1 : coretan hidup

199 18 6
                                    

[Barang kali masih ada kata atau kalimat yang rancu yang tidak terlihat oleh saya silakan komen agar segera diperbaiki]

Musim panas telah datang, di balik gelapnya malam Adara duduk di kursi, berkutat dengan berbagai macam buku dan alat tulis di depannya sembari menahan gerahnya berada di dalam kamar sempit tanpa pendingin. Keringat sedikit mengucur di bagian pelipis Adara begitu juga dengan badannya yang terus mengeluarkan keringat hingga membuat kerah bajunya basah. Jelas rumahnya tidak ada AC bahkan sebuah kipas angin pun tidak ada. Bukannya tidak ingin membeli tapi rumah gubuk yang ia tinggali nampak tidak pantas mempunyai fasilitas seperti itu, ditambah dia tidak sanggup membayar tagihan listrik yang seketika bisa membengkak ketika memakai alat elektronik dengan daya listrik tinggi.

Adara menghela nafas gusar lalu bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil ponsel di dalam tas yang ia gantungkan di belakang pintu. Bukan sebuah ponsel mewah keluaran terbaru hanya sebuah ponsel android keluaran lama yang ia beli dengan jeri payahnya sendiri dan ia jaga baik baik. Hanya dipakai untuk sekadar mencari info kerja part time serta untuk berkomunikasi agar bisa lebih mudah dan untuk mendengarkan radio juga lagu saat dirinya merasa kesepian.

"Waktunya shif malam." Setelah itu ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Adara bergegas membuka lemari pakaian dan menganti baju dengan setelan kaos pendek berwarna putih lengkap dengan celana pendek jeans lalu ditambah kemeja oversize.

Mengambil tasnya yang ia gantung di pintu, lalu berjalan ke arah sebuah kaca yang tergantung di dinding, ukurannya tak begitu besar namun cukup untuk sekadar melihat wajahnya.

10 detik

20 detik

30 detik

Adara berdiri cukup lama di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul di dalam kaca. Sebuah lebam di ujung bibirnya tampak begitu jelas. Lebam itu didapatnya saat sebelum pulang sekolah, ulah seseorang di sekolah. Gadis itu menunduk dalam, untuk beberapa saat bahunya bergetar. Buliran air mata mulai mengalir dari matanya yang indah. Ia mendongak cepat, menghapus jejak airnya dengan kasar. Saat ini bukan waktunya untuk meratapi nasib, dirinya harus sampai di tempat kerja sebelum mendapat omelan dari atasan.

Adara mengeluarkan masker dari tasnya –yang ia beli sebelum pulang– kemudian memakainya. Untuk menyembunyikan lebam di sudut bibirnya. Adara malas untuk menjawab rentetan pertanyaan rekan kerjanya jika dirinya nanti tiba di tempat kerja.

"Mau kemana kamu?" Seorang pria berumur 50an tengah duduk santai di ruang tamu sembari mengapit rokok yang sudah habis setengahnya. Bau alkohol dan rokok menguar di setiap sudut ruangan. Belum lagi kartu kartu yang berserakan di meja, sudah dipastikan bapaknya itu berjudi lagi. Sudah menjadi rahasia umum di lingkungan rumahnya jika rumahnya itu adalah sarang judi.

Adara mengabaikan pertanyaan bapaknya, melenggang tak peduli menuju pintu kemudian mengambil sepatunya dan bergegas memakainya di depan pintu.

"Punya anak gak punya sopan santun, kalau ditanya orang tua itu jawab!" Suaranya terdengar meninggi, namun Adara memilih tak acuh.

Dengan langkah cepat Adara menjauh dari rumahnya, baginya tempat itu menjadi tempat paling ia hindari. Bukan kemauannya untuk tinggal di sana, tapi keadaan yang memaksa dirinya tetap tinggal di sana.

Gang gang sempit Adara lewati, lampu temaram jalanan menemaninya berjalan di antara sepi yang menyelimuti. Sedikit lega karena jalanan yang tak begitu gelap, tapi sudah bisa dipastikan jika lampu itu akan mati dalam beberapa hari lagi.

"Cewek, mau kemana nih?"

Gadis itu terjingkat mendapati beberapa pria tengah berkumpul di balik kegelapan di pos ronda. Bukan orang orang yang tengah meronda tapi para remaja begajulan yang tengah berkumpul sembari mabok mabokan.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang