10. Patetis

2.6K 313 130
                                    

Terima kasih pada Jeon Jungkook yang sudah update di twit dan buat aku nulis part ini dengan sistem kebut. Kelewat semangat karena dikasih foto pas lagi kangen-kangennya😳

Maaf kalau agak berantakan. Aku nulis ini literally cuma dua jam. Gak punya banyak waktu juga, jadi harus diselesaiin cepat-cepat😣 Semoga ga mengecewakan. Terharu juga ternyata ada yang nungguin:( Ini updatenya spesial buat yang nunggu cerita ini💜

Masih ingat kan alurnya? Semoga ga lupa karena kelamaan update. Selanjutnya ga tau bisa update cepat atau enggak. Ini sudah paling cepat dari update terakhir karena memang baru ada spare time hari ini:')

Sebagai gantinya, bisa baca work aku yang Redamancy! Ga bisa update cepat juga sih. Tapi yang pasti lebih cepat dari ini karena ceritanya lebih ringan. Ceritanya bisa dicek di work aku kalau mau cerita ringan-ringan aja😉

Okay, igtg. Back to reality. Happy reading, x.

—•—

Da In mengetuk-ngetukkan jemari ke atas meja. Caramel macchiato yang dipesan beberapa menit lalu nyaris mendingin. Pandangannya masih sama, terpaku pada orang-orang yang berlalu lalang di depan jendela kaca. Melihat bagaimana beberapa orang mengulas senyum saat bercengkrama atau berbicara dengan orang diseberang telepon, sedikit mengusik hati. Pasalnya, Da In seolah dipaksa mundur jauh pada masa itu. Da In kecil dengan dunia yang penuh warna.

Sedikit mengingat masa dimana Da In masih bisa tersenyum layaknya orang-orang kebanyakan. Sepuluh tahun silam, saat Da In masih memiliki orang yang paling berharga dalam hidupnya, kakak kedua—Song Hoseok. Satu-satunya orang yang berpihak pada Da In dikeluarganya. Tempatnya mengadu tentang kehidupan dan selalu mendapat kasih sayang.

Tentang dirinya dan Hoseok yang akan selalu teringat sebagai memori paling indah. Setelah kepergian Hoseok, dunia Da In luluh lantak. Tidak lagi ada alasan yang bisa membuatnya bahagia. Terlebih mengingat perangai si kakak pertama, Song Seokjin. Orang paling ambisius yang pernah Da In kenal. Menggunakan segala cara untuk mewarisi perusahaan ayah mereka. Meski harus melakukan pertumpahan darah dengan saudaranya sendiri.

Ironi memang mengingat bagaimana Seokjin pernah menyayangi kedua adiknya, namun pada akhirnya perlahan menyingkirkan satu persatu. Licik. Hebatnya, Seokjin mampu melakukan hal itu tanpa perlu mengotori tangan.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" sebuah vokal tertangkap rungu Da In. Berhasil membuyarkan lamunannya serta merta.

Menyadari kehadiran pria yang sudah ditunggu sedari tadi, Da In mengulas senyum lebar-lebar. "Akhirnya kau datang!" serunya bersemangat. Berbanding terbalik dengan Da In dua detik lalu saat tengah memikirkan masa lalunya.

"Aku tidak memiliki banyak waktu. Katakan yang kau inginkan." Tegas pria itu selagi menempatkan tubuh pada bangku dihadapan Da In.

"Hei, ayolah. Aku tahu kau tidak sesibuk itu," ujar Da In, lantas memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman lagi.

Sungguh, rasanya pemuda yang menggunakan setelan kaos hitam, jaket kulit hitam dan celana jeans itu tidak ingin meladeni Da In dan segala kegilaannya. Namun Da In selalu mampu memikat dengan cara berbeda. Sukar dimengerti. Seluruh teka-teki yang ada pada diri Da In berhasil membuat orang merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Terlebih tingkat kuriositas pemuda itu juga sangat tinggi.

"Aku tahu kau seorang informan. Mencari informasi akurat untuk target kakakmu. Sekarang, aku butuh jasamu. Carikan aku sebuah informasi. Song Seokjin."

Dangerous ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang