fraternity chapter : 6

1K 122 1
                                    

Raka memeluk Arthur sebelum adiknya berjalan menuju pesawat yang memang sudah jadwalnya untuk berangkat. Raka benar-benar menunggu Arthur sampai tidak terlihat. Ia mencoba untuk tidak terlalu khawatir pada adiknya. Mungkin, ini karena dia masih takut terjadi sesuatu pada Arthur sehingga Raka merasa sangat tidak enak ketika melihat adiknya pergi.

Toh, Arthur akan kembali beberapa bulan lagi karena libur semester.

Raka berjalan pelan meninggalkan bandara sambil menelfon sekertarisnya untuk melanjutkan pertemuan dengan beberapa kolega.

***

Arthur mengecek ponselnya beberapa kali dan masih belum ada kabar kalau adiknya sudah sampai ditujuan. London itu jauh. Butuh kirang lebih 8 jam mungkin untuk sampai. Tapi Raka sudah sangat tidak bisa menahan rasa khawatir.

Baiklah, hari sudah sangat larut dan Raka harus segera pulang. Mungkin dua jam lagi dia bisa menghubungi Arthur yang sedang didalam pesawat.

Sementara itu, Arthur sengaja mematikan ponselnya. Pasti sekarang sudah sangat malam. Dia akan mengirim pesan saja untuk kakaknya. Raka butuh tidur dan Arthur tau itu.

Arthur meletakan tasnya asal dan juga koper miliknya. Arthur langsung mandi dan mengeringkan rambutnya. Lagi, Arthur menerima panggilan yang tidak dikenal. Sebenarnya dia sangat malas untuk menjawab panggilan itu tetapi entah mengapa kali ini dia tidak bisa mengabaikannya.

"Siapa kau dan apa sebenarnya maumu?" tanya Arthur dengan nada mengancam.

"Bersyukurlah untuk hidup keduamu, Anak Muda. Karena setelah ini kau tidak akan bertemu dengan kakakmu lagi"

"Jika kau sentuh kakakku sedikit saja. Maka habislah dirimu!" ancam Arthur yang sudah terpancing emosi.

"Nyawa dibalas dengan nyawa dan akan sangat adil jika kalian juga merasakannya, kan?"

"Ya!!! Hey! Shit!!" umpat Arthur sambil meremat ponselnya sendiri.

Arthur menusuri lagi berkas kesehatannya. Arthur sempat meminta riwayat sakit dan juga resume medis ketika ia sedang koma. Tidak ada yang aneh, saat itu dia memang mengalami henti jantung. Tetapi, sebelumnya kondisinya sangat stabil.

Tidak ada seseorang yang mencurigakan masuk untuk memberikan obat yang tidak seharusnya dan juga tidak ada seseorang yang mengganggu keluarganya saat itu.

Tidak ada petunjuk apapun. Tapi, seseorang yang berada dalam telfon itu terdengar sangat ingin membunuh salah satu dari mereka, Arthur atau Raka.

Musuh ayahnya? Arthur sudah tanyakan ini pada Ayah Dika dan menurut penyelidikan polisi tidak ada satu pun dari teman atau kolega Ayah Dika yang memiliki motif untuk mencelakakan Arthur atau Raka.

Musuh kakaknya? Mungkin saja.

Musuhnya? Siapa?

Setiap kali Arthur menyelidiki pemilik nomor tersebut tidak ada petunjuk. Nomor tidak dikenal itu langsung hilang dari radar.

Ayah Dika dan Arthur tau tentang teror ini. Mereka berdua tidak menceritakannya pada Ibu Mita atau pada Raka. Tidak, tidak boleh. Mereka tidak boleh tau tentang ini. Karena Arthur berniat untuk menyelesaikannya sendiri.

Dia ingin memberikan pelajaran untuk orang yang berani menyentuh keluarganya dengan cara kotor seperti ini.

***

Senja pertama Raka dan Arthur berjauhan. Arthur sedang melakukan panggilan video dengan kakaknya.

"Jam berapa sampai disana, Arthur? Apa yang akan kau lakukan besok?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jam berapa sampai disana, Arthur? Apa yang akan kau lakukan besok?"

"Aku tidak melihat jam saat sampai, Kak. Tapi aku masih sempat untuk tidur setengah jam mungkin"

"Eum, makan?"

"Sudah. Kak Raka?"

Raka hanya mengangguk samar. "Arthur, kau berjanji pada kakak untuk tidak menyembunyikan apapun, kan?"

"Iya. Kak Raka juga berjanji seperti itu" jawab Arthur dengan wajah yang berubah serius seperti kakaknya.

"Ya sudah"

"Aku fikir ada apa sampai Kak Raka membahas janji" kesal Arthur tapi dengan bergumam kecil.

"Kenapa? Apa memang ada sesuatu?"

Arthur menggeleng sambil tersenyum untuk meyakinkan pada Raka bahwa semuanya baik-baik saja.

"Kau belum menjawab kakak, kau akan pergi kemana besok?"

"Ah, itu. Aku harus memulai kuliah dan mengerjakan tugas. Kak Raka ingat temanku yang bernama Martin, kan? Aku akan pergi bersamanya juga"

"Ah, dia yang unik itu? Baiklah. Kau sudah memberi kabar pada ibu dan ayah?"

"Sudah, Kak"

"Jangan lupa juga untuk menelfon mereka"

"Siaaap"

"Arthur, kita melewatkan jadwal check up untukmu. Kak Raka baru saja mendapat pesan dari rumah sakit dan mereka ingin kau konsultasi via telemedicine"

"Kak Raka, come on..."

"Arthur, operasi kepala itu tidak mudah. Kak Raka juga ingin memastikan sendiri kau baik-baik saja. Lihat, sekarang saja kau berusaha melarikan diri dari kesehatanmu sendiri"

"Aku serius, Kak. Kau harus segera memiliki pacar. Apa aku perlu mencarikannya untukmu?"

"Arthur, Kak Raka tidak suka kau menyela dengan nada bicara seperti itu"

"Baik, baiklah. Arthur akan konsultasi setelah semua kuliah Arthur selesai"

"Bukan dirimu yang mengaturnya. Kakak sudah buatkan janji untuk konsultasi itu"

"Kak Raka bisa membuatku marah jika seperti ini terus. Aku bukan anak kecil lagi, Kak" kekeuh Arthur dengan nada bicara kesal. Tapi Arthur tetaplah Arthur yang tidak bisa marah pada Raka.

"Maaf" inilah alasannya. Raka selalu mengalag dan memilih untuk berucap maaf pada adiknya. Padahal sedari tadi, Arthur yang memprotes semua tindakannya.

"Aku paham, Kak. Kau juga harus memastikan kondisimu disana. Kau masih meminum anti depresanmu?"

"Hanya satu pil ini saja setelah itu Kak Raka akan tertidur dengan sendirinya" jawab Raka sambil menunjukan pil yang akan ia minum.

Raka dan Arthur terdiam sejenak. Mereka berdua mengerjakan hal yang berbeda tetapi panggilan video itu masih berjalan.

"Sepertinya kau sedang sibuk sekali, Kak?" tanya Arthur setelah melihat kakaknya yang sangat serius.

"Yah.. Ada proyek baru. Ayah yang meminta kakak mengurus semuanya"

"Untung saja aku tidak memilih meneruskan bisnis keluarga. Aku bisa botak, Kak"

"Hehehh.... Kenapa?"

"Aku tidak bisa membaca buku terlalu lama sepertimu, Kak. Jadi, bersyukurlah karena ayah sangat percaya padamu"

"Kau juga akan merasakannya. Tidak mungkin kau hanya diam saja seperti sekarang"

"Aku akan terus melukis untuk galeriku, Kak. Dan, itulah yang akan aku gunakan untuk masa depanku"

"Dasar anak mama!"

"Dasar anak papa!"

Raka terus bekerja, Arthur terus melukis. Hingga waktu menunjukan sangat larut untuk Raka.

"Sudah tengah malam disana, Kak. Kau tidak ingin istirahat?" tanya Arthur yang menghentikan aktivitas melukisnya sejenak.

"Ini sedang Kak Raka bereskan. Setelah ini, Kak Raka tidur. Sampai besok, Arthur"

"Bye, Kak Raka"

Panggilan video itu diakhiri dengan senyuman manis dari keduanya. Raka tidur dengan nyaman meskipun sudah larut. Arthur masih melukis dan mempersiapkan keperluan kuliahnya besok.

-fraternity-

FRATERNITY //ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang