21 : karma

54 6 6
                                    

"Lo beneran gak papa?"

Aksa menatap gamang danau di depannya, lalu menoleh pada Adara dengan senyum teduh. "Gak papa, emang gue kenapa?"

"It's okay to not be okay, Sa. Yang punya air mata bukan cuma cewek, nangis bukan berarti lemah," katanya dengan suara lembut, melempar kerikil ke danau menciptakan riak kecil yang melingkar. "Kalo emang dengan nangis dada lo gak lagi sesak, nangis aja. Air mata diciptain bukan cuma buat disimpen, let it go."

Ucapan Adara membuat Aksa terdiam, dadanya semakin sesak. Ia ingin sekali terlepas dari belenggu itu, tapi semakin ia berusaha melepaskan semakin kuat juga belenggu itu mengikatnya. Semakin sesak hingga nafasnya mulai tersenggal dan mata yang menghangat.

Aksa terlalu pengecut untuk menuturkan kata maaf pada Adara, bibirnya kelu. Ia ingin lebih lama bersama Adara. Bahkan di saat-saat seperti Aksa ingin menghentikan waktu dan memeluk gadis itu erat. Barang sejenak, bolehkah?

Adara menoleh ketika suara Aksa tak lagi terdengar, hatinya terasa tersayat ketika melihat Aksa menundukkan kepala dengan bahu yang bergetar, menenggelamkan kepalanya di atas kaki yang menekuk. Adara menggeser duduknya, menepuk bahu Aksa perlahan. "Good job."

"Gue gak tau lo punya masalah apa, tapi lo berhak bahagia, Sa." Kata-katanya hanya berakhir di ujung tenggorokan. Lengannya terus bergerak menepuk bahu Aksa, menenangkannya dan ingin membuat Aksa sadar bahwa bukan hanya ia yang bisa selalu ada untuknya, tapi Adara juga akan selalu ada untuk Aksa.

Keduanya tak sadar ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh dengan pandangan kecewa. Alzam dan Ranti yang sedang ada di sana tanpa sengaja melihat keduanya berada di depan danau.

"Zam, kamu kenapa?" Tanya Ranti, menengok wajah Alzam yang nampak sedih. Alzam tak merespon pertanyaan Ranti. Wanita itu kemudian mengikuti arah pandang Alzam.

"Jadi dia ceweknya. Sorry, Zam, aku egois sekali lagi. Aku pengen kamu tetep jadi milik aku." Ranti menunduk, ada perasaan bersalah melihat Alzam sedih seperti itu, tapi ia tetap memilih untuk egois.

°°•••◇♡◇•••°°

"Diem di sini." Arlan berbicara tegas pada Dina, mendudukkannya di kursi yang ada rumah rahasianya dengan Aksa.

"Apaansi ah, gue gak ada urusan sama lo!" Sungut wanita itu kesal, beranjak dari kursi tapi dengan cepat Aksa mendorong bahunya membuat ia terduduk kembali.

"Lo emang gak punya urusan sama gue, tapi karena lo bikin nama baik temen gue tercemar, lo sekarang berurusan sama gue." Arlan duduk di kursi lain, melemparkan ponsel yang memutarkan vidio dirinya menyamar menjadi Adara juga foto saat Dina bertemu dengan Olivia dan Sherly.

Sudut bibir Arlan terangkat saat Dina mulai terpojok. "Bokap gue polisi dan gue bisa laporin lo dengan mudah, pasal pencemaran nama baik. Gimana keren gak? Kalo perlu yang tadi gue juga bisa laporin, maling." Arlan menyenderkan punggungnya dengan tampang jumawa.

Dina melebarkan matanya, wanita itu seketika diserang panik. "Eh eh jangan gitu dong... damai ya? Gue gak mau masuk penjara, jangan laporin gue." Wanita itu memohon, menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada.

"Mau aja gue kibulin HAHAHHA." Arlan berusaha setengah mati menahan tawa melihat wajah panik wanita itu, padahal Ayahnya bukanlah seorang polisi atau aparat negara lainnya. Ayahnya adalah pengusaha sukses yang bergerak di bidang kuliner.

"Jadi lo mau ngelakuin apa yang gue minta?"

Dengan sungguh-sungguh wanita itu mengangguk, tak apa disuruh apapun asal dirinya tidak masuk ke jeruji besi.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang