fraternity chapter : 20

1.4K 110 17
                                    

Raka yang percaya Arthur akan segera sembuh akhirnya menepis keyakinannya itu. Setelah kedua orang tuanya jujur padanya tentang Arthur yang menolak menerima donor darinya. Raka mengira semuanya akan baik-baik saja dan dia bisa menyelamatkan Arthur. Tapi yang terjadi justru Arthur yang marah pada keluarganya bahkan memutuskan untuk suntik mati saja jika hal buruk terjadi padanya, DNR dan Euthanasia. Dua kata-kata yang mengerikan itu sudah ada dalam keputusan medis yang Arthur ambil dan tidak bisa lagi diganggu gugat oleh siapapun.

Raka menyesal, memang terlambat. Dia terlalu disibukan dengan pemikiran Arthur akan sembuh sehingga dia tidak memikirkan kemungkinan terburuk semacam ini. Baru kali ini, Raka benar-benar salah mengambil keputusan. Kedua orang tuanya menyalahkan, Rey juga memukulnya dengan keras hingga meninggalkan lebam pada pipi kirinya. Sekarang, ia harus siap menerima kemarahan Arthur.

Raka tidak bisa diam saja disaat adiknya sedang dalam kemarahan seperti ini. Raka adalah sumber masalah dari ini semua dajn seperti biasa Raka selalu bertanggung jawab. Raka membuka pintu kamar rawat adiknya dan tidak ia temukan Arthur disana. Sebelum terlalu panik Raka mengetuk pintu berkali-kali, mamanggil adiknya berkali-kali dan berharap adiknya menjawab dari kamar mandi. Kosong. Raka memutar pandangannya dengan helaan nafas frustasinya. Pandangan Raka tertuju pada sandal rumah sakit yang lepas dari kaki adiknya. Apa? Untuk apa Arthur melepas alas kakinya padahal dia sedang tidak ada dikamarnya?

Raka menepis semua kemungkinan buruk yang ada dikepala walau itu menyerang hatinya. Raka berlari cepat dan menanyakan keberadaan Arthur kepada semua perawat atau dokter yang berpapasan dengannya tetapi tidak ada satupun yang menjawab sesuai dengan keinginannya.

Raka bahkan lupa untuk meminta pertolongan disituasi seperti sekarang. Raka terus mencari ditiap lantai rumah sakit dan nihil. Terakhir, hanya ada atap gedung yang tersisa dan Raka sangat ingin mati ketika memikirkannya.

Diwaktu yang sama ditempat yang berbeda, angin menghembus sangat kencang dari balik tempatnya berdiri. Ia memandang sekitar dan dia hanya menatapnya dengan sangat kosong. Kadang Arthur tertawa meskipun ada air mata yang mengalir perlahan membasahi pipinya. Arthur hanya terdiam dengan perasaan yang seperti air laut yang pasang surut hingga pintu yang menjadi satu-satunya akses untuk menuju dirinya terbuka dengan kasar.

"Arthur!!", karena tau itu adalah kakaknya, Arthur membalikan badan dan menatp kakaknya dengan sendu sambil memberikan senyumannya yang sangat ambigu. Jarak mereka masih terlalu jauh untuk saling memeluk. Arthur berada diujung maut sementara Raka masih berada diposisi yang sangat aman.

Angin besar yang berkali-kali menerpa Arthur membuatnya kehilangan keseimbangan tetapi dengan santainya Arthur tetap memilih untuk berdiri disana. Raka berkali-kali menahan paniknya, sembari mengambil nafas panjang dan mencoba mendekat perlahan pada Arthur.

"Arthur--"

"Semakin Kak Raka mendekat, aku semakin tidak seimbang, Kak" sahut Arthur dengan cepat sembari menyondongkan badannya ke belakang.

"Arthur, dengar...", Raka menarik nafasnya lagi dengan sangat dalam, "Jika yang kau lakukan ini karena kau marah, tolong hentikan. Katakan pada kakak apa yang kau mau. Jangan seperti ini" pinta Raka dengan amat sangat.

"Ini pilihanku, Kak. Kau yang membuatku putus asa. Apa kau fikir aku bahagia saat mendengar kakakku sendiri berusaha mati demi menyelamatkanku?"

Raka menggeleng dan menunduk sangat dalam sambil terisak begitu sakit. Dadanya serasa panas saat melihat adiknya berada diujung maut. Raka yang biasanya bisa berfikir logis kini hampir gila dengan kenyataan yang ada didepannya.

"Apapun yang kau rasakan saat ini, Kak. Jangan pernah melupakannya. Karena itulah yang aku rasakan saat aku mendengar kakakku akan mati" kata Arthur dengan air mata yang juga berlinang. "Tidak adakah sedikit saja terlintas didalam pikiran Kak Raka bahwa aku justru lebih bahagia jika Kak Raka ada didekatku? Kenapa Kak? Kenapa kau justru berusaha meninggalkanku?!!" teriak Arthur sekuat tenaganya.

" LALU KAKAK HARUS MELIHATMU KOMA LAGI, ARTHUR?!!" Raka tidak kalah keras. Teriakannya justru terdengar lebih menyakitkan dan melelahkan dari pada teriakan adiknya.

"Kak Raka tidak ingin itu terjadi lagi. Kak Raka tidak ingin tetap berdiri dengan nafas yang terputus dan dada yang sakit teramat sangat saat kau hampir pergi meninggalkan Kak Raka selamanya, Arthur" ujar Raka sambil beberapa kali memukul dadanya.

"Itu menjadi alasan Kak Raka meninggalkanku? Lalu Kak Raka tidak memikirkan bagaimana kehidupanku setelah kau pergi, Kak? Heh! Lupakan saja keinginanmu untuk membuatku tetap hidup, Kak. Karena aku lebih memilih mati daripada membunuh saudaraku sendiri" tegas Arthur sambil menyeret sedikit kaki kanannya untuk lebih menepi.

Raka langsung bersimpuh dihadapan Arthur ketika melihat adiknya sudah hampir jatuh. Kedua tangannya yang gemetar terangkat untuk memohon pada adiknya agar berhenti melakukan tindakan bodohnya itu.

"Kau bisa memperlakukan Kak Raka sepuas hatimu, Arthur. Tapi kali ini tolong, dengarkan kakak. Jangan membahayakan dirimu. Kakak mengerti sekarang. Kakak bersalah mengambil keputusan itu tanpa sepengetahuanmu. Kakak janji akan perbaiki semuanya. Kemari, Dek. Jangan membahayakan dirimu sendiri" pinta Raka teramat sangat.

Arthur memperhatikan Raka yang sedang bersimpuh dihadapannya. Mereka terdiam untuk sesaat. Raka yang mulai menemukan kekuatan pada kedua kakinya mencoba untuk berdiri dan berjalan pelan menggapai Arthur. Pada setiap langkah yang Raka ambil, tatapan mereka tidak pernah terputus.

Jika kau membahayakan nyawamu kali ini, Arthur. Maka Kak Raka akan selamanya kehilangan dirimu. Euthanasia, DNR, dua hal itu tidak akan bisa menyelamatkanmu lagi seperti kemarin, kata Raka dalam hatinya.

Raka sudah cukup dekat untuk menggapai tangan Arthur. Adiknya itu terdiam dengan fikiran yang tidak tentu arah.

Aku membuatmu harus meminum semua obat-obat depresi itu, Kak. Aku membuat Kak Rey terusir dari keluarga. Aku membuat ayah dan ibu selalu mencemaskanku. Dari awal, aku memang tidak seharusny lahir dalam keluarga ini.

Aku tidak ingin Kak Raka terjebak dalam ketakutan lagi.

Aku tidak ingin membuat Kak Rey hidup dalam ketakutan akan kehadiranku lagi.

Jika memang ada salah satu diantara kita harus pergi...

Maka...

Raka hanya tinggal mengulurkan tangannya. Mereka berdua masih saling bertatapan. Arthur berkata, "Aku sangat menyayangimu, Kak Raka" kata terakhir Arthur sebelum dia menjatuhkan dirinya dan membiarkan gravitasi membawanya jatuh dengan sangat kuat ke permukaan bumi.

Akulah orangnya.

"ARTHUUURRR!!!!"

-fraternity-

FRATERNITY //ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang