[34] Penyesalan

8.1K 1.1K 239
                                    

happy reading 🌹

***


[Author POV]

Sudah tiga hari berlalu sejak Fariz menerima kabar paling terburuk di hidupnya, sampai hari ini ia juga tidak mengaktifkan ponsel miliknya.

Fariz masih tidak ingin berbicara dan menemui siapapun saat ini kecuali Sheila, hanya perempuan itu yang ia
butuhkan untuk berada di sampingnya sekarang, dia tidak menginginkan orang lain sama sekali.

Jika orang-orang melihat rumah yang di huni bersama istri, adik beserta asisten rumah tangganya itu dari depan, pasti terlihat seperti sedang tidak ditinggali oleh siapapun. Dikarenakan, Bi Iyem dan Aliyah memang belum kembali ke rumah, sementara Fariz, dia masih sibuk mengurung diri di kamar.

Makan pun terakhir kemarin pagi, ia hanya memberi asupan air mineral untuk tubuhnya. Tidak peduli akan sakit atau tidak, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana ia bisa kembali melihat sang istri.

Walau suster-suster di rumah sakit mengatakan bahwa Sheila telah tiada, ia masih saja berdoa agar bisa bertemu dengan istrinya lagi, entah bagaimana caranya.

Fariz bangkit dari duduknya menghampiri lemari untuk mengecek apa ada barang yang Sheila tinggalkan di sana.

Ternyata, beberapa pakaian perempuan itu masih tersusun rapi.

Ah, iya, sewaktu meninggalkan rumah, dia hanya ingin mengistirahatkan pikiran bukan benar-benar ingin pergi, tidak heran jika ia masih menyimpan beberapa pakaiannya di sini.

Selain itu, Fariz juga melihat sebuah kotak yang berisi semua hal tentang dirinya yang di simpan oleh Sheila. Ia mengambil secret box itu, lalu kembali duduk di sofa.

"Saya belum siap, kalau kamu harus pergi selamanya dari saya, Dek," Lagi-lagi air mata Fariz meluruh.

Baru sekarang dia sadar bahwa keberadaan Sheila sepenting itu di hidupnya. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, ia akan sehancur ini tanpa perempuan itu di sisinya.

Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu membuat Fariz berdiri seketika, ia sudah menutup segala akses rumahnya. Tapi, mengapa masih ada seseorang yang bisa membuka pintu? Apa itu salah satu penghuni rumah ini? Bibi? Aliyah? Atau jangan-jangan ...

Tanpa berpikir panjang, ia berlari membuka pintu kamarnya.

"Shei--" Omongan Fariz terhenti seketika saat melihat orang di hadapannya adalah sang Ibu.

"SEBENARNYA APA YANG ADA DI PIKIRAN KAMU, HAH?"

Laki-laki yang tengah di ajak berbicara itu mendadak mematung.

"Jawab, Riz! Ibu gak pernah mendidik kamu untuk jadi pengecut kayak gini." seru Aisyah pada putranya. "Apa kurangnya Sheila sama kamu, Nak? Dari awal Ibu lihat dia bahkan sampai  menjodohkan kalian, gak pernah sekalipun dia menunjukkan kelakuan buruknya. Dia selalu baik sama Ibu." lanjutnya.

"Sheila gak punya kekurangan apapun, Bu."

"Tapi, kenapa kamu tega nyakitin dia?" Aisyah refleks memukuli bahu putranya.

"Aku sadar udah sesalah itu dan sekarang aku sangat menyesali semuanya."

"Kamu dari dulu gak pernah punya kesalahan, sekalinya berbuat langsung fatal."

Lagi-lagi dia memilih untuk diam, membiarkan Ibunya berbicara sepuas-puasnya.

"Ibu, Ayah, Kak Thifa dan semua, sebenarnya gak mau ngomong sama kamu, karena kecewa. Kalau mereka tahu Ibu berada di sini, pasti mereka bakal marah. Tapi, mau gimana lagi Ibu juga punya rasa khawatir sama kamu."

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang