari bibir remaja laki-laki berusia delapan belas tahun itu. Menatap malas pada gadis dihadapannya yang masih sesenggukan meski berusaha keras meredam tangis.

"Sha, udah. Orang-orang pada ngeliatin, ntar dikira gue ngapa-ngapain lo lagi." Ujarnya jengah.

Gadis dihadapannya terdiam sejenak. Menarik napas dalam lalu tersedu lagi, "j-ja-jangan pu-putus," ucapnya susah payah.

"Gue gak yakin Sha. Gue gak yakin kita," gue "bisa ngejalanin hubungan jarak jauh."

"Kenapa?" Lirihan pilu mengiringi pertanyaanya. Shanum masih tersedu dengan jutaan perasaan sesak dalam dada.

Seharusnya, tak sesakit ini. Iya, kan?

"Karena gak segampang yang ada dipikiran lo sekarang. Gak segampang kita kabar-kabaran tiap hari. Gak segampang ngomong rindu lewat chat doang. Gak sesederhana itu."

You Never Ask (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang