Pagi itu pasar sangat ramai. Kecambah yang dijual Lastri sudah habis sebelum pukul delapan pagi, tinggal beberapa ikat daun singkong yang belum terjual. Biasanya ketika pengunjung pasar mulai sepi, Lastri akan pulang. Sisa daun singkong yang tidak laku ia berikan kepada tetangganya, seorang janda tua yang tinggal sebatang kara.
Rasa syukur tergambar jelas di wajah Lastri ketika menghitung kembali uang hasil jualan hari ini, hatinya sangat senang meski uang yang didapatkan tidak seberapa banyak.
“Syukurlah, ini cukup untuk makan sampai besok,” ujarnya lirih seraya tersenyum, ia simpan kembali uang itu sebelum bersiap untuk pulang.
Saat hendak berdiri, tiba-tiba ia merasa pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya terasa sangat berat, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Lastri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Beberapa hari belakangan ini memang ia sering mengalami pusing yang tiba-tiba, tetapi, ia merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Ia mengusap muka dengan kedua tangan bermaksud agar kesadarannya kembali pulih. Namun, betapa terkejutnya Lastri saat melihat kedua tangannya belepotan darah. Darah kental mengalir keluar dari hidung Lastri, sontak hal itu membuat orang yang ada di sebelahnya juga panik.
“Lastri, kamu kenapa?” tanya pedagang daging di sebelahnya.
“Enggak tahu, tiba-tiba keluar darah,” kata Lastri sama paniknya. “Boleh minta tolong carikan daun sirih, Bu.”
Dengan tergesa-gesa penjual daging yang ada di sebelahnya mencarikan daun sirih untuk Lastri. Sedang Lastri sibuk mengusap hidungnya yang masih mengucurkan darah.
Tak berapa lama kemudian ibu penjual daging itu datang dan membawa beberapa daun sirih, ia meminta daun itu kepada seorang penjual ramuan herbal. Daun itu kemudian digulung serupa corong, lalu dengan perlahan dimasukan ke lubang hidung yang mengeluarkan darah seraya mengdongakan kepala. Perlahan darah mulai berhenti menetes hingga beberapa saat kemudian mampet.
“Lastri, setelah ini kamu harus ke dokter. Aku khawatir.”
“Nggak perlu khawatir, Bu,” ujar Lastri seraya tersenyum, seakan sakitnya memang tidak perlu dikhawatirkan. “Saya cuma kecapean saja, istirahat sebentar nanti juga sehat lagi.”
“Tapi nanti kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan meminta bantuan, ya.”
Lastri mengangguk kemudian tersenyum. “Terima kasih banyak.”
---
Tampat rental PS tidak terlalu ramai pagi itu, mungkin kebanyakan bocah masih sekolah dan bakal berkunjung ke sana saat pulang. Biasanya mereka mengumpulkan sisa uang jajan untuk menyewa PS satu sampai dua jam.
Cuaca cukup terik saat Yuda, Bagas, Genyok, dan Bujel memutuskan untuk tidak masuk kelas. Mereka ingin sejenak bermain dan bersantai-santai sampai pulang sekolah. Lebih tepatnya mereka tidak ingin bertemu dengan Pak Gatot untuk hari ini.
Mereka hanya menyewa satu PS untuk empat orang. Hanya cara itu agar uang mereka cukup sampai pulang sekolah nanti dan sisanya membeli beberapa batang rokok.
“Orang itu lama-lama menjengkelkan,” ujar Bujel di tangah ia bermain Winning Eleven bersama Genyok. Mereka beragantian dengan klub jagoan masing-masing.
“Dulu katanya orang itu tidak seperti itu. Aku pernah dengar rumor tentang dirinya.”
“Rumor apa?” Yuda yang menunggu gilirannya main juga tertarik dengan pernyataan Genyok.
“Yak! Yak! Aahhh! Goblok banget, sih, harusnya dioper ke Messi dulu,” ujar Genyok, saat itu FC Barcelona adalah klub favoritnya.
“Kau yang tolol. Harusnya kamu dapat gol, tapi, tolol.” Bujel sebagai lawan mainnya hanya terpingkal-pingkal melihat permainan Genyok.
“Romor apa?” tanya Bagas, ia juga mulai penasaran dengan carita Genyok.
“Hah, rumor siapa?” tanya Genyok balik..
Yuda sepertinya sudah tidak tahan dengan Genyok, ia layangkan satu jitakan tepat di ubun-ubun Geyok, membuatnya mengelus kepalanya sediri.
“Katanya kau tahu rumor tentang Pak Gatot?”
“Oalah, tahu, sih. Kalian mau tahu juga ceritanya bagaimana?”
Mungkin jika Genyok bukan sahabat Bagas dan Yuda, pasti sudah ada pertumpahan darah saat itu. Genyok memang orang yang sangat menjengkelkan, entah apa yang ada di otaknya sehingga ia memiliki ingatan sependek batang rokok.
Yuda dan Bagas tidak menjawab, hanya pandangan ingin membunuh ia tujukan tajam ke arah Genyok. Beberapa detik Genyok baru paham, ia meletakan stik PS dan mulai bercerita.
“Menurut rumor yang beredar, dulu Pak Gatot pernah menjadi korban pengeroyokan muridnya sediri. Dulu sempat ada tawuran antara TKR dan Teknik Listrik, waktu itu tawuran terjadi saat akan hendak pulang sekolah di belakang kantin. Tidak ada guru atau murid yang mau melerai perkelahian itu, sebab mereka membawa senjata. Melihat kejadian itu Pak Gatot memberanikan diri untuk melerai perkelahian itu, ia mencul di tengah-tengah gerombolan dan berteriak agar muridnya berhenti ribut.”
“Memangnya para guru tidak menelepon polisi?”
“Kau tahu sendiri jalan akses sekolah kita dulu sangat kacau. Mungkin itu yang membuat mereka terlambat lama.”
“Terus nasib Pak Gatot bagaimana?” tanya Bagas yang sudah tidak sebar mendengar lanjutannya.
“Sesuai dugaan kalian. Pak Gatot langsung jadi bulan-bulanan muridnya sendiri yang dianggap mengganggu perkelahian sakral mereka dan akhirnya Pak Gatot koma. Semua yang terlibat perkelahian itu langsung dipacat dari sekolah.”
“Cukup tragis kisahnya, ya. Mungkin akhirnya sekarang Pak Gatot tidak mau lagi berelaku sabar pada muridnya karena trauma kejadian itu.”
“Tapi tetap saja orang itu sengat menjengkelkan,” ujar Bujel akhirnya, sebab ia tidak tertarik dengan masa lalu dari Pak Gatot. “Ini lanjut main atau meratapi nasib orang lain? Kalau tidak aku main sendiri saja.”
---
Kantin belakang sekolah sangat ramai saat jam istirahat berlangsung. Jajanan yang dijual tidak terlalu variatif, banyak yang menjual makanan ringan dan hanya satu penjual nasi pecel di pojok, tempat anak laki-laki berkumpul untuk nongkrong atau sarapan.
Anwar juga ada di sana saat istirahat, hari ini entah kenapa ia merasa tidak perlu ke tempat Si Mbah untuk makan, padahal pecel di kantin sekolah bukan tandingan pecel Si Mbah.
“Anwar kamu tahu ke mana Yuda?” tanya seorang perempuan. Anwar menoleh, Anggi ada di sana.
“Tidak tahu, mungkin ada urusan penting sampai tidak masuk.”
“Hmm ... nanti kalau ketemu, tolong sampaikan aku mencarinya,” ujar Anggi sebelum ia hendak pergi.
“Kenapa kau mencarinya?”
“Yuda absen terlalu sering, wali kelas menanyakannya padaku.”
“Baik lah, akan aku sampaikan.”
Anggi berbalik, rambutnya yang lurus seakan menari seiring langkah kakinya menjauh. Sedetik kemudian Anwar tersenyum. Ternyata Anggi cantik juga, ya.
---
Terima kasih sudah membaca 😘

KAMU SEDANG MEMBACA
RUBAH
De TodoYuda, Bagas, Anwar, Bujel, dan Genyok adalah sahabat sedari SMP. Kelima pemuda itu sangat suka sekali mencari masalah dengan orang lain, bahkan pernah berakhir di kantor polisi bahkan masuk UGD. Namun itu adalah cara mereka menikmati persahabatan. S...