[10] Percakapan

6.5K 1.1K 85
                                    

Happy Reading!

***

Setelah menghabiskan greentea buatan Ibu, aku dan Kak Fariz memutuskan untuk ke kamar Kak Fariz. Malam ini kami akan menginap dirumah orang tua-nya selama dua malam. Karena, dari awal menikah kami belum pernah menginap di rumah ini. Mumpung, dia sedang tidak mempunyai kesibukan, jadi disempatkan saja, katanya.

Sekarang, aku telah berada di kamar pribadi milik Kak Fariz, aku benar-benar dibuat kagum dengan desain interior disini. Temanya tidak jauh-jauh dari warna kamar kami di rumah. Abu-abu, hm, sesuka itu dia sama monokrom.

"Ini pertama kalinya aku masuk di kamar Kak Fariz, keren juga ya ternyata," komenku sembari duduk di pinggir tempat tidur.

Kak Fariz berjalan menuju lemari pakaian lalu membukanya. "Begitulah,"

"Disini masih ada beberapa bajunya ya, Kak? Kirain dibawa ke rumah kita semua," Aku bangkit kemudian menghampiri Kak Fariz yang terlihat sedang merapikan beberapa pakaian.

"Tadinya, mau saya bawa semua, tapi kata Ibu, disimpan aja setengahnya. Biar kalau mau nginap gak perlu repot-repot bawa baju lagi,"

Aku mengangguk paham. "Benar juga, sih, eh, ini almameter osis waktu kita SMA, 'kan?" Aku langsung mengeluarkan almameter itu dari lemari.

"Iya, almameter saat saya menjadi ketua osis, dan di waktu itu juga, kamu lagi ngejar-ngejar saya" cetus Kak Fariz seraya mendudukkan dirinya di kasur.

"Astaghfirullah, omongannya gitu amat, Kak" protesku sembari memasukkan kembalu almameter itu kedalam lemari lalu ikut duduk di samping Kak Fariz.

Kak Fariz tertawa pelan. "Lah? Emang iya, 'kan?"

Malu, nggak? Malu, nggak? Malu lah, masa nggak. Ternyata, bukan hanya perasaan bahagia saja yang didapatkan saat berhasil menaklukkan hati laki-laki yang tlah lama kita kagumi, rasa malu juga turut andil dalam hal ini. Apalagi saat dia tahu semua perjuangan yang kita lakukan untuk mendapatkan dirinya. Pasti tidak henti-hentinya mendapat ledekan dari laki-laki tersebut.

"Tahu gitu nggak usah ngasih tahu, kalau dulu aku sekagum itu, daripada diganggu mulu," celetukku dengan muka kesal.

Kak Fariz menghela napas panjang. "Tanpa kamu ngasih tahu, saya juga sudah tahu dari lama, gimana, dong?"

Aku melempar tatapan tajam ke arahnya. "Terserah, deh,"

"Kak Fariz! Sheila nitip salam, nih. Wah, jodohnya Sheila lewat guys," Kak Fariz tiba-tiba saja menirukan kehebohan seluruh teman kelasku saat dia akan melewati area kelas. "Lucu banget," ucapnya lalu tertawa puas.

"Nggak ada bosan-bosannya ya, ngebahas itu," protesku.

"Pake pura-pura nggak tahu ruang BK lagi, apa nggak ada skenario lain di otak kamu untuk ngobrol sama saya?" lanjutnya.

Aku berdecak. "YA, NAMANYA JUGA SPONTAN,"

"Oh, ada yang udah berani ngegas sama saya,"

"Eh? Bentar-bentar, aku baru sadar, ngomongnya udah balik ke saya-kamu lagi, nih?" tanyaku dengan tatapan heran.

Kak Fariz mengangguk. "Nyaman kayak gini, kenapa? Nggak nyaman? Kalau nggak nyaman, saya akan coba pakai aku-kamu lagi, La,"

Kalau boleh jujur, aku lebih suka Kak Fariz menggunakan saya-kamu sih saat berbicara. Terlihat beda saja sensasinya dibanding pakai aku-kamu.

"Aku terima-terima aja kok, nggak usah diganti,"

"Oke,"

Setelah berbincang cukup lama dengan Kak Fariz, aku dan dia sama-sama menonton YouTube di ponsel masing-masing, aku menonton vlog para selebgram, sementara Kak Fariz terlihat menonton musikalisasi puisi. Ditengah keasikan berselancar di dunia per-youtube-an, aku tiba-tiba teringat satu fakta yang sempat diberitahu Kak Inggi padaku saat acara pernikahan Elsa. Ada perempuan yang berhasil membuat Kak Fariz menjadi secret admirer juga, kira-kira siapa dia? Ah, lebih baik ku tanyakan langsung saja padanya.

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang