fraternity chapter : 4

1.2K 142 1
                                    

Arthur masih memainkan kakinya didalam kolam renang dibelakang rumahnya. Kejadian Raka yang kembali harus meminum obat psikis dan konsultasi melalui teledemidice dengan dokter kejiwaan sangat mengganggu fikirannya. Arthur bahkan menyibak kepalanya sedikit dan terlihat disana bekas luka kecelakaannya dulu.

"Tidak baik diluar ketika malam begini, Nak" ucap Ibu Mita sambil mendekat pada putra bungsunya.

"Aku tidak tau Kak Raka masih setrauma itu, Ibu" lirih Arthur.

Ibu Mita tersenyum sedih. Dia juga tiba-tiba teringat saat kecelakaan tragis itu dialami Arthur dan membuat putranya harus terbaring koma bahkan sempat kehilangan detak jantung.

"Saat itu memang tidak bisa dilupakan dengan mudah, Arthur. Untuk ayah, ibu atau Kak Raka, kecelakaan yang menimpamu adalah hal yang paling berat yang harus kami terima. Kak Raka tidak makan berhari-hari, menolak bicara, bahkan menjerit menangis tidak karuan saat dokter mengumumkan tanggal dan jam kematianmu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Ayah yang tidak percaya kau telah tiada juga terus memaksa dokter untuk melakukan usahanya. Kak Raka... Dia memelukmu sangat erat dan memohon pada Tuhan satu lagi kesempatan untuk menjagamu. Tuhan menjawab doanya. Kau kembali pada kami, Nak"

"Tapi apakah semua itu sepadan dengan apa yang Kak Raka harus terima sekarang, Ibu?" keluh Arthur untuk kesekian kalinya.

"Arthur akan mendapatkan jawabannya dengan bertanya langsung pada kakak" kata Ibu Mita sambil menuntun Arthur untuk segera masuk ke rumah. Udara semakin dingin dan dia tidak ingin putranya jatuh sakit.

***

Arthur membuka sedikit pintu kamar Raka dan disana masih terlihat Ayah Dika yang sedang menenangkan Raka. Ini sudah dua jam lebih dan Raka juga sudah konsultasi. Apakah kakaknya seburuk itu?

Ayah Dika tidak sengaja melihat Arthur yang sedang mengintip. Dia memberikan isyarat pada Arthur untuk masuk namun Arthur justru menggelengkan kepala.

"Raka, Arthur baik-baik saja. Dia masih bisa mengintipmu dibalik pintu kamarmu sendiri seperti saat kalian masih kecil" ucap Ayah Dika yang membuat Arthur menghela nafas tidak terima.

Mau tidak mau, Arthur berjalan memasuki kamar Raka perlahan dan duduk disamping kakaknya. Arthur menatap Raka yang terus menunduk. Arthur tidak tau apa yang akan terjadi jika saat itu Arthur benar-benar pergi meninggalkan kakaknya.

Arthur bertanya pada Ayah Dika hanya dengan menatapnya. Dia bingung harus membuat Raka bebas dari ketakutannya tapi yang Ayah Dika lakukan justru menjauh dan pergi dari kamar sulungnya.

Arthur duduk dilantai, tepatnya dihadapan kakaknya. "Kita bisa kembali lain waktu. Aku tidak ingin Kak Raka semakin lelah saat bekerja nanti" kata Arthur.

Raka memberikan senyuman sambil mengangguk seadanya. "Maafkan kakak, Arthur. Kau jadi harus melihat kakak sepanik tadi" balas Raka.

"Aku lebih suka Kak Raka tidak menyembunyikan apapun dariku" sanggah Arthur dengan cepat. "Jika memang itu bisa membantumu, tidak apa. Asalkan Kak Raka berjanji padaku untuk selalu mengatur dosisnya dan mengendalikan ketakutan Kak Raka. Aku berjanji tidak akan ada yang terjadi"

Arthur meninggikan tubuhnya sedikit. Dia memeluk Raka dan berkata, "Semuanya sudah lewat, Kak. Kita tidak akan mengalaminya lagi. Arthur tidak akan meninggalkan Kak Raka kecuali Kak Raka sudah menikah atau aku yang menikah duluan" ucap Arthur sambil bercanda.

"Setelah menikah pun, kau tetap harus tinggal bersama Kak Raka" balas Raka yang juga bercanda.

Raka dan Arthur merasakan kenyamaan itu untuk sesaat lalu Arthur menemani Raka sampai ia tertidur.

Arthur kembali ke kamarnya. Ia duduk dimeja belajarnya sejenak. Arthur membuka laptop dan berusaha mencari di internet tindakan atau apa saja yang bisa dia lakukan untuk menolong kakaknya.

Arthur membaca beberapa kalimat yang berkata, selalu berikan support, pastikan penderita meminum obat, pastikan penderita dalam kondisi stabil, jauhkan dari trauma, dan yang terakhir biasanya yang sudah bisa mengendalikannya sendiri akan hilang namun masih harus konsultasi.

Jika ketakutan itu berlanjut, penderita bisa merasakan kesedihan yang mendalam. Jika penderita mengalami hal yang dia takutkan, dia bisa saja kehilangan kendali dan berakhir menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Arthur menggigit beberapa ujung jarinya. Dia tidak tau mental illness bisa seburuk itu. Malam ini dia hampir tidak bisa tidur karena membaca artikel kesehatan jiwa dengan kata-katanya yang menyeramkan.

-fraternity-

FRATERNITY //ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang