[19] Foto

5.6K 1K 352
                                    

Selamat membaca!

***

Next part? 140 vote dan 300 komen.

***

Bukan weekend, namun, hari ini aku sedang tidak memiliki jadwal praktik dan aku memilih untuk menghabiskan waktu seharian di rumah. Kebetulannya, Kak Fariz juga tidak pergi kemana-mana, ia memilih untuk memantau perusahaannya di rumah, lagipula tak ada hal penting yang mengharuskan dirinya berangkat ke kantor.

Salah satu kegiatan yang akan ku lakukan hari ini ialah mewujudkan impianku untuk foto bersama Kak Fariz menggunakan baju SMA dan almameter OSIS. Kali ini, aku meminjam sebentar seragam milik Aliyah yang dibawa serta olehnya sewaktu pindahan ke rumah saudara laki-lakinya.

"Saya mau-mau aja foto pake almameter. Tapi, dengan satu syarat."
ucap Kak Fariz.

Aku menaikkan sebelah alis. "Syarat?"

Kak Fariz mengangguk. "Kamu cukup ulang ajakan yang pernah kamu pake waktu ajak saya fotbar saat 17-an di sekolah dulu."

"Biar apa kayak gitu?"

"Pengen dengar aja."

Aku menghela napas malas. "Kak, boleh foto bareng, nggak?"

"Foto? Sebentar, ya." ucap Kak Fariz lalu tertawa, sepertinya ia merasa cringe dengan dirinya sendiri.

"Sosoan banget." Aku memutar kedua bola mata jengah sembari memperbaiki seragam yang sedang ku pakai.

Kak Fariz mengambil almamater yang baru diambil beberapa hari lalu dari rumah Ibu kemudian memakainya. "Berani, ya, kamu bicara seperti itu sama ketua osis."

"Bentar." Aku mengambil secret box yang ku simpan di lemari. Lalu mengambil id-card peserta MOS.

"Maaf, Kak. Saya gak sengaja." Aku mengalungkan id card itu ke leherku, tak lupa bertingkah seperti peserta MOS yang sedang berbicara pada sang ketua OSIS. "Yuk, langsung foto aja." ajakku yang langsung menyetel timer kamera lantas menggandeng tangan Kak Fariz.

"Sheila, ini alurnya lagi mundur, Dek. Masa iya saya foto sama kamu pake gandengan tangan?" tegur Kak Fariz seraya melepas gandenganku.

Aku tertawa. "Lupa, Bos."

Kak Fariz bergeser dengan jarak kurang lebih satu meter sebelum timer menyentuh angka 0.

Cekrek!
Satu foto telah berhasil terabadikan.

Aku mendekat ke kamera untuk melihat hasilnya. "Bagus."

"Sekarang versi alur majunya, La"

Mendengar ucapan itu aku mengangguk dan tidak lupa memencet timer untuk kedua kalinya.

Kak Fariz merangkulku sembari memasang senyum di kamera, sedangkan aku sibuk memperhatikannya hingga foto berhasil di abadikan.

"Dimana-mana orang tuh kalo foto senyum ke arah kamera, ini kenapa kamu senyumnya sambil liatin saya?" komennya saat melihat hasil foto kedua kami.

"Terlalu kagum."

"Saking kagumnya, di kelas 10 kamu sampai rela beralih profesi jadi detektif untuk mencari informasi tentang saya." Kak Fariz terbahak.

"Selain detektif, kayaknya bisa disebut mulung juga. Karena, waktu itu, undangan sekolah yang udah gak dipake pun aku ambil hanya gara-gara satu tanda tangan Kak Fariz."

"Auto jadi pengumpul barang bekas."

Tidak ada ekspresi lain yang dia keluarkan saat mendengar cerita kebodohan kelas sepuluhku selain menertawakannya. Jujur, aku menjadi sangat malu jika mengingat semuanya, walau begitu masa-masa awal masuk sekolah akan selalu jadi momen paling berkesan bagiku.

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang