"Sudah merasa lebih baik?"
Jimin mengangguk pelan. Setelah meminum sedikit air yang disodorkan Jungkook kepadanya, ia menaruh kepalanya keatas meja yang ditumpu dengan lipatan kedua tangannya. Dia menghela nafas, semua yang ada pada dirinya benar-benar terlihat kusut seperti tak disetrika dan nampak berantakan. Pun kondisinya itu tak jauh berbeda dengan sang kekasih yang saat ini menunduk menatapnya sembari mengelus kepalanya penuh sayang.
Tangan Jimin yang masih sedikit bergetar terangkat menuju sisi wajah Jungkook. Dia semakin mendekatkan dirinya pada pemuda itu agar jari-jari mungil nya bisa menjangkau wajah si tampan dengan mudah. Jungkook tersenyum begitu lembut ketika ia merasa tangan halus dan mungil milik Jimin membelai dahinya pelan, "Kau pasti sangat khawatir dan ingin cepat-cepat kemari tadi." ujar Jimin teramat pelan dan bergetar, nyaris berbisik, "Maaf merepotkan mu lagi." imbuhnya lagi.
Jungkook menunduk dan mengecup sekilas labium milik sang kekasih. Dia sedikit mengangkat kepalanya, hingga wajahnya dan wajah si cantik hanya berjarak sepuluh senti meter saja. Kedua telapak tangan besarnya segera menangkup wajah si mungil dengan gemas. Sebelum itu, ia juga sempat mencubit pucuk hidung Jimin, "Jangan berkata seperti itu lagi. Kau membuatku sedih, bukankah ibumu juga akan menjadi ibuku?"
"Bagaimana bisa ibuku menjadi ibumu?" cibir Jimin. Dia menegakkan tubuhnya dan seketika ia menyesalinya, karena pening langsung menyambutnya. Jimin memijit pelan pangkal hidung dan keningnya, tak lama dari itu Jungkook membantunya saat mengetahui sang pemilik hati selalu merasa demikian jika usai menangis lama.
"Jadi ibu mertuaku lah!" sahut Jungkook percaya diri.
Jimin tertawa, pipinya mengeluarkan semburat berwarna merah yang samar hingga ke telinga, lalu memilih menyembunyikan wajahnya di dalam dekapan Jungkook, khas sekali saat ia malu. Membuat pemuda tampan disampingnya terkekeh tanpa suara dan ia dengan senang hati membalas pelukan sang kekasih dengan erat, enggan melepaskan, "Jeon Jungkook yang selalu percaya diri tak pernah berubah memang!" gumam Jimin.
Keduanya masih hanyut dalam pelukan hangat yang saling dihantarkan. Jimin pun sudah jauh lebih tenang sekarang, terbukti dengan ia yang sudah tak sesenggukan lagi. Dia diam, menantikan pertanyaan dari Jungkook yang mungkin sedari tadi sudah ia tahan untuk menjaga perasaannya. Hingga sepuluh menit waktu berlalu masih hening. Tak peduli jika posisi mereka membuat tubuh masing-masing kram nantinya, yang penting saat ini mereka berdua merasa nyaman.
Lengan kanan Jungkook masih mengelilingi bahu Jimin dengan telapak tangan serta jemarinya yang senantiasa memberikan usapan pelan pada lengan kanan gadis itu. Sedangkan tangan kirinya berada dalam genggaman erat perempuan di dekapannya ini, dia sengaja membiarkan tangannya dimainkan oleh Jimin. Entah dia memberikan cubitan, menusuk nya, sampai membandingkan sendiri perbedaan ukuran tangan keduanya yang berbeda jauh.
Gadisnya ini memang sangat menggemaskan! Apalagi bibirnya juga dikerucutkan seperti itu! Manik sipitnya yang semakin mengecil, hidung memerah, bibir mencebil, wah wajah sembab yang sungguh luar biasa menurut Jeon Jungkook!
Oke, ada yang lebih penting dari itu sebenarnya.
"Kenapa ibu bisa pingsan?"
"Apakah Dokter Seokjin memberitahu mu jika ibu tak sadarkan diri?"
Jimin memutuskan pelukan mereka dan ganti bersandar pada punggung kursi kantin terbuka rumah sakit setelah mengeratkan jaket Jungkook pada tubuhnya saat merasa angin malam menusuk pori-pori kulitnya. Jungkook pun mengikuti kegiatannya, ia memasukkan telapak tangannya pada saku jas miliknya dan mengangguk, "Ya." jawabnya singkat.
Jimin menghela nafas, "Aku merasa bersalah."
Jungkook mengernyit tak mengerti, tapi pandangannya tetap lurus kedepan, "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴋᴏᴏᴋᴍɪɴ ɢꜱ (ᴇɴᴅ) ✔
FanfictionGadis cantik itu ingin menjadi seorang pengacara yang benar-benar bisa membela terdakwa yang tidak bersalah. Sayangnya ia tidak sepintar itu, lebih tepatnya ia yang anak yatim tidak mampu untuk bisa menjadi seorang pengacara handal. Dia merasa sanga...