2.1

16 10 71
                                    


Yuda tersenyum getir saat mengingat masa sekolah dulu yang penuh dengan pertarungan bersama teman-temannya. Semua kenangan itu membuatnya sedikit rindu masa lalu, di mana ia merasa mememiliki orang yang menemaninya dalam susah maupun senang. Tak ada penyesalan atas apa yang telah ia perbuat, hanya rindu akan kenangan masa lalu masa lalu.

Semua bermula saat sebelum tawuran antar sekolah setelah kelulusan. Sebelum ia kehilangan salah satu temannya. Jauh sebelum ia kehilangan semuannya.

---

“Sepertinya aku harus mencari wanita lain agar bisa melupakan Anggi,” ujar Yuda sekali waktu saat bersama teman-temannya.

“Banyak adik kelas yang juga cantik-cantik, ‘kan?” ujar Bagas, “Kamu bisa mendekati salah satu dari mereka. Jangan terlalu risau.”

Genyok yang mendengarkan ikut memeberi saran kepada Yuda.

“Dari pada kamu mikir soal wanita yang tak jelas.” Bagas mengeluarkan uang dari dalam saku celananya. “Kita patungan beli amer.”

Bujel, Genyok, dan Anwar satu persatu mengeluarkan uang dari dalam sakunya. Uang yang terkumpul kurang lebih seratus ribu, itu cukup untuk membeli dua botol dan beberapa batang rokok eceran.

Malam itu mereka lewati dengan acara kecil menyenangkan, jauh dari kemewahan. Di bawah lampu jalanan remang, mereka tengguk secara bergantian dua botol anggur merah itu. Mereka tertawa bersama seraya bermain kartu. Tubuh mereka terasa ringan, kepala tidak lagi pening seperti sebelumnya.

---

Matahari mulai meninggi, bersamaan dengan embun yang menguap. Bulir air di ujung daun menetes perlahan jatuh ke tanah yang lembab. Bagi Yuda tidak ada perbedaan di antara semua hari, termasuk hari Senin. Ia tetap bangun kesiangan, ia tetap santai dan menganggap tidak ada yang perlu dikhawatirkan meski ia terlambat.

Lastri sudah menyiapkan makan untuk anaknya, sejak dari shubuh ia berangkat ke pasar untuk berjualan. Lastri menjual semua yang bisa dijual, terkadang ia menjual daun singkong yang diambilnya dari kebun samping rumah, terkadang daun pisang, tetapi paling sering ia menjual kecambah yang ditanamnya sendiri. Penghasilannya tidak banyak, tetapi cukup untuk memelihara hidupnya juga anaknya.

“Yud! Kau mau sekolah tidak?” Bagas sudah ada di depan rumah Yuda, ia sudah rapi dan siap untuk berangkat.

Tidak ada jawaban dari Yuda.

Bagas akhirnya masuk ke rumah Yuda yang sudah ia anggap sebagai rumah sendiri. Yuda masih berada di kasur dengan bercak liur di bantalnya, ia menggunakan celana pendek yang robek di sana-sini membuat celana dalamnya terlihat. Bagas menghampiri Yuda dan tepat di telinganya ia berteriak, “Sekolah, woy!”

Yuda terperanjat sebelum kemudian memaki keras. “Sialan!”

“Cepat mandi, aku tunggu di ruang tamu lima belas menit kalau belum selesai aku tinggal.”

Itu waktu yang lebih dari cukup untuk Yuda, buru-buru ia langsung makan hidangan yang sebelumnya sudah disajikan, tak lama makanan itu tandas dan bocah itu segera mandi.

Bagas menunggu Yuda seraya mengisap keretek di ruang tengah. Jam menunjukkan pukul 07.13 saat batang keretek di mulutnya habis, ia membuang puntungnya ke asbak. Upacara bendera sudah dimulai sepertinya, batin Bagas, setelah ia melihat jam dinding di hadapannya.

---

Mereka berangkat menggunakan motor butut milik Bagas. Melintasi jalan yang sama saat mereka dikeroyok gerombolan Yanto. Mereka masih mengingat kejadian itu persisi di kepala masing-masing, mereka juga masih merasakan luka akibat perkelahian itu. Sudah satu bulan setelah kejadian itu dan gips di tangan Bagas sudah dibuka, meski kadang terasa nyilu, tetapi, sudah bisa digunakan dengan cukup baik. Begitu juga dengan Yuda, lukanya sudah sembuh dan hanya meninggalkan bekas luka di pelipisnya. Kenangan yang menegangkan.

RUBAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang