TMRA!

14.3

Killian Maximilian Devonshire, pria ini dan dia tidak pernah ditakdirkan untuk menjalin hubungan cinta. Itu lebih seperti kemitraan bisnis yang selaras dalam arah yang saling menguntungkan.

“Sebagai seorang wanita, saya mengerti. Dia pasti patah hati.”

Ya, serikat bisnis. Pernikahan politik.

Itulah yang dia pikirkan ketika dia bertukar surat hambar dengan dia melalui ajudannya ... Tapi ketika dia bertemu dengannya secara langsung, dia berubah pikiran.

Awalnya dia tidak pernah melewatkan apa pun. Dia selalu harus mendapatkan apapun yang dia inginkan.

Bisnis ayahnya, pria ini.

“Ngomong-ngomong, aku ingin berkeliling pulau sebelum pergi ke vila, bisakah kamu mengajakku berkeliling?”

Chloé, yang tersenyum genit, dengan lembut meletakkan tangannya di lengannya yang kokoh.

Dia ingat wajah wanita yang menjadi pucat dengan setiap kata yang dia katakan.

'Aku tidak percaya dia menunjukkan perasaannya di depan saingannya .... Betapa polos dan bodohnya, seperti yang dikabarkan.'

Chloe khawatir dia akan menghadapi saingan berat, tetapi seperti yang dia lihat dari Rowena hari ini, pikirannya lega, tidak perlu merasa gugup tentang wanita seperti itu.

'Bagaimana dia bisa begitu brutal dibuang? Saya merasa sangat kasihan padanya.'

Kecanggungan yang tersisa di sudut dadanya menghilang dengan bersih, dan hatinya sangat ringan sehingga seolah terbang menjauh.

***

Saat itu sudah larut malam ketika Killian kembali ke vila setelah mengajak tunangannya berkeliling pulau.

Rowena sedang berbaring di tempat tidur seperti orang yang jiwanya telah terlepas, ketika dia dibangunkan oleh suara pintu terbuka. Sebuah cahaya bersinar melalui pintu yang terbuka dan menerangi ruangan yang remang-remang. Pintu terbuka tanpa suara dan Duke mendekati tempat tidur. Saat bayangan itu melangkah lebih dekat ke tempat tidur, bibirnya yang terbuka bergetar.

“Tolong jangan datang.”

“…….”

Rowena mencengkeram seprai dengan erat, sambil menarik napas dalam-dalam.

Api berkobar di dalam dirinya saat dia mengingat kembali kenangan saat dia ditolong keluar dari kamar, seperti orang berdosa yang melakukan kejahatan yang memalukan. Dia ingin berteriak. Dia ingin meraih kepalanya atau mencengkeram kerahnya. Dia ingin berpegangan padanya, menanyainya, dan yang terpenting dia ingin menampar wajahnya….

Tetapi di hadapan semua fakta yang telah dia pelajari hari ini, dan tekanan yang dia rasakan, sepertinya tidak ada gunanya. Perasaan ketidakberdayaan yang berulang dengan setiap kata yang diucapkan, menekan seluruh tubuhnya dan mencekiknya sepenuhnya.

Yang paling membuatnya kesal adalah sikapnya yang santai. Dia berada di ambang tenggelam dalam air, mencapai hidungnya. Namun, pria ini baru saja melemparkannya ke laut dalam dan sama sekali tidak peduli.

“Jangan datang?”

Killian melepas dasinya.

"Bukankah sikap Anda di siang hari cukup sombong, Ms. Philone?"

“…….”

"Kau berbaring di kamarku mengenakan pakaian yang kuberikan padamu dan memakan makanan yang kuberikan untukmu."

“Aku tidak membutuhkan semua itu!”

Rowena, yang mendidih karena marah, melemparkan bantal ke arahnya. Bantal itu terbang dan sayangnya mengenai dadanya, bukan wajahnya.

Alis Killian berkerut saat dia melirik bantal yang jatuh.

Rowena, bangun dari tempat tidur dengan mata merah dan menuju ke tempat lain. Killian duduk di tempat tidur, menyilangkan tangan seolah-olah melihat dia melakukan permainan konyol. Tanpa ragu, Rowena memasuki ruang ganti dan mengeluarkan tasnya sendiri.

'Saya pergi."

“Kau akan pergi?”

Tas, yang dia pegang dengan kedua tangannya, sangat ringan hingga terasa kosong. Itu adalah barang bawaan yang dia kemas segera setelah dia pulih dari keterkejutannya.

Ketika dia mengambil semua yang telah diberikan kepadanya, yang tersisa hanyalah dua potong pakaian kasual dan sedikit uang. Bahkan itu hampir tidak cukup untuk mengeluarkannya dari pulau ini.

"Kamu lebih seperti iblis sekarang, dan kamu menipuku ..."

Semakin dia berbicara, semakin tenggorokannya tercekat. Rowena tergagap, tetapi mencoba menyelesaikan kalimatnya.

****