fraternity chapter : 14

740 100 1
                                    

Ingat Martin? Yap, sahabat Arthur yang saat ini sedang frustasi karena sedikitpun Arthur tidak mengingat tentang dia.

"Martin... Aku ini Martin... Sungguh kau sama sekali tidak mengingatku? Demi Tuhan, Arthur aku bahkan ikut menyelamatkanmu kemarin" kesal Martin untuk kesekian kalinya.

"Maafkan aku.." sopan Arthur sambil membungkuk beberapa kali dengan wajah rasa bersalahnya.

"Sekarang kau jadi sopan sekali padaku, Arthur? Ah, apa yang sebenarnya terjadi? Auh, kepalaku juga ikut sakit melihatmu begini? Kau tidak sedang mengerjaiku, kan?" desak Martin yang masih tidak percaya.

"Arthur sudah memiliki amnesia sebelum kejadian kemarin, Martin. Jangan mendesaknya seperti itu" kata Raka yang masih memegang pekerjaan tanpa menatap mereka berdua.

"Okay, Its okay. Tidak masalah, aku akan mengembalikan ingatanmu dengan buku-buku dan tugas kuliah yang menumpuk ini" ancam Martin yang sebenarnya tidak akan dia lakukan.

"Duduk disini!", Martin menarik lengan Arthur dan memintanya untuk duduk kembali dipinggir bednya, sementara Martin duduk dikursi didekatnya.

"Apa kau benar-benar lupa kau kuliah, kau punya galeri seni, kau punya usaha sendiri, atau kau punya sahabat seperti aku?" tanya Martin kesekian kalinya.

"Aku...tidak ingat" jawab Arthur dengan terbata dan dengan rasa bersalah. "Tapi jika kau sahabatku, aku berterima kasih karena kau berkunjung kemari"

"Tentu saja. Aku satu-satunya sahabatmu. Kak Raka pun tau dia akan mengandalkanku jika kau sedang sakit. Dia percaya aku bisa menjagamu" kata Martin yang sedang membanggakan diri.

"Lalu, kuliah?..." tanya Arthur menggantung.

"Ah, kau mengambil fakultas seni lebih tepatnya seni rupa semavam lukisan, gambar, dan semacamnya. Aku punya beberapa foto yang mungkin bisa mengambalikan ingatanmu", Martin menunjukan foto kebersamaan mereka dan beberapa karya terbaik Arthur serta galeri seni yang Arthur miliki.

"Sepertinya, kedua tanganku tidak bisa lagi melukis. Kau mau membantuku, Kak Martin?" tanya Arthur sambil memberikan senyuman manisnya.

"Jangan tersenyum seperti itu padaku, Arthur" gemas Martin yang tidak bisa melihat wajah menggemaskan Arthur. Buh bubyh hbb u

***

Malam sebelumnya, Rey, Ibu Mita dan Ayah Dika kembali ke kota asal. Rey meminta kedua orang tuanya untuk membawanya segera ke panti rehabilitasi dan disinilah ia sekarang. Menatap langit senja sambil membuat gambar sketsa impiannya. Rumah, keluarga, saudara, dari dulu Rey hanya menginginkan itu saja.

Rey tersenyum tipis saat membayangkan kebahagiaan yang sebentar lagi akan ia dapatkan. Rey harus sabar dan memastikan kesembuhannya dulu. Barulah, dia bisa bertemu dengan Arthur.

Raka is calling....

Rey ragu, sangat ragu. Kakaknya itu pasti sedang bersama Arthur. Sampai pada panggilan Raka yang ketiga kali, Rey memutuskan untuk menerima panggilan video itu.

"Kak Rey...", bukan kakaknya tapi Arthur.

"Ah, A-ee... Bagaimana bisa?..." tanya Rey yang masih terkejut.

"Kak Raka sedang makan siang bersama temanku, ponselnya tertinggal. Jadi.." kalimat Arthur juga mematung. Rey dan Arthur sama-sama belum memiliki celah untuk memulai pembicaraan.

"Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Rey tiba-tiba.

"Dokter bilang aku sudah boleh pulang lusa nanti. Kak Rey bagaimana?"

"Masih banyak yang harus aku lakukan disini" jawab Rey.

"Kapan Kak Rey menghubungi Kak Raka?"

"Kemarin"

"Jahat sekali. Padahal Kak Raka berjanji akan memberitahu saat Kak Rey menelfon"

Rey tertawa gemas, ah ternyata Arthur bisa selucu itu, pikirnya. "Mungkin Kak Raka sibuk terlebih lagi kau juga harus fokus pada pengobatanmu"

Ada jeda diantara mereka untuk sesaat. Rey menarik nafas dalam lalu mengatakan hal yang sepatutnya dia katakan sejak dulu.

"Arthur, aku minta maaf atas semua yang terjadi padamu" kata Rey yang membuat suasana tiba-tiba terasa sedih.

"Aku akan memaafkanmu jika kau sudah sembuh, Kak"

Yah, benar. Arthur pasti juga trauma akan keberadannya. Bisa menelfon seperti ini saja sudah sangat patut untuk Rey syukuri.

"Kak Rey berjanji akan sembuh untukmu, Arthur. Mungkin kau tidak percaya tapi Kak Rey sangat menyayangimu"

"Aku tau, Kak"

Mereka berdua saling memberikan senyuman.

"Ah, Arthur, aku membuat sketsa. Aku tidak tau sebagus apa tapi...ini dia", Rey merekam gambar yang ia buat. Arthur yang memperhatikannya tersenyum disertai dengan tertawa lucu.

"Jika kau sembuh, gambar itu akan menjadi foto keluarga, Kak"

"Semoga. Jangan lupa untuk menjaga kondisimu. Sekarang, kau punya dua kakak yang akan selalu mengkhawatirkanmu, Arthur"

"Ah, rasanya seperti terpenjara kalau begini~"

"Arthur itu ponsel kakak!"

Wajah Rey berubah datar saat mendengar suara Raka yang kesal karena Arthur meminjam ponselnya.

"Kak Raka yang berbohong padaku duluan. Kenapa tidak bilang kalau Kak Rey sudah memberi kabar kemarin!"

"Apa maksudmu? Kau mau aku menjelaskannya saat kau tertidur?"

"Kak Raka kenapa begitu?"

"Kau sedang tertidur dan aku lupa. Apa itu tidak bisa menjadi alasan?"

Rey tertawa lucu saat mendengar pertengkaran yang menggemaskan dari kedua saudaranya itu. Yang terjadi selanjutnya adalah panggilan video itu terputus tanpa ada salam atau sapaan penutup.

Rey mendelik heran tetapi alisnya menukik lucu. Rey tidak tau jika Raka dan Arthur sangat menggemaskan saat bertengkar. Yah, sekarang harus bagaimana. Dia berada diantara keduanya.

-fraternity-

FRATERNITY //ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang