9 : makna yang abu

69 12 11
                                    

Setelah limbung karena terdorong oleh Aksa, ia langsung membalikkan badan. "Maksudnya apa nih?" Gadis itu membeku di tempat ketika melihat Aksa begitu ramah dan murah senyum pada Abah dan juga Yusuf. Sepertinya itu setan yang menyamar jadi Aksa.

Abah nampak gembira dengan kedatangan Aksa, ia langsung mengajaknya untuk duduk. "Udah lama gak ke sini, kemana aja?"

"Gak kemana-mana kok, Bah. Cuman lagi sibuk sama urusan sekolah," jawabnya dengan senyum manis.

Adara berdecih ketika mendengar penuturan Aksa. "Sibuk ganggu hidup orang kali maksud lo," celotehnya dalam hati. Kenapa lagi-lagi ia bertemu dengan lelaki ini, apa tidak cukup Tuhan menakdirkannya untuk bertemu setiap hari di sekolah.

"Abah, Rara pulang sekarang." Gadis itu berjalan ke meja kasir, menyambar tasnya yang berada di bawah meja.

"Kenapa buru-buru pisan, Teh?" tanya Yusuf, bingung. Karena biasanya Adara akan meluangkan waktu sedikit untuk bercengkrama dengan Abah dan dirinya di sini.

Gadis itu berdiri di samping Abah, menatap tajam Aksa yang sama sekali yang tak memedulikan keberadaan.

Lantas Adara berucap, "Sibuk!" kemudian menyalami punggung tangan Abah dan bergegas melenggang keluar.

"Itu si Rara kenapa tiba-tiba ketus begitu?" Abah bersuara, nampak heran dengan sikap Adara yang sebelumnya ramah menjadi ketus seperti tadi.

Kedua lelaki yang mendapat pertanyaan geming di tempat. Yusuf menggeleng lemah sembari menaikkan bahunya, lainnya halnya dengan Aksa yang memilih diam. Aksa, ia sama sekali tak minat untuk menjawabnya walaupun ia tahu betul kenapa Adara bersikap seperti itu. Jelas karena kehadiran dirinya di sini.

●□●□●□●

Adara mematung, menatap seseorang yang tengah tertawa terbahak di atas dipan di sebuah warung. Meneguk satu botol alkohol dengan nikmatnya sembari melemparkan kartu demi kartu yang katanya sebagai alat untuk menyambung hidupnya yang serba kekurangan padahal tak lebih dari sekedar perusak kehidupan.

"Sebenernya gue hidup buat apa dan buat siapa?" Tanya Adara dengan suara parau. Setelah pulang dari rumah makan Abah, ia ingin pulang dan beristirahat sejenak sebelum berangkat kerja lagi, tapi yang ia lihat sekarang justru bapaknya yang tengah menggali kuburan utangnya dengan tawa dan kartu biadab itu.

Jengah, Adara memejamkan matanya erat. Ibunya telah tiada dan kini Bapaknya bukan seperti Bapaknya yang dulu lagi. Kehidupan sekolah yang sama sekali tidak ada kata bahagia di dalamnya. Jadi untuk apa dan untuk siapa sebenarnya Adara hidup.

Adara berbalik lalu berjalan keluar dari gang sempit dan berakhir menyusuri jalanan malam kampungnya yang sepi. Ia melangkahkan kakinya menuju taman yang berada tak jauh dari rumahnya.

Adara duduk di pinggiran kolam dengan air mancur di tengahnya, kemudian menyalakan saluran radio dari ponselnya, lalu menyumbatkan sepasang earphone ke telinganya. Saluran yang tengah ia dengarkan sekarang sedang bercerita tentang pengalaman seseorang yang sulit memaknai hidupnya sendiri hingga sampai dia bertemu seseorang dan orang itu membuatnya paham kenapa dirinya masih diberikan kehidupan hingga saat itu.

"Hidup gue gak se romantis itu. Coba aja hidup bisa request kayak request lagu di radio, kayaknya hidup gue gak bakalan sesusah ini," tutur Adara sembari memainkan air kolam. Ia kemudian mendongak ke atas. Mencari keberadaan bintang di atas sana.

"Gelap kayak hidup gue," lanjut Adara pelan, bibirnya melengkung ke bawah.

Mata Adara menyipit ketika sebuah cahaya menerobos matanya. "Akhh senter siapa si?!" gerutunya kesal, ia bangkit dari duduknya, tangannya yang bebas berusaha menutupi matanya yang silau.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang