"Lo kenapa si, Ra?" Tanya Alena. Gadis berambut pendek yang terduduk di atas kasurnya memandangi wajah Adara dengan air muka bingung seraya mengunyah apel yang baru saja dikupas oleh Adara.
Sejak masuk ke dalam ruang rawat Alena, Adara terlihat seperti gelisah dan tidak fokus. Beberapa kali Alena menangkap basah Adara yang melamun hampir mengiris jarinya sendiri dengan pisau buah.
"Emang gue kenapa?" Adara menaruh piring berisi buah apel di atas meja. Ada yougrt strawberry juga di sana.
Alena berdecak. "Keliatan banget lo lagi gelisah," tuturnya memandangi wajah sahabatnya.
"Haha mana ada gue gelisah, ngaco lo," ujar Adara dengan tawa memaksa, mengalihkan pandangan pada ponsel butut miliknya yang baru saja ia ambil dari kantong.
Pikirannya kacau sekarang, saat Adara menarik nafas dalam pun dadanya terasa dicabik-cabik. Masalah yang satu belum selesai sekarang tambah lagi masalah yang lain. Sekarang ia hanya tinggal menunggu vidio itu disebar dan dirinya akan menjadi mangsa caci maki dan bullyan di sekolah dengan lebih parah. Belum lagi tadi Aksa tiba-tiba menyatakan perasaan. Wedus! Kenapa hidupnya tak pernah tenang.
"Ra Ra Ra Ra, Mama gue datang! Sembunyi buruan!" ucap Alena terburu-buru, menepuk-nepuk tangan Adara.
Mata Adara membelalak, ia menengok ke belakang. Benar saja, Mama Alena terlihat tengah mengobrol dengan dokter di depan pintu. Gadis itu menatap Alena, bertanya tanpa suara di mana ia harus bersembunyi.
Yang di tanya mengamati seluruh sudut kamarnya dengan gerakan cepat.
Toilet.
"Di sana, toilet!" Alena menunjuk ruangan yang berada di pojok.
Dengan cepat Adara melesat dan masuk ke dalam toilet dan pada saat itu juga Mama Alena masuk ke dalam. Ia masuk dengan senyum cerah, tampak rapih seperti biasanya dengan baju kantor dan tas bermerek miliknya dan masih tampak cantik dengan usianya yang sudah tak muda lagi.
Alena segera menyembunyikan kegugupannya dan membalas senyuman Mamanya.
"Hi, sayang...." ujarnya dengan senyum lebar, mengecup dahi Alena dengan lembut. Lalu mengusap surai legam milik Alena, lantas duduk di tepi kasur.
"Hi, Ma. Tumben banget ke sini sore-sore," tutur Alena sedikit menyindir Mamanya.
Air wajah Mamanya seketika berubah masam. "Loh emang Mama gak boleh ke sini sore-sore?"
"Y-ya enggak gitu, cuma aneh aja gitu. Gak ada meeting or something else?" Bahu Alena menaik.
Mamanya terdiam, memang begitu adanya. Menjadi wanita karir adalah suatu kebanggaan tersendiri untuk Mamanya, selalu bekerja dan bekerja yang menjadi prioritas nomor satu. Bukan salah Alena jika dirinya merasa heran Mamanya mengunjunginya saat sore. Pasalnya setelah dirinya bangun dari koma pun, Mamanya tak selalu berada di sampingnya, hanya datang ketika malam hari dan Papanya hanya sesekali datang.
Alena tak pernah protes mengenai kedua orang tuanya yang selalu sibuk dengan urusan masing-masing, toh mereka bekerja untuk kehidupannya juga. Tapi merasa kekurangan waktu dan perhatin orang tua juga bukan salahnya. Ia hanya merasa seperti itu.
Merasa perlu mengalihkan topik pembicaraan Mama Alena melihat sepiring buah di tangan putrinya. "Dikupasin siapa buahnya?"
"Sama perawat."
Mamanya mengangguk. "Mama mau kasih berita baik, mau denger gak?" Ia menyelipkan rambut Alena ke belakang kuping.
"Apa?"
"Hari ini kamu bisa pulang, seneng gak?" Mamanya tersenyum sumringah. Ia bahagia akhirnya putri semata wayang bisa keluar dari rumah sakit.
Lain dengan Alena, ia hanya tersenyum tipis. Ia senang akhirnya bisa keluar dari rumah sakit, tapi ada yang disayangkan. Alena tak bisa lagi bertemu lebih sering dengan Adara, ia tak punya teman bercerita lagi jika pulang ke rumah. Tak mungkin sekali rasanya jika Mamanya itu mengizinkan Adara untuk berkunjung ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔
RomansaUntuk sesaat Adara berpikir bahwa dunia tak sejahat itu padanya ketika ia mendapatkan beasiswa di sebuah sekolah ternama di pusat kota. Tapi, rupanya tempat yang Adara kira akan memberikan sedikit kebahagiaan dalam hidupnya menjadi tamparan paling m...