7 : rapat keadilan

74 13 4
                                    

Bel istirahat berbunyi. Seluruh murid bersorak girang dan berhamburan keluar kelas. Beberapa orang ada yang memilih menetap di kelas termasuk Adara, gadis itu menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangan di atas meja. Memilih berdiam diri di kelas dari pada pergi kantin dan mendapat masalah lagi seperti kemarin.

Adara sama sekali tak punya teman untuk diajak bercengkarama dan membicarakan hal remeh atau sekadar menjadi teman makan di kantin, satu-satunya teman Adara adalah Alena yang kini tengah berbaring lemah di rumah sakit.

"Mana yang namanya Adara?!" Seorang wanita dengan dandanan mewah dan berlian yang berkilauan di sekujur tubuh itu berteriak nyalang memasuki kelas, di belakangnya terdapat Felicia dengan muka yang dibuat memelas.

Adara menegakkan badan ketika namanya tiba-tiba saja disebut, ia kebingungan. Teman-teman yang berada di kelas langsung menunjuk ke arahnya membuat kerutan di dahi Adara semakin jelas, wanita itu berjalan ke arahnya dengan wajah penuh dendam dan amarah.

"Oh jadi kamu yang bikin tangan anak saya patah iya?!" Murka wanita itu, lengannya menjambak rambut Adara kuat-kuat. Perih seketika menjalar ke seluruh kepalanya, rambutnya seperti akan lepas dari tempatnya.

"Akh!" Adara memegangi kepalanya. Ia melihat wajah licik Felicia di belakang ibunya. Felicia menjulurkan lidahnya ketika pandangan mereka bertemu.

"Berani-beraninya kamu sakitin anak saya ya!" Bentak Ibu Felicia dengan lantang. Ia semakin menarik rambut Adara.

Kerumunan orang-orang semakin padat, mereka berkumpul untuk melihat keributan apa yang tengah terjadi. Bahkan bukan hanya orang dari kelasnya saja yang ada di sana, tetapi orang-orang dari kelas lain pun ikut menonton dari jendela kelas. Mereka bergunjing, saling berbisik-bisik membicarakan Adara.

"Udah gak heran kalo biang masalahnya dia."

"Apaan si tu anak bikin heboh mulu."

"Cari perhatian mulu tu cewek, bikin jijik."

Kira-kira begitulah gunjingan mereka terhadap Adara. Tabiat mereka memang selalu menuding tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Lepas!" Adara menyentak lengan Ibu Felicia yang berada di kepalanya.

Wanita itu menganga tak percaya. "Berani ya kamu sama saya?"

"Kenapa saya harus takut sama tante? Yang salah itu anak tante bukan saya." Adara menunjuk Felicia yang bersembunyi di belakang ibunya.

Felicia melotot. "Apa kata lo?! Gue yang salah, gak salah denger ni kuping gue?" Felicia mendengus malas. "Tangan gue kayak gini gara-gara siapa? Gara-gara lo, gembel!" Ia menunjuk lengannya yang disangga oleh alat penyangga lengan.

"Denger kan apa yang anak saya bilang, tangannya begitu gara-gara kamu!" Wanita itu merangkul putrinya lalu mendorong bahu Adara dengan kasar.

"Itu karena ulah anak tante sendiri, kenapa harus saya yang disalahin?"

"Bener-bener kamu ya!!" Wanita itu mengangkat tangannya tinggi, Adara memejamkan matanya ketika tangan itu melayang ke arahnya.

Ia sudah biasa diperlakukan seperti ini, bahkan tamparan bukan lagi hal yang aneh ketika dirinya dilabrak oleh orang tua siswa dengan kesalahan yang tak pernah ia perbuat sama sekali.

Beberapa detik berlalu lengan Ibu Felicia tak kunjung menampar dirinya. Gadis itu membuka matanya, lengan Ibu Felicia yang berada tak jauh dari wajahnya —tercekal oleh lengan lelaki yang menjulang di sampingnya. Ia tak tahu kapan lelaki itu tiba disana.

"Apa-apaan ini!" Bentak Ibu Felicia pada Aksa. Lengan wanita itu bergerak melepaskan diri dari genggaman Aksa yang sangat erat, tetapi tenaganya kalah kuat dengan Aksa. Aksa memasang wajah setenang mungkin, raut wajahnya sama sekali tak menampakkan bahwa ia tengah mencengkram lengan Ibu Felicia dengan kuat.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang