Chapter 11

119 20 0
                                    

Saat ini, Jungkook menyenderkan punggungnya pada kursi dan mendongak menatap langit-langit kantornya. Sedikit lagi, semoga saja akan lebih mudah. Dia sudah terlalu lelah selalu mendapati wajah frustasi pujaan hatinya.

Selama 3 bulan penuh, jungkook mengerahkan seluruh waktu serta tenaganya agar ia layak menjadi seorang hakim yang adil, salah satunya adalah dengan mempelajari lebih dalam lagi tentang undang-undang negara yang telah ditetapkan. Dan geuntae, ayah jungkook sedikit terpana akan tekad dan usaha sang putra. Padahal ia sudah mengatakan berkali-kali, jika jungkook tak perlu berusaha sekeras itu, sebab undang-undang yang ada hanyalah untuk sebuah bentuk formalitas.

Yang paling jungkook ingat adalah, ketika papanya dan ia sedang berbincang berdua,

"Mungkin hari ini kau sangat berambis untuk menjadi orang yang adil, nak. Tapi, ketika kita sudah berada dalam ruang sidang, kemungkinan kita bisa menjadi orang ter-jahat disana, melebihi terdakwa itu sendiri."

Jungkook terdiam sebentar, lalu menatap sang papa dengan alis berkerut menahan ledakan emosi, "Papa juga?" tanyanya pelan dan datar.

Geuntae tertawa keras nan lebar, "Pilihannya adalah uang atau mati. Jadi, kau pasti tau aku akan memilih apa, kan?"

Jungkook ikut tertawa pelan mendengarnya, lelaki ini memilih menyenderkan tubuhnya pada sofa yang didudukinya, kemudian menatap sang papa dengan tajam, dan ia menyahut sinis, "Kau takut dengan pilihan mereka? Katanya kau ini orang yang memiliki kedudukan tertinggi, tapi kenapa dengan pembunuh saja kau bisa tunduk, tuan?"

Keduanya saling melemparkan pandangan yang sulit untuk dimengerti.

"Apakah kau belum sadar diri? Perbuatan mu itu, sangat merugikan orang lain. Kau bahagia mendapatkan uang dari pembunuh? Ck, tidak malu?" lanjut jungkook.

Sekarang giliran geuntae yang menatap jungkook marah, sedangkan yang ditatap saat ini tengah tersenyum puas, "Kenapa? Tidak terima?" tanya jungkook seraya menatap papanya pongah.

Geuntae bangkit dari duduknya, mendekati jungkook dan mencengkram erat kerah kemeja jungkook, hingga anaknya itu ikut berdiri dengan gerakan malas.

"Apa maksudmu?" tanya geuntae geram. Matanya memerah menatap jungkook tajam, urat-uratnya nampak menonjol sebab menahan luapan, seluruh tubuhnya bergetar karena perasaan marah yang sungguh luar biasa.

"Papa tau maksudku, kan? Park Seojon? Kenapa papa menutupi kasus dan pembunuh aslinya? Lee Hyeongsu? Dia pembunuhnya, benar kan? Kenapa papa melakukan hal ini? KENAPA?!"

Bug.

Tanpa diketahui, saat itu, sedari awal perbincangan, diam-diam jungkook mulai menekan tombol merah yang sudah disiapkan di layar handphone-nya, tanda suara rekaman sudah dimulai. Awalnya jungkook enggan menanggapi pernyataan tersebut, tapi setelah di pikir-pikir beberapa saat kemudian, sepertinya ini adalah waktu yang pas untuk menguak kebenaran satu persatu.

^^^

Taehyung mendekati papanya yang tengah merenung seusai makan pagi hari ini. Menyodorkan secangkir kopi dihadapan jonghoon yang langsung tersentak ketika taehyung ikut duduk didepannya.

"Kenapa?" tanya jonghoon kemudian.

"Memikirkan apa?"

Jonghoon menghela napas gusar. Bingung antara haruskah ia mengatakan pada sang anak atau tidak. Jika dikatakan, maka ini adalah kesempatan yang baik untuk menuruti apa kemauan sang anak. Tapi, jika tidak dikatakan, kapan masalah ini akan berakhir? Agaknya ia mulai sadar, sudah banyak yang terluka disini.

"Kau masih sering bersama dengan anak mendiang seojon?"

Taehyung mengernyitkan dahinya tak mengerti, tapi ia tetap mengangguk dan menjawab, "Masih. Tapi, akhir-akhir ini sudah jarang ketemu, karena mungkin dia sedang sibuk. Entahlah, aku juga tak mengerti."

Jonghoon mengangguk seadanya. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, gugup. Ia melirik sang anak yang saat ini menatapnya lekat, rautnya seolah mengatakan aku akan memberi waktu untuk papa bisa menyampaikan apa yang ingin papa sampaikan.

"Taehyung-ah?" panggil jonghoon, "Sebenarnya ada yang ingin papa tanyakan terlebih dahulu."

"Apa itu?"

"Katamu, kau ingin membantu jimin, kan?"

"Ya. Lalu?"

"Papa siap berurusan dengan mereka lagi!"

Manik taehyung membola. Ia lebih mendekatkan dirinya pada presensi sang papa, "Benarkah? Papa serius? Papa mau berurusan lagi dengan Lee Hyeongsu?" tanya taehyung beruntun.

Jonghoon mengangguk, dan anggukan itu cukup untuk menjawab pertanyaan taehyung tadi. Dia mendesah lega dan tersenyum lebar, tak ingin menanyakan lagi sebab tak ingin sang papa berubah pikiran kembali.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan, pa?"

"Nanti malam. Kita akan bertemu mereka. Siapkan dirimu, taehyung-ah!"

^^^

Tapakan langkah kecil itu menggema di seluruh ruangan. Tangannya menggenggam sebuah kertas yang dilapisi amplop berwarna putih. Terserang kegugupan diwaktu seperti ini, membuat ia hampir saja akan meremat serta membuang kertas putih dalam genggamannya. Tapi, mengingat kertas ini sangat penting, ia mengurungkan niatnya dan kembali berjalan pelan menuju sebuah ruangan yang ditujunya.

Sepuluh langkah lagi, pintu ruangan itu sudah nampak jelas dihadapan maniknya. Yang malah semakin menambah kegugupannya. Meskipun begitu, tekadnya jauh lebih besar dari rasa nerveous-nya, jadi ia tetap melangkah hingga sampailah ia didalam ruangan ini.

Satu makhluk yang berada diruangan ini mendongakkan kepalanya saat dirasa ada yang memanggil namanya pengacara choi.

Pengacara tersebut menggerutu pelan melihat siapa ayang menjadi tamunya saat ini, dia mendongak dan menatap gadis mungil didepannya yang menunduk, "Ada apa? Cepat katakan, aku sibuk!"

"Ah, kau mana tau sibuk nya diriku seperti apa. Kau kan hanya seorang paralegal, bukan pengacara!" hardik pengacara choi saat gadis didepannya hanya diam sembari melipat bibirnya kedalam mulut dan kedua tangan yang saling bertaut itu meremas satu sama lain.

"Kau benar. Aku bukan pengacara, tapi aku juga bukan paralegal." sahut gadis itu lirih.

Pengacara choi mengernyitkan dahinya bingung, "Apa maksudmu, park jimin?"

Jimin, gadis itu memberanikan untuk mengangkat wajahnya. Berjalan pelan menuju meja pengacara choi, kemudian ia menyodorkan sebuah kertas yang sedari beberapa hari sudah disiapkannya.

"Aku— mengundurkan diri!"

ᴋᴏᴏᴋᴍɪɴ ɢꜱ (ᴇɴᴅ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang