fraternity chapter : 16

718 102 3
                                    

Rey masih belum bisa menghubungi Raka dan ini semakin membuatnya frustasi. Tidak baik jika terus seperti ini. Rey memutuskan untuk menghubungi Raka sekali lagi dan jika Raka tidak juga mengangkatnya, Rey akan menghubungi ayah dan ibunya, mungkin juga dia akan mengirim polisi kesana saking kesalnya.

Rey lagi-lagi harus menelan kekecewaan karena Raka tidak juga menjawab panggilannya.

Rey memutuskan untuk menelfon ayahnya. "Aya--"

"Raka dan Arthur sedang dalam perjalanan pulang, Rey"

Suara ayahnya terdengar sangat sendu padahal kabar kepulangan Raka dan Arthur seharusnya menjadi kabar gembira untuk keluarga mereka.

"Apa yang terjadi, Ayah?"

"Arthur ingin melanjutkan kuliah disini. Ah, ayah pun tidak tau dia akan melanjutkannya atau tidak. Dia bahkan menjual galeri seninya karena kedua tangannya yang sulit untuk melukis"

"Maksud, Ayah?"

"Arthur sedang putus asa, Nak. Dia butuh kedua kakaknya. Arthur hanya ingin pulang"

Rey memejam perlahan dengan menahan air matanya. Terus saja, lagi dan lagi Rey membuat Arthur terjebak dalam masalah.

"Jika mereka sudah berada dirumah. Aku ingin menemui mereka, Yah"

"Tentu. Ayah akan memberitahumu"

***

Rey membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa dan melihat wajah sedih pada kedua orang tuanya. "Dimana Arthur?" tanya Rey sambil memperhatikan setiap sudut rumah.

Belum ada jawaban yang diterima oleh Rey sampai ia melihat Raka sedang menuruni tangga dengan wajah lelahnya.

"Bagaimana Arthur, Kak?" tanya Rey yang mulai mendesak sambil mengguncangkan tubuh Raka beberapa saat.

"Dia tidak ingin bicara pada siapapun. Aku belum pernah melihatnya seputus asa ini" kata Raka sambil menghela nafas. Rey juga ikut khawatir mendengarnya.

"A-apa karena traumanya, apa karena lukanya dia tidak bisa melukis lagi?" tanya Rey dengan gugup.

"Dokter tidak mengatakan kecelakaan itu membuatnya tidak bisa melukis. Aku tidak tau pasti apa yang membuatnya seperti ini, Rey"

Rey mengyibak poni rambutnya dengan kasar. "Aku bisa menemuinya, kan?", Raka mengangguk memberi ijin dan sedetik kemudian Rey menaiki tangga dan mengetuk pintu kamar adiknya dengan sangat sopan.

"Ini Kak Rey, Arthur"

Hanya dengan satu kalimat itu saja, Arthur membuka pintu kamarnya. Rey memperhatikan Arthur dari atas dan bawah kemudian mendapati Arthur sedikit meremat dada kirinya.

"Kau sakit?", Arthur menggeleng pelan sambil kembali duduk dikursi belajarnya.

"Kehilangan kepercayaan diri bukan berarti kau berhenti mengejar mimpimu, Arthur" kata Rey tiba-tiba.

"Kak Rey..."

"Hm?"

"Jika suatu saat aku memintamu untuk membunuhku...", Rey membolakan kedua matanya begitu mendengar kalimat pertama Arthur, "Kau harus melakukannya, Kak. Berjanjilah untuk adikmu" pinta Arthur dengan kedua mata yang berkaca.

Aku berusaha keras untuk sembuh, tetapi adik yang aku sayangi meminta untuk aku membunuhnya.

-fraternity-

FRATERNITY //ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang