fraternity chapter : 13

785 109 1
                                    

Hanya butuh pemulihan, sekedar penyesuaian dari tubuh Arthur untuk menerima benda asing didalam jantungnya. Jika Arthur berhasil bertahan selama tiga tahun atau lebih dengan benda itu, Arthur akan menjalani operasi pelepasan ring jantung. Kondisinya juga sudah lebih baik, dia sudah dipindahkan diruang rawat biasa dengan bantuan oksigen hanya dengan nasal kanul walau luka-lukanya masih perih dan tubuhnya masih sangat lemah.

Arthur hanya sendirian. Ini juga masih tengah hari. Dia paham betul keluarganya pasti kewalahan karena mengurusnya selama berhari-hari. Apalagi dengan kuliahnya, orang tuanya pasti harus mengurus semuanya. Tapi, mengapa Arthur merasa ada yang hilang?

Kak Raka...

Ah, benar. Sejak kondisi Arthur membaik, Raka tidak pernah menjenguknya. Arthur dengan cepat mendudukan badannya yang masih lemah itu dan membuka ponselnya dengan cepat. Dia menghubungi Raka berkali-kali dan tidak ada jawaban.

Arthur menggigit bibirnya. Kemana kakaknya? Apa yang salah? Arthur tidak ingat apapun. Jika ayah dan ibunya ada disini, harusnya kakaknya juga, bukan? Apa yang sebenarnya terjadi?

Arthur tidak ingat apa-apa. Ia bahkan sampai memukul kepalanya untuk mengingat apa yang terjadi, apa yang sudah ia lakukan sampai Raka tidak ingin menemuinya.

Pasti ada yang salah, tapi apa?, kesal Arthur salam hatinya. 

Arthur memaksa kedua kakinya untuk tegak dan mencabut nasal kanulnya sendiri. dia membawa tiang infus dan berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang perawatannya. Kaki Arthur tidak seimbang, ya memang belum waktunya kedua kaki itu berpijak tapi Arthur tetap memaksa. Kedua bola matanya yang bergetar melihat sekeliling. Arthur yang hanya mengikuti kemana kakinya berjalan itu  berharap bisa menemukan kakaknya disekitar rumah sakit. 

Dari lantai satu ke lantai yang lainnya, Arthur membuka dan menutup pintu lift, tidak peduli dia bahkan sampai ke bangsal perawatan anak-anak dan perawat yang terus menegurnya. Arthur menghempaskan lengannya saat ada seseorang yang ingin membantu menopang tubuhnya. 

Nafas Arthur terengah-engah, sudah sedikit sesak. Sekarang dia berhenti entah dimana. Jika tidak disini bersamanya, lalu kemana Raka? Arthur sudah patah semangat. Kedua bola matanya sudah memerah dan berkaca-kaca. Dia pasti sudah melakukan kesalahan sampai Raka tidak ingin menemuinya. 

Arthur meremat dada kirinya dengan menormalkan nafas sesak sambil membalikan badannya. Arthur harus mengingat apa yang terjadi hingga Raka tidak ingin menemuinya. Tapi sesaat kemudian Arthur melihat Raka yang sudah berdiri dibelakangnya dengan poni rambut yang basah. Ah, Raka pasti sudah mencarinya kemana-mana. 

Raka mendekat pada Arthur dan membantu adiknya yang mulai tidak seimbang. "Kau hampir saja mendapat serangan Arthur" kata  Raka sambil meraih tiang infus adiknya. "Kau tidak perlu mencari kakakmu. Dia akan selalu ada untukmu" lalu Raka pelan-pelan membawa Arthur menuju kamar rawatnya. 

***

"Ini obatmu. Kau harus meminumnya segera" kata Raka sambil memberikan obat dan segelas air putih pada Arthur namun adiknya itu tidak juga menerimanya. Arthur lebih memilih untuk menatap Raka dengan tatapan sendu. 

"Kenapa?" tanya Raka yang singkat. 

"Apa aku mengatakan sesuatu? Apa Kak Raka semakin banyak meminum obat anti depresan itu?" tanya Arthur dengan wajah khawatir. 

"Menurut Arthur bagaimana?", Arthur menghela nafas. Dia tau Raka masih akan menyambung kalimatnya. "Kak Raka memang harus meminum obat itu setiap malam dan sempat juga mendapat serangan. Tapi sekarang kau sudah baik-baik saja. Kak Raka bahkan sudah bisa melihatmu berlari seperti tadi. Arthur, Kak Raka tau sampai dimana batas kesehatan kakak. Sekarang yang paling penting adalah kesembuhanmu jadi berhentilah mengkhawatirkan hal yang tidak perlu kau khawatirkan" kata Raka. 

Raka itu bukan seseorang yang bisa bicara manis dengan wajah yang sangat ramah. Tetapi Arthur tau maksud kakaknya, dia paham betul hanya Raka seseorang yang hanya terlihat kuat diluar tetapi ketika terjadi sesuatu yang buruk pada orang yang sangat ia sayangi, disitulah Raka akan hancur sehancur-hancurnya. Arthur menatap Raka yang sedang melepas jaketnya lalu mengajukan pertanyaan, "Kak Raka lebih kurus dari sebelumnya?" 

"Berhenti menggodaku, Arthur" balas Raka dengan cepat. 

"Kak Raka menyembuyikan sesuatu dariku?" tanya Arthur yang tiba-tiba. 

"Apa?" 

"Rey?" 

Raka terdiam. 

"Lebih tepatnya kakak keduaku, saudara kembar Kak Raka" 

Raka masih diam. 

"Ayah sudah menjelaskannya pelan-pelan padaku, Kak. Sekarang Kak Raka yang harus menjelaskannya" pinta Arthur dengan senyuman tipisnya. Raka yang sudah sempat berdiri untuk meletakan tasnya kembali duduk didekat Arthur dan menghela nafas sejenak. 

"Penjelasan dari mana yang kau inginkan?" 

"Alasan mengapa ayah atau kakak bahkan ibu sendiri tidak ingin memperkenalkan aku padanya" 

"Ayah tidak menjelaskan itu?" 

"Dia hanya bilang seseorang yang melukaiku adalah saudara kembar Kak Raka yang juga kakakku. Dia juga menunjukan fotonya. Tapi ayah tidak menjelaskan alasan mengapa kita tidak pernah tinggal bersamanya" 

"Ayah dan Ibu memutuskan untuk membawanya ke panti rehabilitasi, Arthur. Dia sedikit berbeda dengan kita. Jika dia mencoba melukaimu artinya kau juga sudah paham apa perbedaannya. Apalagi selama satu tahun ini dia terus mengawasimu dari jauh. Rey sangat menyayangimu tapi dia tidak ingin dekat denganmu karena sisi gelap yang ada pada dirinya" 

"Kak Rey punya kepribadian ganda?" 

"Semacam itu. Akan sangat fatal jika Rey tidak meminum obatnya atau melakukan rehabilitasinya. Ayah dan ibu sangat menyesal memisahkan Rey dengan kita tapi menurut Kak Raka itu adalah pilihan terbaik karena jika Rey tetap tidak menjalani pegobatannya..." Raka tidak berani melanjutkan penjelasannya. 

"Meskipun aku ingin bertemu dengannya, Kak Raka tidak akan mengijinkannya?" tanya Arthur lagi dengan wajah yang masih bingung. 

"Rey tidak ingin diganggu siapapun sampai dia merasa emosinya stabil, Arthur. Jangan paksakan keadaannya" 

"Kak Raka punya nomor ponselnya?"

Raka menggeleng singkat, "Dia yang akan menghubungi kita" jawab Raka sambil mengusap kepala Arthur sebentar. Raka kembali berdiri dan bersiap untuk membersihkan dirinya. Malam ini dia berniat untuk tidur bersama Arthur karena ayah dan ibunya harus terbang pulang malam ini juga. 

Arthur membaringkan punggungnya dan menatap langit kamar. Dia sangat ingin menyapa kakaknya itu setidaknya menanyakan kabar. Yah, seharusnya Arthur sadar lebih cepat. Meskipun kakaknya mencoba untuk membunuhnya tetapi Arthur tidak memiliki dendam. Dia justru ingin Rey sembuh dan mereka bisa bersaudara seperti yang lainnya. 


-fraternity-



FRATERNITY //ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang