Bab. 23

4 1 0
                                    

Lili mendudukan pantatnya disofa saat mereka sudah sampai rumah. Sementara Ferdi yang masih diluar sedang mengambil barang-barang mereka yang sempat mereka bawa saat dirumah sakit. Sekar duduk disamping Lili mengelus rambut Lili.

Henri yang baru pulang dari kantor melihat Ferdi, Sekar dan Lili sedang berada disofa. Entah apa yang mereka omongin membuatnya muak saat melihat mereka yang sedang bercengkrama tawa bahagia.

"Bagus banget ya kalian tertawa tertiwi. Sampai lupa sama kerjaan kamu sendiri. Sedangkan ayah dikantor bekerja tanpa ada yang membantu." Henri berjalan menghampiri mereka dan menyindirnya dengan keras.

"Maaf yah. Ferdi bukannya lupa sama kerjaan dikantor tapi Lili baru pulang dari rumah sakit dan Ferdi tidak bisa meninggalkan Lili anak Ferdi." kata Ferdi melihat Henri yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Lagian ayah juga tidak bekerja sendiri dikantor masih ada Dido dan yang lainnya yang membantu ayah dikantor." sambung Ferdi membalas sindiran Henri.

Raut muka Henri tampak marah. "Sekarang kamu berani melawan yah sama ayah."

Ferdi yang lelah dengan omongan ayahnya yang selalu berulang-ulang membuatnya ingin sekali menyadarkan ayahnya. Bahwa Ferdi tidak pernah sekali pun melawan Henri ayahnya yang selalu Ferdi hormati.

"Semua gara-gara anak sialan ini. Dia yang udah buat kamu lupa dengan ayah dan pekerjaan kamu." Henri menunjuk jarinya ke Lili.

Sekar memeluk tubuh Lili dan menutupi kedua telinganya agar putrinya tidak mendengar ucapan ayah mertuanya yang sangat menyakitkan.

"Kenapa kamu gak mati aja. Kenapa masih hidup sampai sekarang. Kenapa kamu melahirkan anak sialan ini, semenjak ada dia dikeluarga ini semua jadi hancur dan berantakan itu semua karna dia." Henri terus menyalahkan Lili bertubi-tubi.

Membuat Sekar menganggis dan memeluk Lili dengan erat. Walau Sekar sudah memeluk bahkan menutupi kedua telinganya dengan tangannya namun Lili masih bisa mendengar ucapan Henri kakeknya yang menyayat hati.

"AYAH CUKUP?" teriak Ferdi membuat Henri berhenti berbicara.

"Lili itu anak Ferdi yah. Ferdi yang mengingginkan Lili lahir kedunia. Jaga ucapan ayah yang keterlaluan itu apa Lili gak pantes hidup hingga ayah kakeknya sendiri mengingginkan anak Ferdi mati. Dimana hati nurani ayah pada Lili anak Ferdi cucu ayah sendiri." Tekan Ferdi didepan Henri menahan marah.

"Cucu. Hah sampai ayah mati sekali pun ayah tidak akan pernah anggap dia cucu ayah." Henri menatap sinis Lili yang dalam pelukan Sekar.

Sebelum Ferdi berbicara Lili sudah memotong pembicaraan Ferdi dengan Henri.

"Kakek maafin Lili. Lili tau gak seharusnya Lili dilahirkan Jika Lili bisa memilih dan berbicara pada Tuhan Lili mau tidak dilahirkan ke dunia." Lili berdiri diantara ayah dan kakeknya yang saling berhadapan.

"Sayang kenapa kamu bilang begitu." sela Sekar.

"Itu benar mah. Jika Lili tidak dilahirkan pasti kakek gak akan membenci mama. Pasti keluarga ini tidak akan menderita ini semua karna kehadiran Lili di dalam keluarga ini." Lili terus menyalahkan dirinya sendiri. Ferdi pun seperti tidak bisa berbicara untuk membela anaknya sendiri dihadapan Henri.

"Gak sayang itu gak benar. Kamu anugerah yang Tuhan berikan ke mama." isak Sekar menguncang bahu anaknya.

Henri mendegus kasar melihat drama ibu dan anak di hadapannya. "Memang ini semua karna mu."

"Ayah." teriak Ferdi yang geram dengan Henri yang terus saja menyundut anaknya.

"Cukup. Jika ayah ingin mencaci dan membenci diriku aku tidak masalah tapi tidak dengan istri dan anak ku. Mereka adalah sumber kebahagiaan Ferdi."

"Selalu saja membelanya. Ah sudahlah berbicara dengan mu membuat kepalaku sakit saja." Henri memijit keningnya dan berjalan pergi meninggalkan mereka.

"Aku akan selalu melindungi kalian." Janji Ferdi kepada istri dan anaknya.

"Kalo gitu sebaiknya kamu istirahat biar mama mu yang anter ke kamarmu." ucap Ferdi mengisyarat Sekar untuk membawa Lili ke kamarnya.

Sekar yang mengerti lantas menuntun Lili menujuh kamarnya.

"Ayo sayang." ajak Sekar.

Sesampainya dikamar Sekar membaringkan Lili dikasurnya menyelimuti seluruh tubuhnya hingga menyisahkan kepalanya saja.

Sekar tidak lantas keluar tapi dia duduk di kasur yang kosong membelai pala Lili. Sekar tidak tau entah apa yang ada dipikiran anaknya hingga berbicara bahwa dia adalah kesalahan. Tidak pernah sekali pun Sekar meyalahkan kelahiran Lili. Dulu saat Sekar tau bahwa dia mengandung alangkah bahagianya Sekar. Sekar selalu berdoa disetiap malamnya jika kelak anaknya lahir Sekar ingin agar anaknya selalu diberikan kasih sayang dan cinta oleh orang disekitarnya.

Baik itu Ferdi atau pun dirinya tidak mempermasalahkan jenis kelamin anaknya mau itu laki-laki atau perempuan sekali pun asal bayinya lahir dengan selamat itu sudah membuat mereka bahagia. Tapi tidak dengan Henri yang sangat terobsesi dengan cucu laki-laki.

Saat dimana hari itu tiba dan Sekar melahirkan bayi perempuan yang cantik membuat Henri gusar dan marah. Bukan hanya itu bahkan Henri dengan kejamnya ingin membuang bayinya yang baru lahir kepanti asuhan. Untung saja Ferdi bisa mencegah Henri yang ingin membawa bayinya semenit saja Ferdi terlambat mungkin Ferdi dan Sekar tidak akan bisa melihat bayinya lagi.

Lili yang melihat ibunya yang terus saja membelai rambutnya. Membuat dirinya ingin menanggis.

"Mah." Lili merasakan tetes air mata Sekar yang jatuh dipipinya.

"Jangan pernah bilang kalo kamu tidak layak dilahirkan. Karna kamu putri mama dan papa inginkan bukan yang lain."

Lili bangun dan memeluk Sekar dengan erat. "Mah maafin Lili yang udah bikin mama menanggis." isak Lili.

"Kamu bukan kesalahan sayang. Bukan."

"Iya mah Lili tau." Lili menghapus air mata Sekar. "Lili mohon jangan menanggis lagi." sambungnya.

"Janji sama mama kalo kamu tidak akan pernah mengucapkan bahwa kamu tidak pastas dilahirkan." kata Sekar memegang bahu Lili.

"Iya mah Lili janji."

"Sekarang tidurlah." Sekar mengecup kening anaknya. Dan berjalan keluar kamar Lili.

Lili hanya memandang langit-langit dengan keremangan didalam kamarnya. Mungkin Tuhan belum mengijinkan dirinya untuk mati saat ini. Walau dirinya ingin sekali namun masih ada orang yang menyayangi dan mengingginkan dirinya hidup. Bukan hanya kedua orang tuanya saja, tapi juga teman-temannya, bahkan orang yang selama ini mencintai dirinya.


Walau sakit tapi Lili akan bertahan. Lili percaya akan keajaiban Tuhan, mungkin suatu hari nanti kakeknya akan menerima dan menyayanginya seperti dirinya yang tulus menyayanginnya. Itu lah doa dan harapan Lili kepada Tuhan.


*
*
*
*
*
To be countinued

Vincenzo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang