“Apa maksudnya ini?” tanya Bagas dengan nada keras.
“Kalian harus tanggung jawab atas ini.” Yanto menunjuk ke arah mukanya yang bonyok.
“Enggak usah banyak bacot! Ayo kelahi!” bentak Yuda, ia penuh percaya diri.
Salah satu teman dari Yanto menyerang Bagas dari belakang. Bagas terjengkang ke depan, lalu menoleh. Bagas yang awalnya sedikit takut, sekarang ia lah yang paling brutal menghajar musuhnya. Sedang Yuda meladeni Yanto yang cukup tangguh untuk seorang pemabuk yang kerempeng.
Yuda dan Bagas tidak pernah mempelajari ilmu bela diri, yang mereka tahu memukul dan menendang dengan sekuat tenaga musuh yang ada di depannya. Jika memungkinkan mengelak, mereka mengelak, jika tidak, mereka membiarkan tubuh menerima serangan asal mereka memiliki kesempatan menyerang balik.
Dari lima orang yang mencegat tadi, ada satu yang tidak ikut berkelahi. Ia menunggu di atas motor, menonton seraya mengisap rokok. Ia mengamati perkelahian itu. Orang itu terlihat sangat menikmati pertunjukan yang ada.
Yuda dan Bagas belum juga tumbang meski babak belur dan lebam biru di sana-sini. Begitu juga keempat musuhnya. Darah sudah keluar dari hidung dan juga pelipis. Namun, mereka masih menyerang.
“Woy! Sampai kapan kau melihat di sana.” Yanto meneriaki temannya yang masih duduk di motor. “Bantu cepat. Bangsat!”
Yuda dan Bagas sangat kelelahan, napasnya memburu capat. Yanto dan ketiga temannya pun juga terlihat kelelahan. Mereka berhenti, perlahan mundur, dan di saat bersamaan orang yang duduk di atas motor berjalan mendekat sambil memegang bambu bekas tiang bendera agustusan pinggir jalan.
“Dengan keadaan seperti ini, kita lari pun percuma,” kata Yuda di sela ia mengatur napas.
Bagas mengangguk. "Tidak ada pilihan lain selain menghadapi orang itu."
Orang itu masih berjalan santai menghampiri Bagas dan Yuda yang sangat kelelahan. Seolah sudah tahu bahwa mangsanya tidak akan lari, ia berjalan menyeret bambu di tangan kanannya, sambil mengisap batang rokok dengan santai.
“Maaf, aku mengajak kamu mati dengan cara konyol seperti ini,” kata Yuda.
“Minta maafnya waktu nanti kita hampir mati, jangan sekarang.”
Semakin dekat orang itu, semakin terlihat ada bekas luka di pipinya, seperti luka bacokan yang cukup dalam. Mereka tidak mengerti, yang jelas mereka harus mengalahkan orang itu.
Orang itu mengayunkan bambu ke arah Yuda dengan sangat cepat, beruntung Yuda dapat menghindarinya. Bagas mencoba menendang orang itu. Ia berhasil mengenainya, tetapi, karena Bagas sudah sangat kelelahan, tendangannya tidak berarti apa-apa bagi musuhnya yang masih segar.
Ia kembali mengayunkan bambunya ke arah Bagas. Bagas tidak sempat menghindar, ia menahan serangan itu dengan lengan kirinya. Bambu itu patah, Bagas meraung kesakitan, rasa sakit yang amat sangat menjalar ke bagian lengannya. Tangan kirinya lemas tidak bisa digunakan. Sepertinya tulang lengannya retak, Bagas tidak terlalu mengerti, yang jelas teramat sakit luar biasa.
Melihat sahabatnya kesakitan, Yuda tidak terima. Ia mencoba menyerang dengan membabi buta, tapi akibatnya ia kurang siaga. Orang itu mengayunkan bambu yang dipegangnya, Yuda tidak bisa menghindar, kepalanya terhantam. Darah menetes dari pelipisnya yang robek. Baju sekolah yang awalnya putih sekarang bercampur darah di sana-sini. Yuda langsung tergeletak tak berdaya.
“Yud!” teriak Bagas panik melihat sahabatnya bersimbah darah.
Tak berapa lama, para warga datang. Mereka melerai perkelahian dan mengusir kelima orang itu. Bagas melihat Lati juga ada di sana. Ia masih menggunakan seragam baru pulang sekolah.
“Ti, tolong Yuda! Bawa ke rumah sakit, segera!” Bagas panik, ia ingin menolong tapi tangannya tidak bisa digerakkan sebelah. Kakinya juga lemas dan kelelahan.
“Ada apa, Gas? Apa yang terjadi?”
“Cepat bawa ke ruamah sakit, jangan banyak tanya!” ujar Bagas membetak panik.
---
Awalnya warga membawanya ke puskesmas terdekat. Namun, puskesmas tidak sanggup menangani luka di kepala Yuda. Ia segera dirujuk ke rumah sakit di kota. Sedang Bagas dirawat di puskesmas, tangannya digips karena tulang sikunya bergeser dari tempatnya.
Kedua orang tuanya panik bukan main, bahkan ibu Yuda sampai pingsan mendengar anaknya kritis.
---
Kabar tentang Yuda dan Bagas menyebar dengan cepat keseluruh sekolah. Teman-teman mereka geram mendengar kabar itu. Saat waktu istirahat tiba, warung Si Mbah mendadak jadi ruang pertemuan untuk rencana balas dendam insiden yang menimpa sahabatnya.
Anwar, Genyok, dan Bujel serta beberapa temannya berkumpul untuk merencanakan perhitungan dengan geng Yanto. Mereka juga menginterogasi Beni yang kebetulan ada di sana.
“Kamu kok nggak bilang-bilang kalau mereka akan dikeroyok?” tanya Genyok dengan nada kesal. Ia menganggap ini tidak akan terjadi kalau Beni bicara kepada mereka.
“Yuda yang memintaku untuk tidak memberitahu kalian soal masalah ini. Dia ingin menyelesaikannya sendiri,” ujarnya.
“Memang dari dulu anak itu sok kuat. Padalahkan aku juga ingin kelahi.”
“Sudah, nggak usah ribut,” kata Bujel, “mending kita jenguk dulu Yuda dan Bagas. Setelah itu kita cari Yanto sama kacung-kacungnya itu.”
Anwar yang tadi hanya diam kini bicara, “Motor kita ada di dalam, nggak bisa keluar kalau belum pulang. Kita harus cari cara lain supaya bisa bawa motor itu keluar, tapi tanpa ketahuan Pak Gatot.”
Semua murid takut kepada Pak Gatot. Guru olahraga sekaligus kesiswaan yang terkenal paling killer dan paling brutal saat menghukum para murid. Pernah sekali waktu saat mereka kelas dua, kakak kelas mereka tertangkap basah merokok di area sekolah, tepatnya di kamar mandi dekat kantin. Tanpa basa-basi Pak Gatot menampar, lalu dengan kasar ia menyeret anak itu menuju ruang kesiswaan. Pada saat diseret sesekali anak itu melawan dan dengan ekspresi datar khas Pak Gatot, ia menendang anak itu supaya mau ikut tanpa melawan. Mirip seperti orang menggelandang maling ayam di kampung. Hal yang paling tidak bisa dicontoh dari seorang tenaga pendidik.
“Aku ada ide,” kata Bujel.
“Apa idemu?”
“Mumpung sekarang bel masuk belum berbunyi, aku dan Genyok mengeluarkan motor lalu ditaruh di belakang rumah Si Mbah, setelah itu aku kembali supaya satpam tidak menganggap aku bolos.”
“Kalau satpam bertanya di mana motormu, gimana?” tanya Anwar.
“Aku bilang motorku mogok, sebagai barang bukti aku ada nota bengkel kemarin.”
“Motor Genyok? Nggak mungkin kalau dengan alasan yang sama.”
Genyok menghisap rokoknya sebelum ikut bicara. “Aku bisa alasan motor dipakai pakde untuk memeriksakan kakekku. Tadi kakekku bilang tidak enak badan, jadi tidak ada masalah.”
“Sekarang tugasmu,” kata Bujel seraya menunjuk Anwar. “Kamu pastikan Pak Gatot nggak menyadari kami mengeluarkan motor. Supaya saat pulang sekolah nanti tidak ada motor yang tertinggal dan kita bisa bolos tanpa ketahuan orang itu.”
Beni yang mendengarkan ikut bersuara, “aku ikut.”
“Karena kelasmu paling dekat dengan pagar belakang. Kamu pastikan Pak Gatot tidak memeriksa ke sana, kalau dia datang memeriksa, kamu teriak. Itu kode buat kami agar sembunyi,” jelas Bujel.
Beni mengangguk paham.
Waktu istirahat tinggal dua puluh menit lagi, mereka harus segera menjalankan aksinya.
---
Tegang nggak nih??
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBAH
RandomYuda, Bagas, Anwar, Bujel, dan Genyok adalah sahabat sedari SMP. Kelima pemuda itu sangat suka sekali mencari masalah dengan orang lain, bahkan pernah berakhir di kantor polisi bahkan masuk UGD. Namun itu adalah cara mereka menikmati persahabatan. S...