Chapter 2

231 35 30
                                    


Disebuah ruangan megah dengan suasana ketegangan yang luar biasa, terdapat seorang gadis kecil yang tengah ditatap oleh seluruh pasang mata yang ada disana tanpa terkecuali. Beberapa orang yang berada dibalik meja panjang dan besar dihadapannya nampak memberikan tatapan tajam pada anak itu. Dan tepat didepannya, ada seorang pria tinggi yang menatapnya dengan sangat menuntut. Gadis itu menundukkan kepalanya, jari-jarinya saling bertautan gugup, tubuhnya hampir meringkuk karena ketakutan.

Sungguh ia tak berani. Dia membenci situasi ini.

Perlahan kepalanya ditolehkan, memastikan sang sahabat tidak meninggalkannya. Setidaknya, jika sang sahabat masih ada, dia bisa sedikit tenang. Ia butuh senyuman lebar dari sang sahabat, salah satu senyuman favorit dalam hidupnya setelah senyuman kedua orangtuanya. Naas-nya, ketika maniknya bersitatap dengan manik sahabatnya, bocah yang lebih tinggi darinya itu justru memalingkan wajahnya.

Gadis kecil yang sedang ketakutan itu semakin dibuat ingin menangis, apalagi saat dari salah satu orang dewasa disana berbicara padanya dengan nada tinggi.

"Kau melihatnya, kan? Cepat jawab, bocah!"

Bibirnya kelu dan isakan kecil memenuhi ruangan runyam itu, mengundang semua orang yang ada disana memutarkan bola matanya jengah.

Mengumpulkan sedikit keberaniannya yang tersisa, ia menjawab dengan terbata, "A-ahjussi, teta-tetapi a-ak-aku—"

"JAWAB YA ATAU TIDAK!"

Anak kecil yang baru berusia 7 tahun itu terlonjak kaget. Matanya yang sembab, hidung mungilnya yang memerah, serta isakan yang semakin mengeras membuat pria didepannya menundukkan wajah serta tubuhnya didepan gadis itu, "Jawab ya dan kau akan bisa cepat keluar dari sini, mengerti?" bisik orang itu pelan dan cepat.

Dalam benak gadis kecil yang masih lugu itu, ia hanya ingin cepat keluar dari tempat menyeramkan ini.

Jadi ketika seseorang kembali bertanya, "Apakah kau melihatnya?"

Dengan ragu ia menjawab, "Ya."

Dan setelah itu semuanya berubah. Tak lagi sama. Pernyataan yang membuat ia menyesel disepanjang hidupnya.

^^^

"—ji! Bangun!"

Kelopak mata indah milik Jimin akhirnya terbuka sedikit demi sedikit. Keningnya mengernyit begitu juga dengan maniknya yang menyipit, masih berusaha memfokuskan pandangan dan menyesuaikan cahaya yang baru saja diterima.

Satu menit.

Dua menit.

Empat menit.

Lima menit—

Loh?

Dia melotot. Di apartemen ini hanya ada dia sendiri. Tidak ada yang lain. Lalu, siapa yang membangunkannya barusan? Hanya satu nama yang muncul dalam benaknya, karena hanya orang itu yang mengetahui password apartemennya.

"Jungkook?!" teriak gadis itu. Wajahnya menoleh dan menatap Jungkook yang sedang menyengir disamping ranjangnya dengan pandangan seolah kekasihnya itu adalah makhluk astral, "Kau ngapain kesini pagi-pagi buta?" tanyanya tak percaya, tidak biasanya pemuda tampan itu berkunjung ke apartemennya. Jika ketempatnya pun, Jungkook lebih memilih ketika pulang dari kerja. Oleh karena itu, tak salah kan Jimin berkata demikian?

Si tampan melunturkan senyumnya, ia mengernyitkan dahinya berlipat-lipat dan menatap Jimin sangsi, "Pagi-pagi buta?"

Bersyukur otak jeniusnya bisa digunakan walaupun nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Mencoba menghubungkan kemungkinan mengapa Jungkook datang kemari, kemudian Jimin melototkan mata sipitnya. Jungkook bergidik, takut bola mata itu keluar dari tempatnya, meskipun itu mustahil.

ᴋᴏᴏᴋᴍɪɴ ɢꜱ (ᴇɴᴅ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang