Bab 7: Terowongan Bawah Air

41 19 1
                                    

Jojo tidak berhenti mengusap wajahnya yang sedari tadi basah, air matanya itu turun tanpa henti, air dari hidungnya pun sepertinya tidak ingin berhenti untuk tidak turun dan membuatnya malu, membuat Jojo harus menariknya beberapa kali.

“Buang sana ingusmu itu Jo!” ucap Bomi sambil mendorong bahu Jojo pelan, membuat Jojo mau tidak mau pergi kebelakang untuk membuang ingusnya. mereka berlima sekarang sudah berada disebuah perahu berukuran cukup besar berbahan baku karet dengan mesin di belakangnya, perahu ini dibuat oleh pengembang Zoi, dengan berbagai macam teknologi yang mampu membuatnya lebih kuat dibanding dengan perahu dengan besi baja, dengan bentuk seperti perahu layar, namun berbahan dasar karet dan sedikit lebih kecil, dilengkapi dengan pemancar dan radar.

“Berhenti menangis! Kalau kau sudah berada di sini” ucap Tama menghampiri Jojo.

“apa hak mu menyuruhku berhenti menangis? Ini mataku jadi terserahku” sahut Jojo

“Bisakah kau tidak bersikap kekanak-kanakan?” pertanyaan Tama membuat Jojo emosi, ia menatap Tama tajam. “bisakah Kau tidak bersikap sok dewasa?”

“Berhenti membantahku, sedari kemarin aku sudah mencoba sabar dengan tingkahmu, kau hanya menyimpulkan apa yang kau lihat Jo.” Ucap Tama, Jojo sedikit melunak, menghela nafasnya pelan.

“Tama, kalau boleh jujur sebenarnya aku membenci kau yang menjadi pemimpin tim ini, mengetahui bahwa kau mungkin saja akan meninggalkan kami membuatku semakin membencimu” Tama mengepalkan tanganya, ia tidak pernah berniat sama sekali untuk meninggalkan timnya, itu hanya jawaban yang ia berikan pada tetua Zoi, karena jika ia tidak menurut ia tidak diperbolehkan ikut dalam misi pencarian ini, perkataan Jojo tentu saja melukai perasaanya, ia bukan orang serendah itu untuk meninggalkan teman satu timnya.

“Kau tidak tau apa-apa. Walaupun kau membenciku aku tetap menjadi pemimpin tim ini, jadi cepat bersihkan ingusmu itu dan sadar, di sini kita berjuang untuk hidup dan mati!” Tama berbalik lalu meninggalkan Jojo disisi belakang kapal sendri.

JOJO POV

Sungguh aku tidak berniat mengatakan itu pada Tama, emosiku bercampur aduk, membuatku tidak bisa berfikir jernih, selama ini aku tidak pernah jauh dari ayah dan ibu, hingga membuatku jadi tidak terkontrol. Tama benar aku harus sadar kalau sekaran bukan waktunya untuk menangis.

Selesai aku membersihkan diri, aku langsung pergi kedepan diman keempat temanku tengah berada di pusat kemudi, kulihat Leo dan Tama yang tengah serius sementara Jombrang yang dengan santainya memakan-makanan yang dibawakan ibu untukku.

Aku menghampiri Bomi yang tengah membuka-buka tasnya, sambil membawa panci di sebelahnya, kulihat hari sudah mulai sore jam menunjukkan pukul enam, sudah hampir sepuluh jam kami berlayar ditengah laut, namun sayangnya tidak ada tanda-tanda sedikitpun, entah ke mana perginya burung yang kulihat itu, tidak mungkin ia bisa terbang jauh.

“Jo ayo bantu aku menyiapkan makanan” aku menghampiri Bomi yang sudah siap dengan perlengkapan masaknya, lalu menghidupkan kompor listrik di atas sebuah meja yang berada didekat dinding kapal, Bomi memotong beberapa sayuran yang kami bawa dari Zoi, sejak keracuanan masal kami sudah tidak pernah makan ikan, hanya sayuran, yang kutau bernama sawi ini yang menemani masyarakat Zoi untuk makan, aku sebenarnya tidak menyukainya, namun karena tidak ada lagi yang bisa dimakan, jadi memakan sayuran ini adalah jalan terakhir, snack yang kubawa ditasku pun berbahan dasar sayur ini, ada beberapa kacangan yang juga ditanam diplant growers tapi sayangnya aku tidak bisa memakanya, karena alergi yang kuderita.

Setelah menyiapkan makanan kami berkumpul di depan sambil menikmati hembusan angin laut, sebenarnya aku sedikit mual, karena udara yang kuhirup terasa sedikit berbeda dari Zoi, ini perTama kali kami keluar dari Zoi, tentu saja kami belum bisa beradaptasi dengan baik, kulit disekitar punggung tangan dan lengankupun memerah akibat cuaca yang cukup panas dari sinar matahari.

Kulirik Tama, yang masih berada di pusat kemudi, ia terlihat sangat serius memandangi lautan di depan sana, melihatnya yang bekerja keras seperti itu membuatku semakin merasa bersalah, kuambil sepiring makanan dan membawanya ke pusat kemudi, menghampiri Tama.

“Kau tidak perlu terlalu memaksakan diri seperti itu, kau juga harus makan, kau pemimpin di sini, kami memerlukanmu” ucapku duduk di sebelahnya sambil menaruh piring ku di tempat yang tidak ada deretan tombol yang membingungkan di depanku.

“Terima kasih” Tama mengambil sendok dan menyuapi dirinya sambil masih memperhatikan lautan luas.

“Maaf, aku tidak bermaksud mengatakannya, aku tidak membencimu, aku hanya.... hanya merasa kesal karena kau membohongiku dan yang lainya, bahwa kau anak tetua Zoi”

“Uhuk..uhuk” Tama terbatuk, kulihat bulir bening keluar dari matanya, dengan cepat aku mengambil air yang ada di sebelah kiriku dan memberikanya pada Tama.

“Maaf, mungkin seharusnya aku tidak mengatakan itu, aku tau mungkin berat bagimu mengakui orang tua yang lebih pantas kau sebut kakek dengan sebutan ayah” aku menunduk pelan, takut melihat ekspresi Tama.

“Apa maksudmu, aku tidak akan malu mengakuinya jika tetua Zoi adalah ayahkuku hanya karena ia sangat tua untuk disebut ayah, itu benar-benar kekanakan”

“jadi kau tidak malu mengakuinya? Syukurlah”

“Hey tetua Zoi bukan ayahku” Aku menatap Tama kesal

“katanya tidak malu!”

“Ck, tetua Zoi kakekku, ayah dan ibuku sudah meninggal” perkataan Tama membuatku kaget, aku menatapnya sedih, mengapa aku tidak memikirkannya.

Bentala Biru (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang