Hi, sweethearts! lama juga aku ga update cerita ini. kadang aku suka kesal sama mood yang naik turun. itu juga bikin aku mendadak wb. ga bisa konsisten sama apa yang udah aku mulai :( salah satunya menyelesaikan cerita ini yang rencananya pingin aku tamatin cepat-cepat. huft. semoga part ini membantu kerinduan kalian, ya. semoga ga mengecewakan juga karena aku menulisnya di tengah gusar.
well, don't forget to vote. komen juga dipersilahkan. yang baik-baik ya. kalau mengkritik juga jangan pakai bahasa yang kasar, tolong. i can take hard jokes, tapi tidak dengan bad impression:) beda ya bercanda menggunakan kata kasar dengan bercanda tapi ada maksud implisit. aku ga masalah kalau bercanda saja. aku juga kadang ngomong/bercanda suka pakai bad words, tapi setidaknya masih menghargai lawan bicara dengan tidak menyinggung atau menjatuhkan secara mental;) so, be careful with what you say, guys.
happy reading peeps!💜
mature content included.
—•—
Jika ada penghargaan untuk wanita militan, bisa dipastikan Da In akan bergabung dalam nominasi. Menjajaki urutan paling tinggi sebab kenekatannya sudah tidak bisa dicerna akal sehat. Memecah dinginnya malam dengan berlari menuju apartemen mewah di tengah kota. Mengabaikan hujan yang rebas menghantam seluruh tubuh hingga basah kuyup. Kewarasannya tengah direnggut oleh hal fana yang ia sebut sebagai cinta. Cinta—katanya. Rasa ingin memiliki orang yang diinginkan untuk dirinya sendiri. Mungkin lebih tepat jika disebut obsesi.
Melangkah dengan asa yang berguguran, Da In merasa jika memang diharuskan untuk berpisah, setidaknya mereka harus berakhir sesuai kemauannya. Masih berharap barangkali Jimin mau menurunkan egonya sedikit lagi untuk kembali. Sebagaimana Da In sudah menghancurkan prestisnya untuk mendatangi Jimin dalam kondisi kacau. Bajunya basah dengan bibir bergetar kedinginan. Rambut terberai lengas. Menatap nanar pada pemilik apartemen setelah ia menekan kombinasi pin dan menerobos masuk.
Sepersekian sekon sebelum keduanya mampu memprediksi suasana yang akan membawa mereka pada kekacauan, Da In menarik Jimin pada lumatan panas. Melingkarkan tangan pada leher pria itu agar menunduk lebih dekat. Sementara Jimin memberi otorisasi penuh. Membuka mulut dan menerima lidah Da In yang menginvasi rongganya. Menikmati pagutan intens mereka, bahkan ikut menjajakkan lidah. Menelusur deret gigi yang berjajar dibalik bibir Da In.
Kendati oksigen di sekitar mulai menipis, Jimin enggan melepas tautan bibir yang menguntai saliva satu sama lain. Melucuti satu per satu fabrik yang membuat Da In kedinginan. Membimbing tubuh tak seberapa berat itu menuju kamar.
Tak butuh waktu lama hingga daksa keduanya sama-sama polos. Persis seperti bayi dilahirkan tanpa sehelai benang. Mengabaikan tujuan awal untuk berkemas dan meninggalkan tempat ini sesegera mungkin, Jimin malah mengacaukan tas di atas ranjang. Melempar asal hingga tercecer sebelum menggantikan dengan tubuh Da In ke atas sana. Kewarasannya dilumpuhkan telak.
Derasnya hujan yang menerjang jendela mengiringi tiap hentakan Jimin dalam tubuh Da In. Desah dan deru napas keduanya kian berat. Bersamaan dengan pilu yang menyeruak dalam benak, Da In menitikkan air mata pada tiap detik Jimin bergerak. Sementara pria dengan sorot tajam berkabut nafsu mengabaikan yang terjadi pada wanita di bawahnya. Fokus pada kenikmatan yang sebentar lagi segera ia dapatkan.
"Ji, tinggallah sebentar lagi. Hingga esok pagi," pinta Da In lirih usai keduanya mendapat puncak masing-masing. Enggan melepas taut antar tubuh, Da In menarik tubuh Jimin mendekat. Menanamkan wajah pada garis dada bidang adamnya. Terisak sedan. Melingkarkan kedua tangan erat pada punggung Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Choice
FanfictionMature Contents🔞 Sepulangnya ke Valley Hills, salah satu kota kecil yang cukup maju di Korea Selatan, Song Da In dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama tidak memberikan keuntungan. Kedua pilihan memiliki konsekuensi besar terhadap hidupnya. D...