TMRA!

8.3

"Unn…”

Rowena membuka kelopak matanya yang berat sambil memutar kepalanya ke samping, dan menemukan Melissa tertidur di kursi di samping tempat tidurnya. Dia haus, dia bisa merasakan tenggorokannya terbakar karena kehausan, dia mencoba menggerakkan bibirnya yang kering dan berharap Melissa akan mendengar suaranya.

“Mel… isa.

“Um…….”

Itu adalah suara yang rendah, tapi untungnya itu cukup untuk membuat Melissa memperhatikannya.

Melissa, terkejut, mulai menggosok matanya.

"…Rindu?"

"…… air."

"Rindu! Ya Tuhan."

Melisa menghela napas lega dan mengulurkan tangan untuk memeluk Rowena, yang tercekik oleh pelukan yang tiba-tiba.

“Kamu bangun! Saya senang."

"Melisa ......"

Rowena berdeham, mendorongnya dengan ringan. Melissa mengendurkan lengannya dengan canggung ketika dia mendengar batuknya.

“Aku… aku minta maaf. Aku sangat senang. Ini air.”

Rowena melihat sekeliling saat dia meneguk segelas air yang diberikan Melissa padanya.

“Tidak apa-apa, lebih dari itu…….”

Dia melihat sekeliling ruangan, semuanya terasa asing. Ini bukan kamar tamu yang dia tinggali selama sepuluh hari terakhir. Tapi sekali lagi, kamar tidur yang dia bagikan dengannya juga berbeda.

Tempat tidur itu memiliki bingkai kemerahan dengan empat pilar dan damask yang menutupinya, perapian yang dihiasi ornamen, dan karpet yang disulam dengan pola geometris. Ada ilustrasi malaikat yang menghiasi langit-langit, dan di sebelah kanan ada pintu kaca besar yang mengarah ke balkon, bukan jendela.

Itu adalah ruang mewah yang mengingatkannya pada kamar tidur di mansion Rockford.

Rowena, yang telah melihat sekeliling, bertanya dengan tenang.

"Di mana kita…?"

“Oh… itu rumah besar lain milik sang duke. Aku juga belum pernah ke sini sebelumnya.”

Rowena mengerjap mendengar jawaban Melissa.

Itu mungkin salah satu dari tiga rumah besar lain yang dia miliki di daerah ini, tetapi itu adalah pertama kalinya dia berada di sini dalam tiga tahun mereka bersama. Itu tampak dua kali lebih besar dari mansion lain yang dia tinggali.

Saat Rowena melihat sekeliling dan mengagumi ruangan itu, Melissa, meletakkan gelas di meja terdekat, dan memecah keheningan.

"Ngomong-ngomong, aku benar-benar terkejut tadi malam."

"Apa?

“Kamu juga tidak ingat Nona, kan? Saya juga mendengar dari para pelayan bahwa tadi malam bahwa Duke membawa seorang wanita muda yang pingsan kepada kami, dalam pelukannya, dan kemudian memerintahkan untuk memanggil seorang tabib.”

Sejak saat itu, tidak ada yang diizinkan untuk membuka mulut mereka sampai dokter tiba.

Dahinya penuh dengan garis dan matanya bersinar dengan kemarahan murni seolah-olah mereka sedang mencari darah. Itu adalah suasana di mana tidak akan mengejutkan jika dia memutuskan untuk membunuh yang pertama mengeluarkan suara, atau membuat lubang di semua kepala mereka.

Sampai pada kesimpulan, Melissa menelan kata-katanya memikirkan apakah dia harus mengatakan sesuatu. Tapi kemudian berpikir lebih baik untuk tidak memberi tahu Rowena sebanyak ini.

"Saya melihat…."

Rowena mengingat tangan kuat yang telah memegangnya dengan kuat, sedikit gemetar yang dia rasakan saat disentuhnya. Padahal itu pasti sebuah kesalahan. Dia menggelengkan kepalanya dan bertanya dengan ragu.

“Ngomong-ngomong… apa yang terjadi dengan Marchioness… dan Nyonya Gertrude …….?”

Memang benar bahwa Marchioness telah menampar pipinya dan Mrs. Gertrude berdiri dan mengawasi. Tapi bukankah mereka sudah cukup dihukum hanya dengan mengetahui Killian?

Nyonya Gertrude seperti sepasang tangan dan kaki bagi Killian, dan Marchioness of Essix adalah kerabat darahnya. Dia berharap hubungannya dengan mereka tidak akan terganggu.

"Oh itu…."

Ketuk, ketuk.

Ketukan di pintu menghentikan Melissa dari menjawab pertanyaan dengan hati-hati; namun, sebelum Rowena sempat bertanya siapa orang itu, seseorang mulai berbicara dari balik pintu.

“Nyonya Philone.”*

Rowena hanya dipanggil sebagai 'Nona Philone' selama dia bersama Killian, tetapi perubahan judul yang tiba-tiba membuatnya tampak terkejut, Rowena menatap Melissa dengan heran. Melissa mengangguk, sementara wanita di luar pintu memanggil lagi.

"Nyonya Philone, Apakah Anda sudah bangun?"

"Iya. Ya, dia baru saja bangun.”

"Aku mengerti, kalau begitu, bolehkah aku masuk sekarang?"

"Iya."

Tak lama setelah jawaban Melisa, pintu bergeser terbuka dan seorang wanita berpakaian rapi memasuki ruangan, membawa nampan di tangannya.

Dia adalah seorang wanita jangkung dan ramping, mungkin berusia sekitar 30 tahun.

"Senang bertemu dengan Anda, Lady Philone."

Wanita itu memiliki nada ramah, meskipun kesan tajam yang dia berikan.